Mereka makan lesehan di warung tenda Ayam penyet di pinggir jalan.
Tanpa malu, Tita makan dengan lahap. Benny sampai ternganga dibuatnya.
"Kenapa?! Apa dengan melihatku makan, perut Kamu bakalan kenyang?!" Tita tak memperdulikan Benny. Perutnya sangat lapar.
Tadi Dia sedang makan malam bersama Keluarganya, Mama, Papa dan Bang Tito. Tapi arah pandangan Tita tak sengaja melihat Benny yang juga sedang makan malam di Resto yang sama.
Tita sampai menutup wajahnya dengan buku menu yang ada di atas meja. Tita memutar otak bagaimana caranya pergi dari tempat itu. Dia tak ingin kepergok Benny, sedang makan malam bersama Keluarga. Bisa-bisa terbongkar penyamarannya.
Vita yang melihat kegelisahan Puterinya, menegur Tita. "Kamu itu kenapa? Dari tadi grasak grusuk gak jelas." Tanya Vita lembut.
"Ma.. Pa.. Bang.. Hhmmm.. Tita mau ke toilet dulu. Sakit perut. Kayaknya masuk angin." Tita beralasan.
"Kebiasaan buruk!" Ketus Tito.
"Ya sudah, jangan lama-lama." Kata Vita.
Tita tersenyum dan bangun dari duduknya. Dia tetap membawa buku menu untuk menutupi wajahnya.
"Kenapa sih Tita? Aneh banget?!" Masih terdengar oleh Tita, Tito mengatakan itu.
Hingga sampai di meja resepsionis, Tita meletakan buku menu dan langsung keluar resto berpapasan dengan Gadis cantik tapi terlihat berlebihan dandanan untuk sekedar acara makan malam.
Tita juga sempat menangkap dari ekor matanya, tangan Gadis itu melambai sambil tersenyum. "Polesan." Gumam Tita.
Tita setengah berlari setelah keluar dari resto. Dia menengok kiri dan kanan. Perutnya sangat lapar. Siang tadi Dia belum sempat makan karena banyak laporan keuangan yang harus Dia periksa.
Sayup-sayup Tita mendengar seseorang memanggil namanya. Jantung Tita berdegub kencang. Benny sudah melihat keberadaannya entah sejak kapan. Dia berharap Benny tidak melihatnya bersama Keluarganya.
Tita mengeluarkan ponselnya dari dalam saku Blazernya. Tas nya ditinggal di meja makan.
Dia mengirim pesan kepada Tito kalau dirinya tidak bisa ikut makan malam. Tita langsung menon-Aktifkan ponselnya saat Tito melakukan panggilan telpon.
Tita bergegas pergi ke warung tenda pecel lele yang katanya enak sambelnya. Tapi seseorang menarik tangannya.
Tita tersenyum mengingat kejadian tadi. Tita melirik Benny yang mulai menyuap.
"Kenapa? Kamu gak suka makan di sini?" Tanya Tita mencibir.
"Hhmmm... Maaf." Benny salah tingkah. Dia memang tidak pernah makan di pinggir jalan. Tidak higienis kalau kata Mama Intan.
Tita mengambil piring makan Benny. Benny tersentak kaget. Sendok dan garpunya buru-buru diangkat takut kotor kena meja yang hanya beralas karpet plastik.
Tita memisahkan tulang ikan lele dengan dagingnya. "Kalau makan pecel lele itu lebih nikmat pakai tangan bukan pakai sendok garpu." Kata Tita sambil mencampuri ikan, sambel dan nasi dengan tangannya.
Tita menyodorkan tangannya ke mulut Benny. Benny terpaku tapi perlahan mulutnya terbuka.
"Enak kan?" Tanya Tita yang kembali menyuapkan nasi dan ikan ke mulutnya sendiri.
"Kalau makannya lama seperti Kamu, bisa-bisa warung ini sudah tutup, Kamu baru selesai makan." Tita tak berhenti bicara saat makan. Padahal Uwonya sering menegur Tita kalau makan sambil bicara.
Tita tersenyum sendiri mengingat omelan Uwonya.
"Kamu mentertawakan Aku?" Tanya Benny.
Tita mendongak dan menyuapkan kembali makanan pada Benny. Benny dengan senang hati menerimanya.
"Iya.. Kamu kayak anak kecil, makan disuapin." Kata Tita ceplas ceplos.
"Aku suka disuapi Kamu." Benny tersenyum. Dia memegang tangan Tita yang akan kembali menyuapinya. Tita menatap mata Benny.
"Aku ingin menjadikan Kamu, pendamping hidupku, selamanya." Kata Benny serius.
"Uhuk... uhuk..." Tita terbatuk. Sisa makanan yang Dia kunyah tersembur ke wajah Benny. Benny tidak marah. Cepat-cepat Dia memberikan air jeruk hangat kepada Tita.
