13 - Cinta Pandangan Pertama

1509 Kata
Beberapa tahun yang lalu … Ivy sedang menjalani shift malam sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, bahkan jarum pendek jam di dalam ruangan itu tampak bergerak cepat menuju ke angka dua belas. Sudah waktunya bagi Ivy untuk beristirahat. “Askep kamu sudah selesai? Nggak mau tidur apa? Udah malam banget ini, Vy,” ucap Rara yang kala itu bertugas dinas malam bersamanya. Bangsal mereka memang sedang cukup sepi. Sejak jam sembilan tadi, Ivy baru sekali mendapat panggilan untuk mengganti infus. Dan sah-sah saja apabila ia ingin beristirahat sekarang. “Udah nih. Kamu tidur duluan aja! Aku sebentar lagi deh. Mau cek HP dulu,” balas Ivy. Ia mengecek beberapa sosial media miliknya karena memang belum merasa kantuk. Beberapa menit kemudian, telepon bangsal berbunyi. Ivy sebagai satu-satunya orang yang berjaga pun segera mengangkatnya. “Halo, di Bangsal Kamboja ada berapa perawat jaga? Bisa kirim satu atau dua orang ke IGD? Di sini sedang banyak pasien kecelakaan,” kata seseorang melalui telepon. “Baik, saya segera ke sana. Kebetulan di bangsal juga lagi sepi. Pasiennya cuma empat,” jawab Ivy. Setelah itu, ia pun bergegas menuju IGD dan langsung membaur dengan para petugas medis lain yang sedang menangani pasien kecelakaan. “Mbak, Mbak, tolong bantu teman saya! Teman saya habis jatuh dari ketinggian dan kayaknya kakinya mau patah!” Ivy bergegas menoleh. Ia lihat, bagian yang menangani pasien kecelakaan sedang sibuk. Mereka tak mungkin dimintai pertolongan sekarang. Apalagi, banyak di antara para korban yang terluka parah. Namun, ia juga tak bisa membiarkan pasien lain berada dalam bahaya. “Di mana teman kamu itu? Ayo kita samperin!” ajak Ivy pada seorang pemuda yang mungkin usianya sekitar awal dua puluhan tahun. Tak lama, Ivy dihadapkan dengan pemuda lain yang tampak meringis kesakitan di kursi roda, dan dua teman lainnya yang menemaninya. “Ini, Mbak. Tadi dia jatuh dari tangga dan mengeluh kakinya sakit seperti mau patah,” ucap pemuda yang tadi memanggil Ivy. “b*****t! Kaki gue nggak separah itu, Dan! Lo nyumpahin kaki gue diamputasi apa gimana, sih?” marah pemuda yang duduk di kursi roda. “Ssshh … kamu sakit kayak gitu aja masih bisa mengumpati temanmu yang berniat baik mau bantu, ya? Sudah cepat, ayo bawa masuk!” suruh Ivy. Ia dan ketiga pemuda lain di sana segera membawa pasien itu masuk ke IGD. Saat itu, suasana di IGD sangat ramai. Dua teman pemuda itu memilih menunggu di luar karena tidak sanggup melihat banyaknya pasien kecelakaan yang berdarah-darah. Lelaki di kursi roda itu sendiri tampak menutup matanya selagi kursi rodanya dijalankan. “Sus, tolong kasih saya tempat paling pojok, dong! Saya nggak bisa denger orang kesakitan seperti ini,” pinta pemuda itu. “Kita cari tempat seadanya, ya! IGD ini sedang penuh. Kita nggak bisa pilih-pilih,” sahut Ivy. “Tenang, Ken. Nanti pas ditanganin kan bisa sambil lihat wajah Mbak perawatnya. Cantik kok. Pasti bisa ngalihin fokus kamu sama keadaan sekitar,” sambung pemuda yang pertama Ivy lihat. Ivy menghela