TANGAN NAKAL NAURA

1241 Kata
Sudah hampir tengah malam, tetapi mata Bram belum memiliki tanda-tanda akan terpejam. Lelaki itu tengah didera rasa rindu yang teramat sangat pada mendiang tunangannya. Untuk sedikit mengurangi rasa rindunya itu, Bram memutuskan memandangi foto-foto Dera yang masih tersimpan di dalam galeri ponselnya. Tanpa sepengetahuannya, Naura terbangun. Wanita itu bisa melihat dengan jelas apa yang tengah dipandangi oleh suaminya. Sebagai seseorang yang mencintai Bram, tentu saja hatinya terasa tercubit. Kehadirannya selama ini dianggap angin. Sedangkan Dera, setelah lima tahun lamanya berada di dalam tanah, Bram masih memujanya. Tapi bukan Naura namanya, kalau tidak memiliki ide untuk berbuat iseng terhadap suaminya. Dengan mata masih terpejam, wanita itu menggulingkan diri, agar jaraknya dengan Bram tidak terlalu jauh. Hal itu tentu saja menarik perhatian suaminya. Lelaki itu menghentikan kegiatannya sejenak, dan melirik Naura. Dalam penglihatan Bram, wanita itu sekarang tengah tidur pulas. Dia kemudian berpikir kalau apa yang baru saja dilakukan Naura hanya bagian dari mimpinya. Tapi sayangnya, ada hal lain yang membuat Bram langsung memalingkan pandangannya. Karena posisi Naura begitu dekat dengannya, dia bisa melihat jelas bagian privasinya yang sedikit menjembul. Mengingat baju tidur yang dikenakan oleh istrinya lumayan terbuka. Di dalam hatinya, Bram mengumpat. Dia tidak habis pikir mengapa Naura tidak memiliki rasa malu terhadapnya. Wanita itu terlihat sangat santai dengan pakaian yang bahkan tidak membungkus tubuhnya dengan benar. Belum lagi aroma wewangian yang digunakannya, benar-benar mengganggu penciuman Bram. Melihat apa yang terjadi, Naura mati-matian menahan senyum. Dia bersorak dalam hati karena berhasil membuat suami dinginnya itu salah tingkah. Tentu saja tidak hanya sampai di situ. Perlahan Naura menggerakkan tangannya, dan menjatuhkan indra perabanya itu tepat di atas d**a suaminya. Dia bisa merasakan bagaimana pahatan tubuh lelaki itu begitu sempurna. Dengan usilnya, Naura menggerakkan tangannya seperti sedang mengusap kepala kucing beberapa kali. Bram mengatupkan giginya. Lelaki itu juga mengepalkan tangannya untuk menahan rasa geli, dan aneh karena setelah Dera meninggal, tidak ada yang berani menyentuh tubuhnya. Dengan gerakan perlahan, dia segera mengangkat tangan Naura, dan menjauhkan dari tubuhnya. "Rasain kamu pak tua. Gimana rasanya digodain sama istri sendiri? Sampai kapan mau bertahan bersikap dingin?" Naura berucap dalam hati. Dia tidak akan berhenti untuk menggoda Bram. Sekarang lelaki itu sedang meletakkan ponselnya ke atas nakas. Dia ingin mencoba memejamkan matanya. Tapi sebelum tangannya beralih dari ponsel itu, tangan Naura sudah lebih dulu mendarat di perutnya. Bram menahan napas. Cepat-cepat dia berusaha mengangkat tangan Naura. Tidak seperti yang pertama, kali ini Naura melawan. Dan ... "Ugh!" Rasa tidak enak langsung menghantam bagian bawah tubuh Bram. Hal itu disebabkan oleh tangan Naura yang tidak sengaja mendarat di inti tubuhnya yang setengah bangun. Refleks, Bram pun terjatuh dari ranjang. Bugh! Dia bagaikan jatuh tertimpa tangga. Setelah bagian inti tubuhnya terkena pukulan kecil dari tangan istri agresifnya, sekarang Bram harus merasakan lengannya ngilu akibat terjatuh dari ranjang secara tiba-tiba. "Sialan! Dia sebenarnya benar-benar tidur atau mempermainkan saya, sih!" umpatnya kesal. Bram segera bangkit. Dia berdiri, dan memandangi Naura yang masih damai dalam tidurnya. Kemudian, lelaki itu mendengus. Dia merasa malam ini tidak aman tidur di atas ranjang. Dengan terpaksa, Bram mengambil bantal, dan berjalan ke arah lemari. Mengambil selimut tebal berwarna abu-abu miliknya. Lelaki itu melangkah gontai ke arah sofa. "Daripada tubuhku digerayangi sama dia, lebih baik saya tidur di sini. Yah, walaupun resikonya tubuh saya pasti sakit-sakit besok pagi. Ini lebih baik daripada Bram junior menjadi korban. Naura sedang mimpi apa ya, kira-kira? Bisa-bisanya tangannya merayap kemana-mana," omelnya pelan sebelum akhir merebahkan diri di sofa yang biasa dia gunakan untuk membaca itu. "Hihihi, ternyata pak tua lemah! Baru gitu aja dia udah nyingkir ke sofa. Selamat tidur, pak tua. Selamat menikmati malam terindah." Naura kembali berucap dalam hati sambil menyunggingkan senyum. Dia merasa sangat puas karena sudah