Tita menerimanya dengan gelas yang terus dipegang Benny. Benny mengusap bibir Tita lembut. Tita terpaku. Mata Mereka bertemu saling tatap. Ada cinta di mata Benny dan Tita.
Tita buru-buru menunduk. Benny salah tingkah.
"Kenapa berhenti menyuapi Aku?" Kata Benny memecah keheningan.
Tita menyodorkan piring Benny kembali. "Makan sendiri. Tinggal suap. Tulang ikannya sudah tidak ada." Kata Tita datar.
Benny menghela nafas. Dia mengambil sendok. "Kata Orang jaman dulu, kalau suatu pekerjaan dikerjakan tidak selesai, nanti punya Suami bewokan." Canda Benny tapi terdengar serius.
"Memang Kamu ada bakat bewokan? Ups..." Tita buru-buru menutup mulutnya. Dia keceplosan.
Benny langsung tanggap. "Jadi mau ya terima Aku jadi Suami Kamu?" Goda Benny.
"Huh... Enak saja. Makan saja masih pakai sendok garpu. Ngajak makan malam gak ada romantis-romantisnya. Ngajakin Nikah kayak ngajakin berantem." Tita menggerutu. Dia mengerucutkan bibirnya.
Benny berdehem. "Hhmmm... Kita kan gak sengaja bertemu. Maaf. kalau makan malam pertama Kita tidak berkesan buat Kamu. Jadi besok Kita makan malam lagi, Ok?" Benny sedikit memaksa.
Tita menggeleng.
"Ck... Kamu mau makan malam romantis dimana? Boking sekarang." Benny mengeluarkan ponselnya.
"Gak usah... Gak usah..." Tangan Tita melambai melarang.
"Perutku, perut rakyat jelata. Gak biasa makan makanan mewah." Kata Tita bohong.
"Tadi, bukannya Kamu dari resto di seberang sana?" Tanya Benny penuh selidik sambil menunjuk ke resto tempat Dia makan malam bersama Mamanya. Benny teringat Sang Mama. Dia harus siap-siap menerima amukan Mamanya.
"Memang Kamu lihat Aku?" Tanya Tita gugup.
"Aku lihat Kamu pas mau keluar dari Resto." Kata Benny jujur.
"Oh itu.." Tita menunduk. Dia tersenyum geli.
"Kok ketawa sih?" Benny terlihat bingung.
"Aku salah masuk resto.. Hihihihi..." Tita terkikik.
"Kok bisa? Kamu ternyata seceroboh itu?" Tanya Benny mencibir.
"Ini gara-gara perut Aku lapar. Jadi Galfok alias gagal fokus. Huh gitu aja langsung mencibir." Gerutu Tita.
"Terus kenapa gak ke resto yang benar? Kenapa malah makan di pinggir jalan begini?" Selidik Benny. Kalau masalah mengintrogasi, Benny jagonya. Tapi Benny belum tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Resto nya yang benar, jauh dari sini. Jadi Aku cancel. Ya makan yang dekat sini aja. Sama aja kan, kenyang-kenyang juga." Tita berkilah.
"Iya.... Tapi... Gak higienis." Benny mendekatkan wajahnya, bicara berbisik.
"Alaaaahhh... Perut laper, masih mikirin higienis?!" Tita ceplas ceplos.
Benny celingak celinguk merasa gak enak, takut yang punya warung dengar dan tersinggung.
"Aduuuhhh... Kamu ini memang aslinya begini ya? Ceplas ceplos? Jadi perempuan itu yang lembut dikit kenapa sih... Lemah gemulai gitu. Jangan bar-bar gitu..." Benny menangkup pipi Tita dan berkata lembut.
"Enak aja bar-bar. Aku bar-bar sama Kamu aja. Kamu itu gak sopan dari tadi pegang-pegang tanpa ijin. Kalau Aku laporkan tindak pelecehan gimana?" Tita tak mau kalah. Dia menepis tangan Benny dari pipinya.
Benny terkejut. "Hah?! Kamu gak serius kan?! Hmm... Masa Calon Suami Kamu mau dilaporkan Polisi." Benny terlihat kalut.
"Stop ya..! Jangan sebut lagi, Kamu calon Suami! Siapa juga yang mau menikah sama Orang sok higienis! Belum kenal udah main peluk anak Orang! Huh!!" Tita sangat kesal dan segera bangun dari duduknya. Dia merogoh kantong Blazernya.
"Ya Allah... Aku kan gak bawa tas?" Tita menepuk keningnya sendiri.
Benny tersenyum dan langsung mengeluarkan dompetnya. Dia memberikan selembar uang ratusan ribu kepada pemilik warung.
"Dimana-mana, Laki-laki yang bayar makanannya, bukan Kamu." Bisik Benny yang cepat tanggap dan tak bermaksud membuat Tita malu.
Wajah Tita memerah. Hembusan nafas Benny menggelitik telinganya.