napas panjang. Ia sudah maklum dengan sifat remaja masa kini yang memang suka kurang ajar terang-terangan menggoda seorang wanita meski jelas usianya di atas mereka. Tak lama, mereka sampai di sebuah bilik yang masih kosong. Dikarenakan hanya ada dia dan satu teman pemuda yang sakit itu, mau tidak mau, Ivy pun harus membantu memapah pasiennya itu untuk berpindah ke brangkar rumah sakit. Laki-laki itu mengeluh sakit. Kakinya juga tampak kaku - sepertinya sulit untuk dia luruskan. “Pelan-pelan saja, nggak usah dipaksa!” ucap Ivy lembut, lalu membantu pria itu untuk segera pindah. Ivy tidak sadar. Jika sejak ia merangkul lengan pemuda itu, pemuda itu terus memperhatikannya. “Sudah, kan? Kalau begitu, tolong jaga teman kamu sebentar! Saya mau panggil dokter,” kata Ivy. “Mbak perawat! Tunggu! Kita belum kenalan,” kata pemuda selengekan yang tadi Ivy temui pertama kali. “Nama saya Dandi. Dan ini yang lagi sekarat, sohib saya namanya Kenan. Kami masih sama-sama single, kok. Kalo Mbak perawat gimana?” “Livia.” “Ya?” Ivy refleks merespons saat mendengar namanya disebut oleh pemuda yang sedang terbaring di hadapannya. Kalau tidak salah, namanya adalah Kenan. “Nggak. Saya cuma baca name tag Anda. Nama Anda Livia, kan?” “Hush, bisa aja dia minjem seragam temennya, Ken. Jaman sekarang, jangan terlalu percaya sama name tag!” “Benar nama saya Livia. Sebentar, ya, saya panggilkan dokter dulu,” pamit Ivy, sebelum dirinya benar-benar pergi dari sana. Begitulah kisah awal pertemuan Ivy dengan Kenan. Lelaki itu sudah jatuh cinta pada Ivy sejak pandangan pertama saat ia menjadi pasien Ivy beberapa tahun silam. Dan dari sanalah, Kenan mulai mendekati Ivy. Tidak - awalnya Kenan berusaha menampik perasaannya. Biar bagaimana pun, Ivy lebih dewasa daripada dirinya. Besar kemungkinan Ivy sudah memiliki kekasih atau bahkan suami. Lagi pula, Kenan juga bukan tipe orang yang akan langsung dengan mudahnya menentukan perempuan mana yang akan ia kejar. Ia lelaki yang penuh pertimbangan. Sebab, di pundaknya terdapat sebuah beban berat yang menentukan nasib ratusan orang yang bekerja di perusahaan keluarganya. “Bengong lagi lo, Ken? Ungkapin aja lagi kalau lo naksir sama Mbak Livia. Cantik gitu. Wajar lah lo suka,” goda Dandi saat ia menemani Kenan yang berada di taman rumah sakit. “Namanya Ivy,” ralat Kenan. “Wih … kemajuan. Sampai udah tahu sapaan akrabnya juga. Jadi, gimana? Lo tahu belum dia udah taken atau masih single?” “Masih single. Terakhir pacaran empat bulan lalu. Termasuk baru lah. Mantannya punya rumah makan kecil gitu. Putus karena pacarnya selingkuh.” “Gila lo. Lo tahu dari mana info sebanyak itu? Tapi bodo amat. Bagus kan kalau single? Pepet, Ken! Cantik dan lemah lembut gitu, kalau nggak lo kantongin beneran gue embat juga nanti.” Kenan menatap sengit sahabatnya itu. Ia yang awalnya merasa tenang, kini merasa terancam. Ia heran, kenapa ia jadi takut akan ancaman Dandi? Kenapa seketika ia jadi takut kehilangan Ivy? Dandi menjauhkan wajahnya saat menyadari tatapan mengerikan Kenan terhadapnya. “Santai, Bro. Bercanda