berhasil mengerjai suaminya. *** "Selamat pagi, Nenek." Naura menyapa saat Rohana terlihat berjalan masuk ke ruang makan yang berdekatan dengan dapur. "Pagi, Naura Sayang. Hari ini kamu terlihat sangat ceria. Lagi masak apa? Nenek mencium bau yang harum." Rohana menarik kursi favoritnya, dan duduk di sana. Naura kemudian membawa baki berisi satu mangkuk kecil dan sendok, ke arah Rohana. Mangkuk itu berisi bubur kacang merah yang masih mengepulkan asap. Aromanya memang sangat menggugah selera. "Kata mbak Minah, Nenek suka makan bubur kacang merah. Jadi Naura sengaja membuat ini spesial untuk Nenek. Ayo dicicipi, Nek. Aku mau Nenek menilai apakah ini enak atau tidak. Kalau rasanya kurang enak, maafkan ya, Nek. Ini pertama kalinya Naura membuat bubur kacang merah." Naura berceloteh panjang sambil menata mangkuk dan sendok yang dia bawa. Rohana tampak menghirup aroma yang berasal dari asap bubur tersebut. "Dari aromanya, nenek yakin ini enak. Nenek coba ya, Sayang." Wanita tua itu meminta izin sebelum menikmati bubur buatan cucu menantunya. "Silakan, Nek." Naura menyahut. Rohana segera mengambil sendok yang sudah disiapkan oleh Naura, menyendok bubur itu perlahan, dan memasukkannya ke dalam mulut. Naura sendiri tampak sedang menunggu, bagaimana reaksi Rohana saat memakan buburnya. "Hmm ... ini bubur kacang merah terenak yang pernah nenek makan. Luar biasa. Nenek sangat suka. Lain kali, kamu harus membuatnya lagi untuk nenek, Sayang." Rohana memuji hasil masakan Naura. Bubur itu memang benar-benar nikmat. "Nenek serius? Aaaa! Naura senang sekali. Pokoknya Nenek harus makan yang banyak." Mata Naura tampak berbinar. Setelah beberapa tahun hidup sebatang kara, Naura merasakan kehangatan di rumah itu. Walaupun hanya Rohana yang menganggapnya keluarga, Naura sudah bersyukur. "Tentu. Nenek akan makan banyak nanti. Sekarang kamu juga makan, Sayang." "Nanti saja. Aku mau melihat Nenek makan. Selama ini, kalau aku masak, hanya aku sendiri yang makan. Hari ini aku sangat bahagia karena ada Nenek yang makan masakan aku." Rohana menatap Naura, saat cucu menantunya itu mengucapkan kalimat yang entah mengapa menyentuh hatinya. Bahkan, kalimat itu membuat matanya berkaca-kaca. "Mulai sekarang, kamu boleh masak apa saja di sini, Sayang. Nenek yang akan mencoba semua masakan kamu. Naura punya nenek sekarang," Rohana menggunakan tangan keriputnya untuk mengusap lembut pipi Naura. Wanita itu meraih tangan neneknya dengan gerakan perlahan, lalu mengecupi punggung tangan itu beberapa kali. "Terima kasih banyak, Nek. Naura sayang sekali sama Nenek." "Nenek juga sangat menyayangimu, Sayang." "Selamat pagi, Nek." Bram yang entah sejak kapan berada di antara mereka menyapa neneknya. Melihat tatapan mengintimidasi dari Rohana, Bram tahu apa yang harus dia lakukan. "Selamat pagi, Naura." Bram terpaksa menyapa istrinya. "Pagi," sahut kedua wanita itu hampir bersamaan. Bram terlihat kacau. Wajahnya lebih lesu dari biasanya. Tampak sekali kalau semalam Bram kurang tidur. "Semalam kamu bekerja sampai larut malam, Bram?" Rohana yang juga menyadari perubahan di wajah cucunya langsung mengajukan pertanyaan. "Tidak, Nek. Semalam aku hanya tidak bisa tidur. Ada tangan yang merayap-rayap," sahut Bram yang sekarang tengah mengambil sepotong roti, dan bersiap mengoleskan selai kacang favoritnya. "Tangan merayap?" Nenek tua itu keheranan. "Iya. Tangan merayap. Sudahlah, lupakan, Nek. Aku harus segera mandi. Ada meeting pagi ini." Bram membawa rotinya pergi. Lelaki itu ingin membersihkan diri setelah makan. Selain itu, dia tidak ingin dihujani pertanyaan oleh sang nenek mengenai tragedi tangan merayap. Sekarang tatapan Rohana tertuju pada Naura. Wanita itu tampak tersenyum. Tidak, lebih tepatnya ... Naura tengah tersipu malu. "Apakah tangan merayap itu milik kamu, Naura?" tanya Rohana dengan gesture menggoda. "Naura bisa jelaskan, Nek." Pipi Naura total memerah. "Sudah-sudah, nenek malah senang kamu lebih agresif. Bram memang harus sedikit digoda supaya dia bisa cepat luluh sama kamu. Apa sampai sekarang kalian belum ..." Naura langsung menggeleng. Dia tahu ke arah mana pembicaraan neneknya itu. "Biar nanti nenek yang urus. Sekarang lebih baik kamu sarapan. Jangan lupa, kamu asisten pribadi Bram yang harus mendampingi dia." "Ah iya, Naura hampir lupa soal itu, Nek."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN