Mendung menenggelamkan kemilau bintang. Sang rembulan hilang tertelan awan hitam. Masih setia dalam gemingnya, Sayyi seolah kehabisan kata menjawab bingung Adnan.
"Dik Sayyi, kenapa diam? Apa saya ada salah bicara?" Adnan menatap heran pada Sayyi yang memaku sejak tadi.
Sayyi gelengkan kepala, "Sama sekali tidak, Kak. Justru Sayyi yang harus minta maaf," ucap Sayyi masih dengan kepala tertunduk.
"Kenapa?"
"Sayyi ..." Jeda sesaat. Rasanya Sayyi tidak sanggup harus mengatakan jika ibu tidak setuju tentang lamaran Adnan.
"Katakan Dik, jangan ragu. Insya Allah, apapun jawaban kamu, saya siap untuk menerima." Adnan meyakinkan.
Sayyi selami kedua mata Adnan. Recik ketulusan memancar dari sana. Sayyi makin merasa bersalah. Ramai lalu-lalang pengunjung mulai berkurang. Waktu terus berjalan, malam semakin mendekat.
"Maafkan Sayyi, Kak." Kedua mata Sayyi menyiratkan kaca. Sejurus tetesan mengalir dari sana, jatuh membasahi kedua gelembung pipi Sayyi.
"Kenapa minta maaf, Dik?"
"Ibu, Kak. Ibu tidak setuju dengan rencana lamaran Kak Adnan. Ibu bilang Sayyi harus seleseikan kuliah dulu, sampai nanti Sayyi lulus dan menjadi bidan, seperti harapan ibu." Bermodal tegar, Sayyi ungkap semua yang menjadi beban.
Adnan mencelos. Sejenak tertegun dengan kalimat Sayyi. Padahal jauh-jauh menyempatkan pulang ke Kalianda, salah satu tujuannya adalah untuk melamar Sayyidatina. Apalagi setelah empat tahun merantau, tinggal di pesantren dan mengabdi di ndalem pada Kyai Bisri. Adnan juga sudah membicarakan dengan Kyai Bisri di pondok pesantren tempatnya tinggal, kalau nanti dia menikah, ingin Kyai datang dan membacakan khutbah nikahnya.
"Maafin Sayyi, Kak. Demi Allah, tidak ada niat untuk kecewakan Kak Adnan." Sayyi menangis dalam diam. Di sebelahnya Andini-adik Adnan hanya menjadi penyimak.
Adnan Hela napas panjang, "Sudahlah Dik, tidak apa-apa. Bukan salah Dik Sayyi. Insya Allah, saya akan menunggu sampai restu ibu turun. Saya akan menanti sampai Dik Sayyi lulus dan wisuda."
Sayyi menggeleng lemah, "Terima kasih untuk semua keikhlasan Kak Adnan. Namun Sayyi tidak akan membatasi. Jika nanti di tengah penantian Kak Adnan menemukan seseorang yang menurut kakak tepat. Sayyi ikhlas Kak Adnan menikah dengan yang lain." Dalam gamang Sayyi ambil keputusan. Belum ada keterikatan apa-apa antara dia dan Adnan. Sangat egois bila mengekang Adnan untuk terus menantinya, sedang di luar sana pasti banyak gadis yang mengharap Adnan menjadikan separuh tulang rusuknya.
***
Pagi menyingsingkan malam. Guratan-guratan embun yang menempel di dedaunan nampak berkilauan saat tertimpa sinar fajar yang mulai mengokoh. Sejurus embun sirna, menguap oleh sengatan matahari.
Pagi ini Aksa bangun dengan perasaan lebih bermakna. Meski belum sepenuhnya lega karena masih terpikirkan tentang Rania.
Usai subuh berjamaah bersama ibu, Aksa membuka mushaf yang diberikan Rania untuknya. Aksa menodong ibu untuk mengajarinya membaca Al Qur'an. Ibu dengan senang hati menyambut niat baik putranya.
Gemetar tangan Aksa saat pertama kali membuka kitab ummat Muslim tersebut. Ibu tuntun Aksa membaca Al Fatihah dari bacaan di Qur'an. Dilanjut surah Al Baqarah.
"alif lām mīm ..., żālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn..."