doang tadi. Jadi, bener kan dugaan gue? Lo udah jatuh cinta sama perawat cantik itu. Kalau kata gue sih, daripada nyesel, mending lo coba deketin dari sekarang. Kalau perlu, minta dokter buat nggak jadi mulangin lo hari ini lah. Minimal semingguan lagi lo nginep sini biar bisa sekalian PDKT sama Mbak Ivy.” Kenan menghela napas panjang. Diam-diam, selama dua hari ia dirawat di sini - dan dua hari pula ia mengenal Ivy, ia sudah mencari tahu banyak hal tentang gadis itu melalui orang-orangnya. Bahkan, bisa dikatakan ia tahu lebih banyak dari yang seharusnya, termasuk latar belakang keluarga Ivy yang sangat jauh berbeda dengannya. “Nggak gampang, Dan. Banyak penghalang kalau pun gue mau sama dia,” gumam Kenan. “Ya hadapi dong, kalau memang cinta! Atau gini deh. Lo coba dulu tiga atau lima hari usaha buat lupain Mbak Ivy kalau memang menurut penglihatan lo semua bakal sesusah itu. Kita lihat progresnya di hari kelima. Kalau ternyata lo bisa dengan mudah lupain dia, skip! Cari yang pasti-pasti aja! Tapi kalau dalam lima hari lo ngerasa ada yang hilang, saran gue sih, perjuangin apapun rintangannya!” Dan … Kenan gagal di hari ketiga. Dengan bodohnya ia sampai datang ke rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Dan akibatnya, ia menjadi gagu saat ketahuan dengan Ivy yang kebetulan baru selesai menjalankan shiftnya. “Kenan, kan? Ada apa? Apa kamu ada jadwal check up hari ini?” tanya Ivy ramah. “Enggak. Saya ke sini cuma … cuma …” “Cuma?” bingung Ivy karena melihat Kenan yang aneh. “B- bulan depan saya wisuda. Kamu bisa datang?” “Hah?” Ivy jelas bingung. Terlebih, barusan Kenan bicara hanya dalam satu tarikan napas hingga semua tak terdengar cukup jelas bagi Ivy. Dan apapun yang gadis itu dengar barusan, masih ada juga peluang jika ia salah dengar, kan? “Tanggal dua puluh dua bulan depan, kamu ada waktu luang?” tanya Kenan. Ivy baru sadar jika Kenan bahkan sudah mulai berani menggunakan bahasa non formal dengannya, serta mengubah sapaannya menjadi aku-kamu. “Hng … belum tahu. Jadwal dinasku bulan depan belum keluar. Ada apa?” tanya Ivy. “Kalau kamu nggak keberatan, aku pengen undang kamu ke wisuda aku. Setelahnya, ada acara makan-makan juga. Aku harap kamu bisa ikut keduanya,” ucap Kenan gugup. “Aku nggak salah dengar, nih? Tapi kenapa?” Kenan menyodorkan tangannya pada Ivy, membuat gadis itu mengernyit tak mengerti. “Aku mau coba dekat sama kamu. Nggak ada yang bakal marah, kan?” tanya Kenan. Ivy masih tampak cengo. Ia masih belum memberikan reaksi yang berarti, hingga membuat Kenan harus melanjutkan kata-katanya. “Aku merasa nyaman saat ada di dekat kamu. Aku merasa tenang saat melihat wajah kamu. Jadi aku-” “Kenan, maaf. Tapi bukannya kamu tahu kalau aku lebih tua dari kamu?” potong Ivy. “Aku sudah pikirkan itu. Dan menurutku itu bukan masalah jika memang kita cocok,” jawab Kenan yakin. Tiga hari ini, tak sedikit pun pikirannya beralih dari Ivy. Dan ia sudah memikirkan segala risikonya. Ia akan maju - berjuang untuk gadis yang ada di hadapannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN