BERIKAN HAK SAYA MALAM INI

1044 Kata
Jam dinding besar yang berada di ruang keluarga rumah Bram menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Lelaki itu tampak tengah duduk santai dengan tangan memegang gelas bergagang, dengan minuman berwarna merah pekat di dalamnya. Sebenarnya Bram sudah sempat tertidur beberapa jam. Tapi mimpi tentang Dera membangunkannya. Setelah terbangun, lelaki itu berada dalam penyiksaan rindu yang menggebu. Kalau saja ini bukan malam hari, Bram pasti akan langsung datang ke makam Dera. Rohana yang tidak sengaja terbangun, dan mendengar ada televisi yang menyala, segera keluar dari kamarnya. Mendapati Bram yang duduk seorang diri, wanita tua itu pun berjalan menghampirinya. "Belum tidur, Bram?" tanya Rohana yang sekarang duduk tidak jauh dari cucunya. "Sudah sempat tidur, Nek. Apa saya membangunkan Nenek?" Lelaki itu mengalihkan atensinya ke arah wanita yang sudah merawatnya sejak kecil. "Tidak, Bram. Tadi kebetulan nenek dari kamar mandi, dan mendengar televisi menyala. Setelah melihat itu kamu, nenek sengaja datang ke sini. Ada yang ingin nenek bicarakan." Rohana membenarkan letak baju hangatnya. Suhu ruangan itu lumayan dingin. Bram meletakkan gelas yang ada di tangannya ke atas meja dengan hati-hati. Dia ingin memfokuskan perhatian ke arah sang nenek. Dia ingin tahu, apa yang akan dibicarakan oleh neneknya. "Memangnya apa yang ingin nenek bicarakan? Tidak bisa ditunda sampai esok pagi? Ini sudah larut malam, Nek." Bram memberikan pertimbangan. Rohana menghela napas pelan. Wanita itu kemudian menggeleng. "Kamu tidak punya cukup waktu di siang hari untuk membicarakan ini dengan nenek. Maaf, bukannya nenek ikut campur, tetapi ini penting. Apa sampai detik ini, kamu belum menyentuh Naura?" Bram tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan oleh neneknya. Lelaki itu tampak sedang mempersiapkan kalimat apa yang akan dia ucapkan. Jujur saja, pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab olehnya. Karena sudah pasti, Rohana akan menyalahkan apa yang dia lakukan. "Maaf, Nek. Saya belum bisa melakukan itu." Bram berharap kalau jawabannya itu sudah cukup. Tapi tentu saja tidak. Rohana tidak akan menerima begitu saja jawaban dari Bram. Dia yang juga sangat menginginkan cicit dari cucunya itu akan berusaha keras supaya Bram mau melakukan hubungan suami-istri dengan Naura. "Bram, kamu harus melakukannya segera. Itu kewajiban kamu sebagai seorang suami. Selain itu, nenek mau punya cicit dari kamu. Kamu pasti masih ingat tentang apa yang dikatakan oleh dokter Richard. Apa kamu tidak ingin berniat mengabulkan permintaan terakhir nenekmu ini, Bram?" Bram bisa melihat kedua mata neneknya berkaca-kaca. Hatinya terluka menyaksikan wanita yang dia sayangi itu bersedih. Di sisi lain, dia benar-benar belum memiliki rasa apapun terhadap Naura. Perasaannya masih sepenuhnya milik Dera. Ingatan Bram tertuju pada keterangan dokter Richard . Dokter keluarga yang menangani neneknya. Menurut beliau, penyakit kelainan jantung yang diderita oleh Rohana semakin memburuk. Dalam kondisi sehat sekalipun, wanita itu bisa drop sewaktu-waktu. "Baik, Nek. Saya akan melakukannya. Saya akan memberikan nenek cicit secepatnya. Tapi nenek harus janji, nenek harus selalu rajin minum obat. Nenek harus hidup lebih lama lagi. Saya tidak mau kehilangan nenek," ucap Bram yang sekarang sibuk menciumi punggung tangan neneknya. Itulah yang menjadi tujuan Rohana menjodohkan Bram dengan Naura. Kalau suatu hari nanti dia meninggal, Bram tidak akan kesepian. Ada Naura yang akan menemani hari-hari Bram dengan kehangatan yang dimilikinya. Naura merupakan gadis yang tepat untuk Bram menurut Rohana. Mendengar ucapan cucunya, senyum bahagia tercipta di wajah wanita berusia enam puluh tiga tahun itu. Dia selalu berdoa, supaya Bram secepatnya bisa jatuh hati pada Naura. "Terima kasih, Sayang. Nenek berjanji akan mengikuti semua prosedur pengobatan dengan baik. Sekarang tidurlah, sudah malam. Kasihan Naura, dia tidur sendirian." Rohana kemudian bangkit setelah mengusap-usap pundak Bram. Bram mengiyakan saran dari neneknya. Lelaki itu kemudian kembali meraih gelas yang tadi dia letakkan di atas meja. Isi dari gelas itu dia habiskan dalam sekali teguk. Setelah memastikan neneknya benar-benar menghilang di balik pintu kamarnya, Bram beranjak dari posisinya semula. Lelaki berwajah tampan itu kini bergegas menuju ke kamarnya. Akan memenuhi permintaan neneknya malam ini juga. Itu berarti, dia akan melakukan itu tanpa cinta. Saat pertamanya harus berakhir dengan seorang gadis yang bahkan tidak sedikit pun dia inginkan. "Harusnya aku memberikan keperjakaanku untuk Dera. Kenapa harus dia? Di saat aku sudah memutuskan untuk tidak melakukannya dengan siapapun. Maaf, Sayang. Aku terpaksa harus melakukan ini." gumam Bram dalam hati. Dengan gerakan pasti, dia membuka pintu kamarnya. Lelaki itu menemukan Naura masih terjaga. Wanita itu duduk di pinggiran ranjang sambil memainkan ponselnya. Mengetahui Bram datang, Naura cepat-cepat menaruh ponselnya, dan tersenyum ke arah suaminya yang bersikap dingin seperti biasa. "Kamu belum tidur?" tanyanya datar. "Tumben Mas nanya. Aku sengaja nungguin Mas," jawab Naura dengan ekspresi ceria. "Saya mau hak saya malam ini." Bram mengatakan langsung ke poinnya. Lelaki itu sekarang duduk di sebelah Naura. Sementara Naura sendiri tampak syok. Dia belum lupa kalau tadi pagi Bram sempat mengatakan kalau dia tidak layak untuk disentuh karena dirinya bukan Dera. Sekarang, Bram tiba-tiba ... "Hak Mas? Maksudnya?" Naura memastikan. Dia tidak ingin salah tanggap. "Bukankah kamu kemarin menyentuh tubuh saya untuk menagih kewajiban saya terhadap kamu? Malam ini saya kabulkan. Ayo kita lakukan." Naura mungkin akan terkesan kalau Bram mengajaknya dengan ekspresi yang manis. Setidaknya, dengan kalimat lembut, dan sedikit rayuan. Tapi lihatlah sekarang, Bram bahkan diam seperti robot. "Kenapa tiba-tiba, Mas? Bukannya Mas bilang nggak mau nyentuh aku? Kenapa mendadak Mas memintaku untuk melakukan itu bersama Mas? Apa Mas mabuk?" Sikap Bram yang mendadak berubah tentu saja aneh bagi Naura. Dia tahu pasti kalau Bram bukanlah tipe orang yang mudah berubah pikiran. Apalagi soal ini. Naura bisa melihat seberapa besar perasaan yang lelaki itu miliki untuk Dera. "Saya tidak akan menjawab pertanyaan kamu. Itu tidak penting bagi saya. Sekarang saya hanya ingin tahu jawaban kamu. Kamu mau melakukannya dengan saya, atau tidak?" Aura dominan dari sosok Bram begitu terasa. Apapun alasannya, apa Naura memiliki hak untuk menolak sekarang? Mau tidak mau, dia harus memberikan hak Bram sebagai suaminya. Di sisi lain, dia juga senang. Pada akhirnya dia dan Bram akan menjadi sepasang suami-istri yang sesungguhnya. "Kalau Mas sudah meminta hak Mas, aku harus memberikannya, bukan? Aku tidak mau menjadi istri durhaka yang tidak mau melayani keinginan suaminya." Naura berucap lembut. Dia tidak peduli walau ini hanya mimpi. Dia ingin bahagia sebentar saja dengan lelaki yang dia cintai. Malam ini, dia akan mempersembahkan dirinya untuk pertama kali pada Bram. Dia berharap, ini menjadi awal yang indah untuk hubungan mereka berdua. "Bagus. Kalau begitu, ayo kita mulai. Saya tidak ingin membuang waktu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN