Brak!
Bram meletakkan tumpukan map yang berisi berkas tebal di hadapan Naura dengan gerakan sedikit kasar. Sehingga menimbulkan suara yang membuat siapapun yang mendengarnya terkejut. Jangan lupakan debu yang berterbangan. Naura tidak tahu berapa lama berkas itu tersimpan.
"Salin laporan ini sampai selesai. Ingat, jangan ada satu pun yang terlewat. Satu kesalahan kamu buat, kamu harus mengulang dari awal. Jangan pulang kalau semua berkas ini belum kamu salin!" ucap Bram dengan wajah datar.
Dua tangannya dia masukkan ke dalam celana slim fit yang dia kenakan seperti biasa. Dia menyunggingkan senyuman sadis. Bram ingin membuktikan, seberapa lama Naura akan bertahan dalam kondisi tertekan seperti ini setiap hari.
"Cuma menyalin laporan? Baiklah, aku akan kerjakan semuanya. Mas sudah menyiapkan alasan untuk nenek? Mungkin aku akan mengerjakan semua ini sampai malam. Beliau pasti akan bertanya mengapa aku tidak juga kembali ke rumah." Naura menyahut santai dengan tangan mulai memeriksa label di setiap map yang ada di depannya.
"Soal nenek itu urusan saya. Kamu sebenarnya punya tujuan apa bersikap baik kepada nenek saya? Kamu ingin mendapatkan warisan darinya? Saya tidak yakin kalau kamu tulus," ucap Bram meremehkan.
Naura lumayan terpancing untuk marah karena ucapan Bram itu. Tapi dia ingat apa yang dikatakan oleh Rohana. Dia memilih untuk tetap bersikap baik. Kalau saja itu bukan Bram, mungkin Naura sudah melemparkan semua berkas yang ada di hadapannya sekarang ke wajah yang berekspresi mengesalkan itu.
"Mas mau berpendapat kalau aku berniat jahat sama nenek, silakan. Waktu akan membuktikan, apa tujuan aku deket sama neneknya Mas. Sekarang lebih baik Mas kembali ke ruang kerja Mas. Soalnya kalau Mas selalu di sini, itu akan menghambat kerja aku. Huss! Huss!" Naura mengibaskan tangan kanannya, seolah sedang mengusir ayam.
"Terserah saya, ini kan kantor milik saya. Saya mau berada di mana, tidak ada yang berhak mengatur." Bram bergeming. Dia tetap berdiri di hadapan meja kerja Naura sambil mengawasi wanita itu.
"Ya sudah. Silakan saja. Aku mau kerja kalau begitu. Jangan berisik. Jangan banyak bicara. Mas hanya akan mengganggu konsentrasi aku." Naura mulai berkutat dengan laptopnya. Matanya mulai memindai data dari berkas yang ada di dalam map dan tangannya menari dengan lincah di atas keyboard.
Naura tidak habis pikir, bagaimana bisa Bram memberinya tugas yang sebenarnya tidak ada gunanya. Laporannya pun ada yang sejak tahun 2018. Dia tidak habis pikir mengapa lelaki itu sangat berniat membuat dia tidak bertahan lama di kantor Bram.
"Kerjakan yang benar! Saya akan mengawasi kamu dari ruangan saya. Jangan macam-macam!"
Setelah mengatakan itu, Bram berbalik dan melangkah pergi dari ruang kerja Naura. Wanita itu hanya memandang punggung suaminya yang kian menjauh, dan menggelengkan kepala heran.
"Biasanya kalau di n****+-n****+ yang aku baca, punya bos suami diperlakukan bagaikan ratu. Tapi aku, punya bos suami malah bikin gedeg. Segala laporan dari lima tahun lalu disuruh nyalin. Nggak sekalian yang dari pertama perusahaan ini beroperasi?" Naura menggerutu, tetapi bagusnya dia masih bisa fokus. Baik mata, maupun jari-jarinya.
"Beruntung aku sudah terbiasa dengan pekerjaan semacam ini. Tapi tetap saja ini penyiksaan. Bisa-bisa punggungku kram kalau harus menyelesaikan semua ini tanpa istirahat. Ehm, aku punya ide. Bagaimana kalau nanti aku mengadu pada nenek? Sekali-kali memang perlu dikasih pelajaran si om-om itu." Naura cekikikan sendiri. Dia bisa membayangkan bagaimana ekspresi Bram nanti saat terkena teguran dari Rohana.
