Perceraian Clarista

1514 Kata
Sabina tidak mau berlarut-larut dalam kesedihannya. Oleh karena itu, setelah makanannya habis dia memutuskan untuk keluar kamar dan mencari angin malam. Dan, di sini lah ia berakhir. Di sebuah ruangan di mana ber-rak-rak buku berjejer rapi, bahkan bangunan tinggi ini nampk terisi oleh buku. Dindingnya bagai di lapisi oleh buku. Sebesar rumah Pak Susiono ini, sudah jelas memiliki ruang perpustakaan. Jangankan hanya ruang perpustakaan, tempat olahraga pun juga ada. Apalagi didasarkan pada alasan Elang yang suka membaca dan juga suka berolahraga. Jujur saja, ia baru tahu, jika di rumah ini ada ruangan perpus seperti ini. Andai saja ia tidak melewati lorong ini dan tak sengaja melihat papan tulisan di atas pintu, mungkin dia tidak akan tau. Sebenarnya, di dalam perpus ini dia tidak sendirian. Ada Kakak Ipar yang ternyata sudah lebih dulu berada di dalam, membaca buku. Kedatangannya, juga sempat membuat Wiliam agak terkejut. "Sabina?" "Apa aku ganggu Kakak?" Pelan sekali Sabina bertanya, bahkan ia masih berada di belakang pintu dan hanya menyembulkan kepalanya. Dari tempatnya, Wiliam terlihat terkekeh, lalu menggeleng kepala. "Ganggu apa sih, Sab. Kamu kan suka baca, kenapa nggak masuk aja?" Sabina masih terdiam, hingga Wiliam mendekat dan menarik Sabina untuk masuk juga. "Udah, kamu nggak perlu canggung atau merasa nggak enak. Ruangan ini juga milik kamu. Keluarga Susiono berhak masuk kapanpun," jelas Wiliam, itu agak membuat Sabina merasa tenang. "Terimakasih, Kak," sahutnya. Entah untuk apa. Wiliam hanya terkekeh pelan. Ia lanjut membaca buku. "Eh, kamu kalau mau baca buku cari aja. Semua genre ada di sini," jelas Wiliam lagi sambil menatap Sabina. Sabina mengangguk pelan, kemudian perlahan dia mulai mencari buku yang akan ia baca. Sementara itu, Wiliam memperhatikan Sabina dari tempatnya. Gadis itu nampak habis menangis. Matanya juga agak memerah dan juga bengkak. Kenapa melihat adik iparnya seperti ini, Wiliam merasa kasihan. Ia tahu, apa penyebab Sabina menangis seperti itu. Ini semua pasti karena ulah Elang tadi siang. Wiliam tidak tahu harus melakukan apa. Baginya, dengan mengajak Sabina mengobrol itu akan cukup membuat Sabina merasa betah di sini. Ayah dan ibunya tidak akan cukup untuk mempertahankan Sabina. "Udah dapat?" Wiliam memerhatikan buku bacaan yang Sabina ambil. Gadis itu mengangguk, lalu duduk di kursi yang agak dekat dengan Wiliam. "Kamu suka buku motivasi?" Wiliam menerka. Sabina melirik buku dalam genggamannya lalu mengangguk. "Bagus. Kamu memang harus baca buku yang kayak gitu. Jangan kebanyakan baca buku percintaan." Wiliam memberitahu dengan ekspresi yang dibuat-buat, seolah-olah dia tidak setuju jika Sabina membaca buku bergenre percintaan. "Iya, Kak." Sabina menjawab singkat. Wiliam tersenyum. Dia memperhatikan Sabina yang mulai membaca bukunya. Dari samping, Wiliam bisa melihat bulu mata Sabina yang agak lentik, hidung yang bagus serta bibir yang bagus. Gadis ini cantik, hanya saja memang perlu dipoles sedikit agar semakin cantik. Tapi, Sabina bukan gadis yang seperti itu, Sabina amat sederhana. Kemungkinan besar Sabina juga tidak akan mau berdandan, apalagi jika mengeluarkan banyak uang. Sangat berbeda dengan gadis jaman sekarang. "Sab, kapan-kapan jalan-jalan ke Australia, yuk?" ajak Wiliam, Sabina langsung berhenti fokus ke bukunya dan menoleh ke samping pada kakak iparnya. Lalu, Sabina terkekeh pelan, Wiliam