Merdu suara ibu melantunkan ayat pertama surah Al Baqarah. Aksa menyimak dan mengikuti. Berkali-kali ibu coba membetulkan bacaan Aksa saat ada yang salah atau kurang tepat. Ibu juga berkali-kali merapal hamdalah karena putranya mau berubah lebih baik.
Hal yang paling membahagiakan bagi seorang ibu, adalah saat anaknya mau berubah dan menjalankan perintah agamaNya.
"Bu, Aksa ingin sekali belajar tentang agama. Aksa sadar kalau selama ini sudah banyak menyia-nyiakan waktu. Apa ibu mau ajarkan Aksa?"
Ibu belai rambut Aksa yang sekarang ada di pangkuan, "Alhamdulilah, Nak. Ibu sangat bahagia mendengarnya. Ibu dukung Aksa, tapi kalau ibu yang harus ajari kamu, rasanya belum pantas. Pengetahuan ibu tentang agama masih sangat cetek. Ibu takut kalau salah."
"Terus Aksa harus belajar di mana, Bu?"
Ibu menerawang. Beliau ingat kalau dulu pernah diajak berkunjung oleh almarhum ayahnya ke pondok pesantren di Gresik. Meski tidak pernah mondok, tapi ibu lumayan sering berkunjung dan mengikuti kajian atau acara di sana.
"Aksa sungguh-sungguh mau belajar?"
Aksa mengangguk serius, "Mau, Bu."
"Kalau gitu besok Aksa berangkat ke Gresik. Carilah pondok pesantren Al Istiqomah. Letaknya kalau ibu ngga salah ingat, ada di tengah-tengah kota. Dekat dengan pelabuhan, di salah satu perkampungan arab. Pengasuhnya Abah Kyai Zaid, sahabat baiknya almarhum kakekmu."
"Tapi, Bu. Aksa harus bilang apa kalau sudah di sana?"
Ibu menatap Aksa dengan serius, "Apa niat kamu mau berubah dan belajar itu sungguh-sungguh, Nak?"
"Insya Allah, Bu. Aksa bersungguh-sungguh."
"Bukan cuma karena Rania, kan?" Ibu telisik wajah putranya.
"Demi Allah, Bu. Aksa mau berubah."
"Kalau gitu jangan bingung kalau besok sudah di sana. Bilang saja jujur kalau Aksa ingin belajar agama."
"Apa Aksa pantas, Bu?"
"Semua orang pantas dan berhak, Nak. Jangan berkecil hati, Rahmat Allah itu luas, tidak terhitung."
"Kalau Aksa disuruh baca Alquran gimana Bu? Aksa belum lancar bacanya."
Ibu melihat raut khawatir di wajah Aksa. Ibu sangat paham dengan apa yang dirasakan anaknya tersebut. Pasti ada perasaan sungkan dan malu karena sampai umur 22 tahun belum lancar membaca kitab agamaNya.
"Aksa, yang harus kamu tahu, pahala seseorang yang membaca Alquran karena niatnya ingin belajar, dia mendapat dua pahala. Yang pertama pahala karena bacaannya, yang kedua pahala karena niat belajarnya. Kalau kamu sungguh-sungguh, buang jauh-jauh rasa malu atau takutmu, Nak. Ibu yakin suatu saat nanti Aksa akan bisa lancar membacanya."
Aksa mengecup tangan ibu berulangkali sebagai ungkapan terima kasih atas nasihat dan pencerahannya. Dia berjanji bahwa akan membuang jauh-jauh semua rasa gengsi, takut atau malu. Ibu juga mengatakan bahwa di setiap doa-doanya, di setiap sujudnya, ibu tidak pernah lupa untuk selipkan nama Aksa agar Rahmat Ilahi selalu melilit sang putra dalam setiap langkahnya.
Ibu berkutat di meja makan. Pukul tujuh pagi, usai belajar mengaji Aksa rebahkan badan masih di atas sajadah. Sedang ibu beranjak ke dapur, menyiapkan sarapan. Ibu juga sempat bertanya pada Aksa, ingin dimasakkan apa pagi ini.
Aksa bilang apa saja yang dimasak ibu pasti akan terasa lezat di lidahnya.
Pagi ini ibu memasak tumis sawi dan udang saus mentega. Bau harum terhidu oleh indera penciuman.
Aksa sudah selesei mandi dan melangkah ke ruang makan. Di sana ada ibu. Aksa menyapa ibu dan duduk di kursi. Ibu langsung menyiduk nasi untuk piring Aksa. Dia makan dengan sangat lahap, seolah sudah sebulan tidak makan.
"Bu, habis ini Aksa mau ke rumah Zidan dulu."
Ibu hanya anggukan kepala mendengar cerita Aksa.
"Ibu kenapa ga sarapan juga? Aksa ambilin ya, Bu?"
"Tidak usah, Nak. Nanti saja, ayah tadi telpon katanya akan datang sebentar lagi. Ibu makan nunggu ayah saja, ya."
Aksa mengendikkan bahu. Memang hubungannya dengan ibu sudah membaik. Namun Aksa masih belum tahu apakah akan memperbaiki hubungannya dengan ayah juga atau tidak usah saja. Aksa merasa sudah banyak menyimpan luka atas perilaku kasar ayah.
****
"Kemana aja lo. Gue kira udah jadi mayat." Kelakar Zidan, terkejut saat Aksa tiba-tiba datang ke rumahnya.
"Cuk! Mulut Lo, Dan."
Aksa menemui Zidan di rumahnya. Sudah jadi kebiasaan kalau di antara mereka saling lempar kalimat u*****n atau ejekan, di Surabaya hal tersebut menjadi lumrah, memang terdengar kasar, tapi di sana malah biasa dijadikan candaan.
"AstaghfirullahAl adzim," ucap Aksa beristighfar. Zidan melongo dengar Aksa ucapkan kalimat tarbiyah.
"Salah makan apa, lo? Masih waras kan, Sa!?"
"Masih b**o. Lo kira gue sinting!"
"Ngilang kemana aja seminggu ini, kasihan ibu Lo nyariin. Tiap hari nelpon gue."
Aksa tercenung sejenak, membayangkan pasti kemarin ibu sangat cemas karenanya. Ini hari Jumat. Aksa sengaja menemui Zidan, rencananya ingin mengajak sahabatnya itu ke masjid raya untuk salat Jumat siang ini.
Aksa menceritakan pengalamannya saat terbawa sampai ke kota Pacitan. Zidan kadang tertawa mendengar kisah Aksa yang menurutnya lucu.
"Ga usah ketawa Lo! Sohib macam apa Lo itu, Dan. Gue lagi kesusahan bukannya nyariin."
"Lha, salah lo sendiri, gue udah beribu kali kasih tau, jangan lagi ikut balap liar. Sekarang aja baru nyaho!"
"Udah jam sebelas, berangkat sekarang yok, Dan."
"Lha, kemana?"
"Masjid Agung."
"Ngapain Bosque?"
"Mau balapan. Ya mau jumatan lah. Lo laki apa banci, make nanya lagi," sungut Aksa.
Zidan melongo. Pasalnya seumur-umur berteman dengan Aksa, baru kali ini temannya itu mengajak ke masjid, untuk salat Jumat lagi. Benar-benar mengagetkan.
"Udah tobat lo? Mau mati Lo ya?" Zidan malah melempar gurauan.
"Udah buruan Dan. Keburu khutbah ntar."
"Alhamdulillah wa syukurlah, teman gue udah waras. Semoga istiqomah selamanya ya Allah." Zidan tidak menyangka kalau Aksa benar-benar ingin berubah. Bukan isapan jempol semata. Pasalnya selama ini tak henti dan lelah Zidan selalu menasihati Aksa agar berubah. Namun Zidan paham, batasnya sebagai sesama manusia yang menasihati saudara sesama muslim, mau dinasihati seperti apapun jika hidayah Allah belum merasuk ke hati, yang ada memang percuma. Tidak akan pernah didengar.
Keduanya dengan mengendarai motor Aksa berangkat ke masjid raya Surabaya. Zidan yang menyetir, sementara Aksa duduk di jok belakang.
Seperti kegersangan hati akan kemarau panjang mengeringkan dahaga jiwa yang membutuhkan guyuran rohani. Mungkin seperti itu yang dirasakan Aksa.
___
Aksa memarkir motor di depan pekarangan. Ekor matanya menelisik mobil Alphard yang terparkir di carpot. Pasti ayah sudah datang. Melangkah dengan enggan, Aksa sudah sangat lelah jika harus ada konfrontasi lagi antara dirinya dan ayah.
Kalau saja tidak ingat ibu, mungkin Aksa akan kembali ke rumah Zidan dan menginap di sana.
"Assalamualaikum ...," ucapnya pelan.
Ibu menyambut dari dalam, "Wa'alaikumussalam Nak." Aksa perhatikan wajah ibu yang menegang. Pasti hari ini ayah mengintimidasi ibu lagi.
Belum sempat tanya yang mencuat dalam benak tersampaikan, Aksa sudah dihadang ayah. Tapi ada yang aneh. Di sebelah ayah berdiri seorang perempuan sambil menggendong balita.
Aksa mengupas pandangannya pada perempuan tersebut. Wajahnya asing, Aksa tidak kenal. Seingatnya ibu dan ayah tidak memiliki sanak saudara. Ibu anak tunggal. Pun dengan ayah. Keduanya juga tidak pernah cerita tentang sepupu atau saudara jauh.
"Aksa, duduk dulu Nak. Ayah dan ibu mau bicara." Ibu menitahkan Aksa agar duduk. Aksa turuti kalimat ibu.
Ayah dan perempuan yang menggendong balita itu turut duduk di sofa. Aksa semakin tidak paham dengan situasi saat ini.
"Ayah sudah dengar tentangmu dari ibu. Ayah senang kau mau berubah." Ayah yang mulai duluan berbicara. Aksa belum menyahut.
"Bu, dia siapa?" Aksa menunjuk perempuan yang duduk di seberangnya dengan menaikkan dagu.
"Oh, ini ibu Dinar, dan Ashila. Biar ayah yang jelaskan pada Aksa."
Dinar dan Ashila. Aksa mengeja dua na tersebut dalam otaknya. Ibu Dinar terlihat cantik, wajahnya teduh. Aksa tebak umurnya tidak jauh beda dengan ibu. Mungkin hanya selisih beberapa tahun.
"Aksa, sebelumnya ayah ingin minta maaf kalau ini mengagetkanmu. Ibu Dinar ini ibumu juga. Dan anak perempuan yang digendong itu, adikku, Ashila." Ayah berterus terang tanpa berbasa-basi.
Lain Aksa. Raut wajahnya meradang, menandakan tidak suka dengan apa yang baru didengar. Tangan Aksa membentuk kepalan kuat.
"Maksudnya apa?" Teriak Aksa belum paham.
"Aksa, dengarkan dulu Nak." Ibu berusaha menenangkan.
"Bu, apa ini maksudnya ayah menikah lagi dengan perempuan itu? Ayah mengkhianati ibu? Iya kan, Bu!? Aksa berdiri. Kali ini amarah benar-benar menguasainya. Aksa tidak terima ibu yang selalu sabar yang perhatian dan tidak pernah berhenti memikirkan ayah, malah ditusuk dari belakang. Ayah menikah lagi diam-diam. "Bu, jawab. Kenapa ibu diam?"
"Aksa, jaga bicaramu!" Ayah menyentak.
Aksa tertawa lirih, "Lebih baik Anda yang diam. Bagus sekali sikap Anda ini, seolah merasa paling benar, sering mengatakan bahwa saya ini urakan. Ternyata sikap Anda yang lebih urakan. Laki-laki penghianat, bertemu perempuan penggoda memang cocok kalian bertemu!"
Plaaak...
Satu tamparan dari ayah menyentuh pipi Aksa, ibu teriak ingin melerai, namun telat, jari-jari ayah lebih dulu mendarat di pipi Aksa. Rasanya tidak ada apa-apanya dibanding sakit hati atas pengkhianatan ayah. Aksa berlalu tinggalkan ruang tamu yang kini sunyi.
Hatinya lebih sakit dibanding kemarin saat ayah selalu menudingnya nakal atau urakan. Aksa memacu langkah, kembali tinggalkan rumah. Motor dia Kendari dengan kecepatan di atas rata-rata. Tidak tahu kemana arah tujuan, yang Aksa ingin hanya pergi menjauh dari rumah.
°°°°°°°°°°°°°°°°Bersambung°°°°°°°°°°°°°°