Saat sedang fokus mengerjakan berkas yang diminta oleh Bram, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Naura menyahuti dari dalam untuk mempersilakan seseorang di luar sana untuk masuk
Wanita itu langsung terganggu dengan aroma parfum yang cukup menyengat dari seseorang yang berjalan masuk. Seorang wanita bertubuh langsing dengan pakaian modis menatap Naura dengan tatapan tidak suka.
"Aku tidak suka basa-basi. Aku mau bicara padamu langsung pada intinya saja. Kamu siapanya Bram? Beraninya kamu membuat aku tersingkir dari sisinya, setelah perjuanganku selama bertahun-tahun. Kamu menyukainya sampai rela melakukan apapun untuk bisa mendekatinya? Sungguh menjijikkan," umpat wanita itu. Naura yakin, wanita yang sedang menatapnya angkuh itu Yuka, sektretaris Bram yang lama.
Naura meredam emosinya. Dia tahu, menghadapi orang-orang seperti Yuka tidak boleh dengan cara kasar. Dia tidak ingin membuang tenaga. Sekarang Naura menatap wanita yang memojokkannya itu dengan tatapan lembut. Bibirnya juga melukiskan senyuman, meski hanya tipis.
"Anda tidak mengenal saya, Nona. Lalu ... untuk apa Anda menghakimi saya seperti itu? Apapun hubungan saya dengan pak Bram, itu bukan urusan Anda. Kalaupun memang benar saya melakukan ini karena rasa suka saya terhadapnya, saya kira itu juga bukan hal yang perlu Anda permasalahkan. Anda juga boleh jijik terhadap saya, tetapi saya tidak peduli. Orang seperti Anda tidak akan mempengaruhi kehidupan saya. Kalau memang tidak ada keperluan lain, silakan keluar dari ruangan saya. Masih banyak hal penting yang harus saya kerjakan."
Naura menyampaikan untaian panjang kalimatnya dengan tenang. Dia tidak menunjukkan sedikit pun emosinya. Seakan dia tidak terpengaruh atas cemoohan dari Yuka. Naura seolah sedang membuktikan kalau dia bukan lawan yang sebanding untuk mantan sekretaris suaminya itu.
"Sialan! Bisa-bisanya kamu seberani itu mengusirku dari ruanganku sendiri! Besok, kamu harus mengembalikan posisiku di sini. Awas saja kalau kamu tidak melakukan itu. Aku akan ..."
"Akan apa?" Suara seorang lelaki yang familiar bagi mereka berdua terdengar. Diiringi dengan ketukan sepatu pantofel yang dikenakannya.
"Pak Bram," ucap Yuka sopan sambil membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.
"Coba jelaskan, apa yang baru saja kamu katakan pada Naura? Kamu akan apa kalau dia tidak melakukan apa yang kamu minta?"
"Se-sebenarnya yang tadi itu cuma bercanda, Pak. Maaf. Kalau begitu, saya akan kembali ke ruangan saya. Selamat siang, Pak Bram." Yuka buru-buru meninggalkan ruangan Naura. Tapi sebelum pergi, gadis itu sempat memberikan kode pada Naura kalau urusan di antara mereka belum selesai.
"Hufh! Untunglah. Terima kasih banyak, Mas." Naura berterima kasih atas bantuan Bram dengan wajah ceria, dan imut.
"Ck! Tidak usah ke-geer-an. Saya melakukan itu karena saya tidak mau nenek mengomeli saya. Belum lagi, kelamaan mengobrol hanya akan menghambat kinerja kamu. Cepat selesaikan tugas dari saya. Kita harus pulang bersama untuk makan malam. Jadi usahakan sebelum jam makan malam, semua pekerjaan kamu ini harus sudah selesai." Bram menyusul keluar dari ruangan Naura tanpa memberikan wanita itu kesempatan untuk membantah.
"Jadi usahakan sebelum jam makan malam harus sudah selesai!" Naura meniru kalimat Bram dengan ekspresi mengejek.
"Dikira aku robot apa, ya? Ya Tuhan! Gini banget deh perjuangan buat dapetin cinta dari suami idaman. Semoga aku kuat sampai berhasil menjatuhkan hatinya. Kalau nggak kuat ya ... harus kuat." Naura mengusap wajahnya dengan telapak tangannya sendiri. Dia benar-benar frustrasi dengan sikap Bram sekarang.