Positif

1308 Kata
Bunyi suara orang yang muntah terdengar dari kamar mandi. Dewa yang sedang terlelap langsung membuka mata dan mencoba duduk bersandar ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih. Dewa berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Dara sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras. Secara refleks Dewa membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Dara sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur. "Kamu kenapa?" "Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual banget," jawab wanita itu sambil memijat dahi yang berdenyut sejak tadi. "Cuci muka dulu biar seger. Aku bikinkan teh hangat," kata Dewa mengambilkan handuk kecil untuk istrinya. Lalu lelaki itu bergegas ke dapur. Dara mengambil handuk itu dan membasuh mukanya. Rasa mual itu sejak tadi belum juga hilang. Setelah selesai, dia berjalan pelan ke kamar dan berbaring di ranjang. Wanita itu mencoba memejamkan mata. Namun, kepalanya sama sekali tidak mau berkompromi. Dewa masuk ke kamar dengan membawa nampan berisikan teh dan roti. Sepertinya dia akan terlambat berangkat kerja hari ini, padahal kerjaan sedang banyak-banyaknya. Kalau Dara sakit begini, dia mana tega. "Air putih," pinta Dara. Dewa mengambilkan segelas air dan membantu istrinya minum. Dara meneguknya sedikit, tetapi perutnya kembali mual. Wanita itu berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan isi perut. Kosong, hanya cairan lambung dan terasa pahit. Dewa mengikuti istrinya dari belakang. Sepertinya Dara harus dibawa ke dokter. "Kamu gak apa-apa?" "Mual banget, Mas. " "Kita ke dokter, ya," bujuk Dewa. Dara menggeleng. Berjalan saja tubuhnya lemas, mana mungkin ikut antrean di rumah sakit. "Kalau kayak gini aku beneran khawatir." Dewa memijat bahu istrinya. Sekalipun itu tak banyak membantu, paling tidak memberikan sedikit rasa nyaman. "Aku lemes. Pusing." Mendengar itu, Dewa langsung memapah Dara menuju ke ranjang. Lalu memotongkan roti menjadi bagian yang lebih kecil, kemudian menyuapkan istrinya. Dara mengunyah dengan pelan, masih mual tapi masih bisa menerima. Tak terasa akhirnya sepotong roti pun habis. "Mau cobain minum tehnya?" tanya Dewa. Dara menggangguk dan meneguknya dengan pelan. Untunglah minuman ini bisa diterima. Mungkin karena hangat sehingga perutnya terasa nyaman. Dewa menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh istrinya. Lalu memijat kepala Dara dengan pelan. Tak lama mata wanita itu kembali terpejam. Setelah memastikan istrinya tertidur pulas, Dewa berjalan ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Lalu, dia mengambil ponsel dan menelepon ibu mertuanya. "Asalamualaikum, Ibu." "Waalaikumsalam, Dewa. Ada apa, Nak?" "Dara sakit, Ibu. Saya mau berangkat kerja sama antar Cia. Ibu bisa ke sini?" "Yaampun, Dara sakit apa?" "Gak tau, Bu. Mual-mual dari tadi. Saya juga bingung," jelasnya. "Bisa jadi kecapean. Dari dulu begitu." Dewa terdiam sejenak lalu berkata, "Bisa jadi, Bu. Soalnya dia antar jemput Cia, terus beberapa hari begadang ngoreksi ujian anak-anak." "Ya, benar. Memang fisiknya lemah dari kecil." "Tapi Ibu bisa ke sini, kan? Saya sudah mau berangkat. Kasihan Dara kalau cuma sama Bibik." "Iya, sebentar Ibu siap-siap dulu." Ketika sambungan telepon putus, bersamaan dengan itu pula pintu kamar diketuk. "Papa." Terdengar suara Ciara lantang memanggil. Dewa membukakan pintu. "Ayo, kita berangkat. Nanti Cia telat." "Sebentar, ya. Mama lagi sakit," jelas Dewa. Ciara langsung masuk ke kamar dan duduk di sebelah Dara. "Mama kenapa?" Dara yang tadinya terlelap, kini jadi terbangun mendengar obrolan itu. "Mas--" katanya lemah. "Kamu izin aja gak usah kerja, ya. Lemes gini," kata Dewa. "Iya nanti aku chat Riri minta tolong izin," katanya. "Kamu mau dapet kali, makanya sakit gini." tanya Dewa. Setahunya wanita memang akan merasa tak enak badan saat kedapatan tamu bulanan. Hal itu sering dia dapati dari Sarah, almarhumah istri pertamanya dulu. Dara langsung menutup mulut setelah mendengar ucapan suaminya. Tiba-tiba wanita itu menyadari sesuatu. "Aku belum dapet bulan ini, Mas," katanya. "Beneran?" Dara mengangguk yakin. "Jangan-jangan kamu hamil," duga Dewa sambil tersenyum senang. Dia memang mengharapkan istrinya cepat hamil. "Belum tau, Mas." "Alhamdulillah kalau iya. Gak sia-sia usahaku selama ini." "Mas ini." "Nanti pulangnya kita periksa. Mas mau ke kantor dulu sekalian