agak sangsi dengan pertanyaannya barusan setelah mendengar kekehan gadis itu. "Kakak aneh-aneh aja. Aku ke Australia kalau diajak sama Bu Erika aja," jawabnya, terihat juga menggeleng samar, rambutnya yang panjang itu sedikit bergoyang-goyang. "Kenapan harus sama Mama?" Wiliam merubah posisi duduknya, menghadap Sabina. "Aku nggak pernah pergi-pergi ke luar kota bahkan ke luar negeri Kak. Juga pasti butuh biaya banya." Sabina menjawab jujur apa adanya. Wiliam sudah tau, pasti Sabina ragu karena masalah biaya. Gadis itu masih sama saja, padahal kalau dipikir Sabina sudah menjadi keluarga Susiono tapi dia masih saja merendah. "Kamu sesekali coba ajakin Elang. Dulu dia, waktu kecil suka banget ke Australia. Karena rumah Kakek emang di sana." Sabina hanya mengangguk sebagai respon. Mana mungkin ia mengajak Elang untuk pergi bersamanya. Sedangkan menatapnya saja, pasti Elang enggan. Jangankan sekadar menatap, duduk dalam jarak cukup dekat, pasti Elang juga tidak akan mau. Dia hanya mau, ketika ingin memuaskan hasratnya. Sabina tau, dia hanya pelampiasan. Amarah, letih, dan sebagainya untuk Elang. Bukan sebagai tempat untuk laki-laki itu pulang lalu menetap. Dalam kalimat yang diungkapkan Wiliam, Sabina baru menangkap satu hal. Jika Elang memang adik Brent, mengapa Wiliam mengatakan pasca kecil Elang senang sekali pergi ke Australia? Dan, jika, memang Elang adik Brent, semasa kecil pasti Elang masih berada dengan keluarga Brent bukan dengan keluarga Wiliam? Dan lagi, Brent dan Elang satu angkatan, 'kan? Jadi, apa itu memungkinkan bahwa Elang adik Brent? Harusnya, adik Brent lebih mudah daripada Brent. Tapi, nyatanya sekarang Elang justru satu angkatan dengan cowok itu. Apa memang benar bahwa Elang adalah adik Brent? Apa harus Sabina berpatokan pada satu bukti yaitu tanda lahir saja? Bahkan mungkin beberapa juta orang di dunia pasti punya hal yang sama. "Waktu umur berapa, Kak?" tanya Sabina mencoba tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Sabina ingin mengorek satu informasi tentang Elang-kemungkinan adik Brent. Wiliam terlihat berpikir. Sedangkan Sabina menunggu dengan wajah berharap. "Eemm, sekitar 3-4 tahun kayaknya Sab. Dulu umur segitu kan, dia belum sekolah beneran, masih sekolah anak-anak-lah," jelas Wiliam. 3-4 tahun, bukankah itu waktu dimana Winston pergi secara tiba-tiba? Apa benar Elang adalah adik Brent yang hilang? Apa Elang ditemukan oleh keluarga Susiono? Apa perlu ia menanyakan ini pada Wiliam? Tapi ... Ah, tidak! Tidak mungkin. Tanpa sadar, Sabina menggigit bibir bawahnya. Ia cemas tentang Elang dan fakta bahwa cowok itu adik Brent. Haruskah, ia mengatakan semuanya pada Brent secepat mungkin? Apa Brent akan terima jika Elang adiknya? Mengingat, cowok itu amat tidak suka dengan Elang, terlebih saat Elang menghinanya, Brent selalu menjadi tamengnya ketika Elang datang untuk menyakiti. Meski tidak bertanya tapi Sabina tau, Elang dan Brent tidak punya hubungan yang baik. Hubungan mereka buruk. Dan, Sabina tidak tau alasannya. Atau kemungkinan dengan memberi tahu Brent bahwa Elang adiknya maka Brent bisa menghapus rasa bencinya pada Elang? Wiliam menggerakkan tangannya di depan wajah Sabina dan itu berhasil mengembalikan kesadaran Sabina dari lamunannya. Dia terdiam, dan mencoba fokus lagi pada buku yang dibacanya setelah mengulas senyuman. "Sab, ini udah malam lebih baik kamu istirahat. Besok sekolah, 'kan?" Pertanyaan Wiliam diangguki Sabina. "Kak, boleh aku bawa ini ke kamar?" Sabina ragu, tapi ia tetap bertanya. Tanggapan Wiliam tidak seperti apa yang Sabina harapkan. Laki-laki itu justru terkekeh dan Sabina tidak tau, itu bermaksud apa. "Boleh lah, Sab. Sekali lagi, ini perpustakaan kita semua. Jadi, kamu nggak perlu sungkan." Wiliam masih terkekeh, sembari manatap Sabina yang terdiam sesekali mengusap lehernya. Cukup merasa malu. "Sekarang ayok keluar terus kamu istirahat," ajak Wiliam yang sudah bangkit dari duduknya, laki-laki itu meletakan bukunya ke atas meja. Mereka berdua keluar dari ruang perpustakaan tersebut bersama Sabina yang membawa satu buku. Mereka tetap asik berbincang di lorong sebelum sampai ke kamar mereka masing-masing. Langkah Wiliam terhenti di ujung lorong bersama Sabina. Wiliam mempertajam pendengarannya begitupun dengan Sabina. Barangkali ia salah mendengar saat suara ibunya berteriak. "Kamu dengar itu, Sab?" tanya Wiliam pada Sabina dan gadis itu mengangguk. "Kak, itu suara Mama, kan?" Setelah Wiliam mengangguk, keduanya lantas segera menuju sumber suara dengan tergesa. Benar dugaannya, saat sudah sampai di kamar Elang--sumber suaranya berasal dari situ--nampak ibunya dan ayahnya berdiri di sisi ranjang Elang sambil memperhatikan cowok itu yang terbaring di atas kasurnya dengan wajah yang penuh lebam-lebam. Sabina dan Wiliam cukup terkejut dengan kondisi Elang yang tiba-tiba seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan berkelebat di kepalanya. Tentang apa sebenarnya yang terjadi pada suaminya ini. Sabina dan Wiliam segera mendekat saat Bu Erika menoleh ke arah pintu. "Ada apa ini, Pa?" tanya Wiliam menoleh pada Pak Susiono yang terdiam. Tapi, Wiliam dapat menangkap ayahnya itu sedang dalam emosi yang meluap, dan berusaha menahannya. Sementara itu, Sabina mengelus bahu Bu Erika lembut, mencoba menenangkan ibu mertuanya yang nampak marah dan juga sedih. Atau lebih tepatnya, sedang dalam perasaan kalut. "Clarista jelasin ke Mama, ini ada apa?" Bu Erika nampak sedih. Perempuan itu mendekat ke sisi ranjang dan duduk di sana sembari menatap anaknya lekat-lekat. Sabina sendiri memilih keluar sekadar untuk mencari kotak P3K. Lebam-lebam di wajah Elang tidak seharusnya dibiarkan seperti itu. Bersama barang yang diambilnya, Sabina kembali ke kamar Elang. Mendudukkan diri di samping Bu Erika yang menatapnya. "Ma, bolehkan kalau aku obatin Elang?" tanya Sabina segera mendapat anggukan oleh Bu Erika. Sedangkan Clarista, gadis itu semakin menatap sengit pada Sabina. Tidak tau apa yang membuat Clarista segera bangkit lalu meninggalkan ruangan itu. "Klarista! Mau kemana kamu?!" Pak Susiono meneriaki Clarista yang pergi begitu saja. "Siapa yang mengajarkan ketidaksopanan ke kamu?!" murka Pak Susiono lagi. Clarista menghentikan langkahnya, menoleh dan menunjuk Elang dengan dagunya lalu berkata, "Elang udah ada yang ngurus, Pa. Aku mau istirahat, capek." Setelah itu, Clarista segera melangkah tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Pak Susiono. Napas memburu terdengar dari dalam diri Pak Susiono. Pria itu langsung menatap anak sulungnya dan berkata, "Wiliam, urus perceraian Clarista dan Elang secepatnya." *** Masukan cerita ini Ke Library ya dan komen sebanyak-banyaknya. Yuk, untuk minggu ini tembusin sampai 200 love! kemarin nggak update karena ada kesibukan di dunia nyata, xixixi. see you best regards Zaynriz.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN