Bab 45

1219 Kata
Ken terus mengikuti Rosa hingga berada di koridor sepi. Pria itu langsung bertindak, menarik tangan Rosa agar mengikutinya masuk ke dalam ruangan kosong. Gadis itu sempat kaget, mengira ada orang m***m yang melakukan hal tak senonoh. Tanpa pikir panjang, Rosa langsung mendorong Ken hingga terjatuh ke lantai. “Apa yang kau pikirkan?” teriak pria itu membuat Rosa tercengang. “Maafkan aku, aku mengira orang lain.” Rosa membantu Ken untuk berdiri kembali. Mereka berdua saling berhadapan satu sama lain dalam waktu cukup lama. “Aku ingin bertanya padamu sekali lagi,” ucap Ken memastikan. “... apakah kau benar-benar mencintai Dave?” Rosa membuang muka ke arah lain, “Cinta tidaknya bukan urusanmu.” “Jika kau ingin kembali, masih ada waktu lagi, Ros.” “Aku tak bisa” tolak Rosa dengan lembut. “Aku akan berusaha sekuat tenaga mendapatkan hati Dave.” “Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?” Di saat seperti ini, Rosa seperti Rosa yang dulu. Sangat lembut dan juga penuh perasaan cinta. “Maafkan aku, Ken. Aku harus memenuhi keinginan ayahku.” Dalam benak hati Rosa, cintanya terhadap Ken harus di kubur untuk sementara waktu. Jika semuanya sudah selesai, ia akan kembali ke Ken. Rosa tak bisa berlama-lama menghadapi Ken. Jika terus seperti itu, perasaannya bisa goyah kapan saja. Tentu hati merasa sakit karena mengorbankan cinta, Tapi mau bagaimana lagi, semua yang dilakukan atas perintah sang ayah. Gadis itu pergi meninggalkan Ken tanpa menoleh sedikitpun. Pergi meninggalkan cintanya dalam kesakitan hanya karena ambisi. Tahukah bahwa cinta tak bisa di bandingkan dengan apapun, bahkan harta. Beralih ke Alrich yang menghubungi Amelia sedari tadi, tapi tetap saja tidak di angkat oleh gadis itu. Ia sudah melihat Dave kembali ke kantor, namun sendirian. Ingin bertanya, malas bertatap muka. Hasilnya ke khawatiran melanda. Jelas sekali kalau gengsi. “Apa aku kembali ke apartemen saja,” gumam Alrich sambil mondar-mandir tak jelas. Akhirnya ia memutuskan keluar kantor, tapi dihadang oleh Dave. “Kemana kau akan pergi? Ini masih jam kantor.” “Bukan urusanmu,” jawab Alrich dengan sangat ketus, melirik sekilas lalu pergi begitu saja. “Kembali... kita perlu rapat untuk membahas projek mengenai Erik,” titah Dave sebagai bos. Langkah kaki Alrich terhenti seketika. “Aku harus mencari Amelia.” “Ini menyangkut projek penting, dan kau harus ikut.” Dave berlalu sambil mengeluarkan ponselnya mengetik sesuatu lalu dikirim ke Amelia. Notifikasi pesan dari ponsel gadis itu pun berbunyi untuk sekian kali. Manager salon yang berada di sekitar Amelia sudah lelah menunggu gadis itu bangun. Dia pun berinisiatif untuk membangunkannya. Belum sempat perjalan, Amelia sudah membuka kedua matanya seketika. “Pukul berapa ini?” tanyanya langsung bangun. Sang manager tersentak kaget lalu menunduk. Amelia mengedarkan seluruh pandangannya sambil mengerutkan kening. Apakah dia di culik? Kenapa berada di ruang asing. Jangan-jangan sang penculik ingin menjualnya. “Arrrggghhhhh....!” teriak Amelia cukup nyaring karena ketakutan mengenai peristiwa yang ada di otaknya. ‘Nona...,” panggil sang manager dengan wajah gugup. Teriakan Amelia langsung terhenti saat melihat gadis itu. Ia pernah melihatnya saat memasuki salon. “Aku kira, aku di culik oleh orang,” kata Amelia sangat lega. “Maafkan kami. Karena Anda tidur, jadi kami menyiapkan tempat ini.” Sang maneger salon menjentikkan jari, muncullah seorang gadis membawa sepiring udang krispy. Karena Amelia sangat lapar, ia hanya menelan ludahnya beberapa kali. “Ini hadiah kecil dari kami.” Manager itu menaruh makanan tersebut di atas meja. Amelia mengerutkan kening, menatap mereka satu persatu. “Bukan kah ini salon? Kenapa memberi layanan makanan?” Sifat curiga Amelia mulia keluar sehingga membuat kedua gadis itu berkeringat dingin. “Sudahlah... aku lapar.” Bagaimana pun mereka berbaik hati memberinya makanan secara gratis. Asal Amelia tahu, makanan