antar Cia. Sebentar lagi Ibu datang. Tadi udah ditelepon." Dewa mencium dahi istrinya dengan lembut kemudian mengajak Ciara keluar kamar. "Mama, Cia sekolah dulu, ya." Anak itu ikut mencium pipi Dara. "Hati-hati di jalan." "Mama cepat sembuh," ucap Ciara. Dara membalas itu dengan anggukan. Dia mengambil ponsel dan mengirim pesan kepada Riri, lalu memejamkan mata saat pintu tertutup. Kepalanya masih sakit dan mual yang terus mendera. *** "Kak, jaga Dewa untukku." Dara terbangun saat merasakan ada sebuah sentuhan di wajahnya. Entah berapa lama dia tertidur hingga tak menyadari bahwa ibunya sudah datang. "Bu." "Isi?" tanya ibunya tanpa basa-basi. "Kayaknya, Bu. Aku belum haid." "Alhamdulillah. Sebentar lagi ibu mau dapat cucu." "Gak enak rasanya." "Ya memang begitu. Semua perempuan mengalami. Kamu mau makan apa?" "Gak tau, Bu. Masa' minum air putih aja mual." "Teh hangat bisa?" "Bisa. Tadi Mas Dewa udah buatin." "Ini ada bubur. Tadi ibu minta Bibik buatin. Mau?" Dara mengangguk. Perutnya kembung sejak tadi. Dengan sabar, sang ibu menyuapi putrinya makan. Hanya bubur tanpa lauk apa pun karena terasa eneg di lidahnya. "Kamu rebahan aja. Kalau ngantuk bawa tidur. Ibu pijetin." Dara mengangguk dan menuruti ucapan ibunya. "Kenapa mualnya belum hilang ya, Bu? Padahal sudah makan." "Memang begitu kalau lagi hamil muda. Jangan banyak dikeluhkan. Nikmati karena ini rezeki. Gak semua orang dikasih amanah seperti kamu," nasihat ibunya. "Mas Dewa mau bawa periksa nanti malam." "Kalau kamu gak lemes pergi aja. Biar bisa dipastikan." "Apa beli alat tes?" "Bisa juga. Titip Dewa nanti kalau udah pulang." Dara kembali memejamkan mata menikmati pijatan ibunya. Rasanya seharian ini dia ingin tidur saja. *** Dara berbaring di ranjang pasien dan pasrah ketika perutnya dibalurkan gel untuk memudahkan permeriksaan. Lalu dokter memulai tindakan, meletakkan alat USG dan memutarnya untuk mencari si calon bayi. "Nah, ini dia. Ada." Sekalipun lemas, Dara tersenyum senang melihatnya. Sementara itu Dewa menggenggam jemari istrinya dengan erat sambil menatap layar di depan. "Saya belum bisa bilang apa-apa. Ini masih kecil banget. Dua minggu lagi datang kembali lagi, ya," lanjut dokter. "Tapi gak apa-apa kan, Dokter?" "Gak apa-apa. Kita sama-sama berdoa. Semoga ini rezeki. Ibunya jangan capek-capek, ya." "Istri saya bekerja." "Boleh tau dimana?" "Guru." "Oh, gak apa-apa. Bisa diatur jadwal mengajar. Yang penting Ibu jangan terlalu capek. Jangan banyak pikiran." "Mual muntahnya?" "Itu pengaruh hormon. Rata-rata semua wanita hamil mengalami. Termasuk saya sendiri di trisemester pertama." "Gak perlu minum obat?" tanya Dewa. "Ada obat untuk mengurangi mual tapi tidak bisa menghilangkan. Biasanya nanti memasuki trisemester kedua mualnya akan berkurang. Bergitu seterusnya sampai kandungan membesar dan memasuki usia sembilan bulan." "Terima kasih, Dokter." Setelah mereka mendapatkan resep yang isinya vitamin, Dewa membantu istrinya masuk ke mobil. Rasanya dia ingin menggendong Dara jika melihat kondisinya yang seperti ini. Namun karena ini tempat umum, jadi tidak mungkin dilakukan. "Kita mau langsung pulang atau cari sesuatu?" Dulu almarhumah Sarah juga mengalami hal yang sama saat mengandung Ciara. Jadi sedikit banyak Dewa sudah tahu. Oleh kerena itu, dia tidak terlalu panik saat melihat kondisi Dara. "Es krim kayaknya enak, Mas." Mobil melaju menuju sebuah mini market yang menjual es krim aneka rasa. Entah mengapa Dara menjadi sedikit segar saat melihatnya. Dengan cepat Dewa mengambil keranjang belanja dan membiarkan istrinya memilih apa pun yang dia suka. "Udah?" "Udah." Mata lelaki itu terbelalak saat melihat isi keranjang yang penuh. Jika tahu begini, lain kali dia akan membawa cooler box sebelum berbelanja. Tadinya dia pikir Dara hanya akan membeli satu atau dua jenis. Ternyata hampir semua rasa diambil. "Pulang sekarang, Mas." "Kamu tunggu di mobil. Mas bayar dulu." Dewa menyerahkan kunci. Dara hendak membuka pintu saat bersamaan dengan seseorang yang akan masuk. "Radit?" "Loh, ketemu lagi. Dari mana?" tanya lelaki itu berbasa-basi. "Periksa kandungan," jawab Dara. "Oh, udah isi?" Dara mengangguk. "Aku masuk dulu," kata Radit berpamitan. Dia sendiri sedang terburu-buru. Dara berjalan menuju mobil, tanpa sadar bahwa sejak tadi secara diam-diam Dewa memperhatikannya saat berbicara dengan Radit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN