Ivy merasa kesehatannya menurun beberapa hari terakhir. Ia jadi mudah lelah dan pusing. Khususnya, saat bekerja di rumah sakit. Kadang, ia akan meminta waktu lebih banyak untuk beristirahat.
“Kamu nggak mau coba periksa aja, Vy? Udah berhari-hari kamu kelihatan lesu gini. Kalau memang sakit, biar dibuatin surat izin,” tanya salah seorang teman Ivy, yang bekerja di bangsal yang sama dengannya.
Ivy tersenyum lembut. “Aku nggak apa-apa. Mungkin karena periode-ku mundur aja, nih. Jadi di dalam kotor banget kali.”
Rara - teman Ivy itu mengernyitkan alisnya. “Nggak mau coba ke Dokter Aisyah?”
“Hush!” Ivy mendelik sebal ke arah temannya yang sedang terkikik geli itu. Pasalnya, Dokter Aisyah adalah dokter spesialis kandungan di rumah sakit tempatnya bekerja ini. Jadi, menurutnya konyol saja kalau Rara tiba-tiba menyuruhnya untuk periksa ke Dokter Aisyah.
“Lah, orang udah nikah, disuruh ke dokter kandungan malah marah. Ya siapa tahu aja, kan, Vy … lagian kamu sama Kenan kan nikah karena cinta. Wajar-wajar aja kalau secepat ini udah goal,” goda Rara.
Ivy terdiam. Apa benar dirinya hamil? Namun, ia tak merasakan tanda kehamilan lain seperti mual dan sebagainya. Ia hanya merasa gampang lelah dan pusing, itu saja.
“Ayolah, Vy. Kalau perlu aku antar deh. Aku sih yakin kamu ada tanda-tanda ke sana. Dan saranku sih, buruan cek!” imbuh Rara.
Ivy menghela napas panjang. “Tapi kalau negatif, gimana dong, Ra?”
“Ya tinggal usaha lagi lah!” balas Rara seenaknya, membuat Ivy mendengus sebal. “Serius, Vy. Periksa aja buruan. Nanti deh habis shift kita selesai, gimana? Kalau iya, aku mintain temanku yang kerja di poli buat ambilin nomor antrean nih.”
Ivy cukup lama menimbang. Kalau hasilnya positif, tentu ia akan sangat bahagia. Sekarang usianya sudah menginjak kepala tiga. Tidak ada lagi alasan untuk dia menunda. Saat awal pernikahan pun, tampaknya Kenan juga tidak ada kepikiran ke arah sana. Jadi, sebenarnya memang itulah kabar yang Ivy nantikan.
Hanya saja, kalau hasilnya negatif, apa dia siap untuk merasa kecewa?
Ivy menoleh ke arah Rara. Perawat muda seusianya itu tampak tersenyum sambil mengedipkan matanya berkali-kali, seolah membujuk Ivy dengan raut wajah lucunya. Ivy menghela napas panjang. Setelah menimbang cukup lama, akhirnya …
“Oke. Kita ke Dokter Aisyah habis ini. Tapi plis, Ra, yang tahu cukup kita dulu aja, ya!” putus Ivy.
“Nah … gitu, dong. Siap, Bu Bos Erlangga!” seru Rara dengan riang, membuat beberapa pasang mata milik perawat lain tertuju pada mereka. Sedangkan Ivy yang sudah biasa menghadapi sahabatnya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah yang lelah.
***
“Aku senang kamu bisa nyempetin jemput hari ini,” ungkap Ivy pada Kenan, begitu ia masuk ke mobil putih lelaki itu.
Kenan menoleh, “kan kalau memang sempat, aku selalu jemput, sayang. Lagian kayaknya aku banyak jemputnya deh daripada enggaknya.”
“Iya, aku ngerti. Cuma seneng aja rasanya. Kamu masa nggak ikutan seneng sih, aku lagi seneng gini?” ujar Ivy.
Kenan tampak memaksakan senyumnya, di tengah raut wajah lelahnya. Ivy sadar, suaminya itu tampak begitu lelah. Apa ia batalkan saja rencananya? Padahal hari ini ia ingin mengajak Kenan makan malam di luar. Namun, tampaknya suaminya itu sedang tidak dalam keadaan yang mendukung.
“Kenapa lagi? Kamu kayak ada yang mau diomongin gitu?” tanya Kenan, saat ia mulai menjalankan mobilnya, tapi saat ia menoleh ke kiri, ia mendapati wajah muram Ivy.
“Nggak apa-apa. Aku cuma pengen makan di luar aja sebenarnya. Tapi kayaknya kamu capek banget, ya? Jadi mungkin next time aja,” jawab Ivy.
Tangan kiri Kenan terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala istrinya itu. “Maaf ya, sayang. Aku beneran capek banget hari ini. Gimana kalau weekend nanti kita makan di luar? Hmm … aku bisa reservasiin resto tempat aku ngelamar kamu. Kamu suka banget kan sama makanan di sana?”
Ivy mengangguk antusias. Baiklah. Lagi pula weekend tinggal dua hari lagi. Sepertinya tidak apa-apa jika ia menunda rencananya kalau cuma dua hari.
Tanpa sepengetahuan Kenan, Ivy mengusap perut datarnya dengan begitu lembut. ‘Mama nggak sabar kasih tahu Papa kamu soal keberadaan kamu di perut Mama, sayang,’ batin Ivy.
Ya. Hasil pemeriksaan Ivy menunjukkan adanya janin berusia empat minggu di dalam rahim wanita itu. Ivy sudah sangat tidak sabar untuk memberi tahu Kenan tentang kabar bahagia itu. Namun, Ivy ingin mengatakannya di sebuah momen yang indah, seperti saat Kenan dulu melamarnya. Dan sepertinya keputusan Kenan adalah sesuatu yang baik bagi keduanya. Ivy akan menggunakan momen makan malam berdua mereka nanti untuk mmeberi tahu Kenan tentang kehamilannya.
Di tempat yang sama, dengan dua momen berbeda yang sangat istimewa.
Setibanya di rumah, Ivy memberi tahu Oma Ratu kalau hari ini ia tidak memasak dan sudah memesan makanan secara online, atas persetujuan Kenan. Namun, tentu saja hal itu ditentang oleh Oma Ratu. Lagi, nenek dari suaminya itu kembali mengomeli Ivy dengan kata-kata yang menyakitkan dan meminta Ivy untuk resign.
“Kamu resign saja! Kamu kerjaan gitu aja bikin nggak bisa ngurus rumah!” sentak Oma Ratu, sebelum akhirnya meninggalkan Ivy di ruang tengah.
Ivy hanya bisa menghela napas panjang, berusaha meluaskan kembali kesabarannya. Ia yakin, suatu hari nanti Oma Ratu pasti akan berubah dan mau menerimanya, seperti kedua orangtua Kenan yang juga awalnya menentang hubungan mereka, tapi kini sudah mulai berdamai dengan keadaan.
“Kenapa lesu gitu? Gimana makanannya? Udah datang?” tanya Kenan. Lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Ia menghampiri Ivy dan duduk di samping perempuan tersebut.
“Hey, kenapa?” tanya Kenan lembut. Ia sadar, ada raut kesedihan di wajah istrinya.
“Nggak apa-apa. Oh iya, makanannya belum datang nih. Nggak apa-apa kan kalau kamu yang nungguin di bawah? Aku mau mandi sama nyuci dulu,” kata Ivy.
Kenan menangkap tangan Ivy saat perempuan itu hendak bangkit dan meninggalkannya. “Ada apa? Oma marahin kamu lagi? Sekarang soal apa?”
Ivy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sungguh, ia tidak punya maksud untuk mengadu pada Kenan. “Nggak ngomel kok. Cuma nasihatin aku aja, biar next time tetap usahain buat masak walau aku kerja. Tapi wajar, sih. Mungkin Oma cuma lagi pengen makan masakan rumahan, tapi kebetulan akunya lagi nggak masak, kan?”
“Ya udah, diemin aja. Nanti juga Oma ikutan makan kalau kita makan. Kalau masih nggak mau, nanti kamu buatin aja masakan sederhana buat Oma, oke?” usul Kenan. Ivy mengangguk. Hatinya menjadi sedikit lebih tenang setelah mendengar ucapan Kenan.
Pria itu memang selalu bisa membuat perasaan Ivy menghangat, hingga akhirnya jatuh hati dan memutuskan untuk bersama, meski di antara mereka terdapat banyak perbedaan yang seolah ingin memisahkan.
“Mandi, gih! Nanti aku tunggu di ruang makan. Sekalian aku mau ngobrol sesuatu sama kamu sama Oma, biar ke depannya kalian nggak sering cek cok begini lagi,” ucap Kenan.
“Jangan mancing pembahasan yang bikin Oma marah ya, Ken!” Ivy mengingatkan.
“Iya, sayang. Aku usahain buat cari pemecahan masalah yang paling aman buat kamu juga kok. Udah sana mandi!” balas Kenan.
Ivy tersenyum. Terutama saat Kenan mengecup puncak kepalanya sebelum dirinya bangkit. Setelah itu, Ivy pun berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.