itu tidak gratis, malah sangat mahal karena Samuel membayar dengan satu kartu debit berwarna hitam. Setelah selesai menghabiskan udangnya, Amelia melirik sekilas ke arah ponsel. Matanya mendelik tajam melihat dua puluh panggilan dari Alrich, satu penggilan dari Dave beserta satu pesan. “Mungkin hanya spam,” kata Amelia sambil membuka pesan itu. Setelah dibaca dnegan teliti, gadis tersebut tak bisa berkata apa-apa lagi. Bergegaslah ia keluar ruangan menuju ke kasir. Sampai di tempat pembayaran, mereka menolak untuk di bayar dengan alasan ada promo. Tidak mau memikirkan terlalu dalam karena harus kembali ke kantor, Amelia segera pergi meninggalkan tempat itu. Untungnya, salon dan kantor satu lokasi. “Gila... jika aku tak dapat projek erik, aku bisa di remehkan oleh Rosa.” Satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya bertalenta, Amelia harus menerima pekerjaan itu. Ia yakin, Amelia yang dulu selalu saja membuat masalah. Gadis itu berlari menuju ke kantor. Sebuah pesan singkat kembali muncul di ponselnya. Waktumu tiga menit, Jangan sampai terlambat. “Oh s**t! Kutub selatan menyebalkan!” maki Amelia terus berlari kencang menuju ke kantor. Sampai di lobi kantor, Amelia berjalan biasa sambil tersenyum. Profesional itu perlu untuk membangun image yang baik. Semua karyawan langsung menyapanya, ia pun bergegas masuk ke dalam lift lalu mengelus dadanya. “Sumpah... nafasku... mau... habis...” Baru dia terengah-engah karena laju nafasnya yang terus memburu. “Awas saja kalau mereka menggantikan ku.” Amelia berdiri sambil bersandar di dinding lift. Waktu terasa sangat lama sehingga kesabarannya habis. Saat pintu lift terbuka lebar langsung saja tancap gas menuju ke ruang rapat. Gadis itu membuka pintu cukup kasar, sehingga menimbulkan suara. Otomatis gadis itu menjadi pusat perhatian. “Maaf... aku terlambat.” Amelia tak memperdulikan pandangan orang sekitar. Yang di inginkan segera duduk untuk melepas lelah. Dave datang, bersama dengan tiga pria lainnya. Delon, Ken dan juga Alrich. Saat mata mereka bertemu satu sama lain, Amelia tersenyum ke arah Alrich. Dave berdehem canggung karena mengingat kejadian di mobil. Pria itu mengira bahwa Amelia tersenyum kepadanya. Memang dasar narsis. “Karena kalian sudah berkumpul, maka aku akan membahas proyek kita.” Rosa langsung angkat tangan, “Amelia sudah menanganinya. Kenapa harus dibahas lagi.” “Benar....,” jawab mereka serempak. Amelia tersenyum senang karena proyek itu tetap dilimpahkan kepadanya. Ken dan Alrich duduk di kursi, lalu menatap ke pemimpin mereka. Alrich pun angkat bicara, “Bisa dikatakan kami sudah setengah jalan. Apa yang perlu dibahas?” “Lagi pula Tuan Wilson sudah menyetujuinya,” sambung Amelia tak ingin kalah. Dave menebarkan hawa dingin yang menyiksa semua orang. “Proyek ini harus di tangani selain Amelia,” katanya final. Amelia mencibir, “Bilang saja kalau kau tak ingin aku menangani. Semua alasanmu tak masuk akal.” Profesional saja. Amelia ingin melakukan yang terbaik untuk merubah namanya yang sudah buruk. Proyek besar harus berada di tangannya. “Apa kau bilang?” teriak Dave tak terima. Amelia tak gentar dengan sikap Dave yang tak masuk akal itu. “Apa yang dikatakan Amelia benar, Dave? Apa alasanmu?” Rosa harus berupaya membuat Amelia yang menjadi penanggung jawab proyek itu. “Karena dia tak kompeten.” Suara Dave begitu menggelegar di seluruh ruangan. Amelia langsung tahu bahwa dia meremehkannya. “Aku akan membuktikan bahwa aku kompeten.” Gadis itu bangkit. “Al... kita pergi sekarang.” Ia kesal dengan ucapan Dave yang begitu terus terang. Itu Amelia yang dulu bukan Amelia yang sekarang. “Baik.” Mereka berdua pun keluar ruangan, membuat Dave kembali di landa amarah. “Bubar!” teriaknya cukup kencang. Langsung saja semuanya lari terbirit-b***t seperti melihat setan. Ken yang ada di sana masih melihat ekspresi wajah pria itu. Sepertinya, dia menyukai Amelia Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN