Bersama Brent

1527 Kata
Hari-hari berikutnya terjadi seperti biasanya. Sekarang, rutinitas Sabina masih sebagai pelajar. Belum sepenuhnya menjadi seorang istri Elang Susiono Albarek. Kaki Sabina memasuki kelas tanpa beban. Meski banyak yang tidak suka, meski banyak tatapan aneh tertuju padanya saat ia memasuki kelas, tapi ia tidak pernah mengambil pusing masalah itu. Terhitung, mungkin sejak kemarin. Ia berusaha belajar dan mengambil kesimpulan dari masalah yang ia hadapi. Yang pastinya ia mengerti bahwa mereka semua tidak menyukai kehadirannya di sekolah ini. Lebih tepatnya di kelas XII IPA ini. Sabina meletakan tas punggungnya di kursi, mendudukan dirinya sendiri lalu merogoh tas dan mencari buku paket. Bahkan, ketika ia melakukan itu, mereka masih saja memerhatikannya. Seperti tidak ada kegiatan lain yang lebih bagus mereka lakukan daripada memerhatikan dirinya. Memangnya, ada apa dengannya? Padahal, Sabina tidak melakukan satu hal yang buruk, tapi seolah-olah ia melakukannya. Ia tahu, mereka hanya iri. Tapi, apa yang pantas mereka irikan dari kehidupan seorang Sabina? Bukankah hidupnya tidak ada yang spesial? Buku paket Fisika sudah ada di atas mejanya. Mulai membuka lembar demi lembar, menuju lembar terakhir ia membacanya. Baru saja ia akan fokus, tapi suara hujatan dari mulut nganggur di pojok ruangan ini membuatknya diam sembari menelan pahit-pahit perkataan itu. "Lang, pembantu lo emang bisa baca ya? Kirain gue buta huruf dia," kelakar cowok itu lagi. Cowok yang menghinanya saat pertama kali masuk ke kelas ini. Dia tidak pantas disebut sebagai manusia. Mana mungkin manusia tidak memanusiakan manusia. "Dia cuma bisa bikin masalah." Balasan dingin dari seseorang yang ia ketahui siapa pemilik suara itu hanya dapat Sabina abaikan sembari kembali menelannya pahit-pahit. Siapa lagi kalau bukan Elang! Bahkan tanpa menoleh pun ia tahu, laki-laki itu selalu tidak suka padanya. "Wow!!" Cowok yang menghinanya kala itu terlihat terkejut saat Elang menyahuti perkataannya. "Hebat pembantu lo, harusnya dia naik pangkat bro!" ujarnya lagi. Kali ini hampir satu kelas menyambutnya dengan gelak tawa. Sabina lagi-lagi terdiam. Hanya hatinya yang seakan berdentum sekali, lalu mati seketika. Menyalurkan nyeri hingga ke pelupuk matanya, memanas, hingga berkaca-kaca. Ia seakan tersudutkan di satu ruangan yang isinya hanyalah pedang bagai menusuk seketika. Tidak akan bergerak sedikitpun, ataupun berniat membalasnya, ia tau hal yang akan di dapatnya jika membalas cemooh itu pasti mereka akan semakin menghinanya. Mereka akan semakin menjadi jika Sabina mencoba membela dirinya sendiri. Terlihat, Clarista yang ternyata masih ada di kelas ini berjalan menghampiri Sabina. Berdiri di depan mejanya. Hal itu tidak luput dari tatapan semua murid yang merasa penasaran dan menerka bahwa ini akan berjalan semakin seru. "Jadi, guys. Selain menjadi pembantu di rumah Elang. Gadis ini ...," Clarista menatap Sabina lama, sengaja menggantungkan ucapannya. Ia tidak balas menatap tatapan itu, tapi jari telunjuk Clarista menyentuh dagunya dan mendorongnya agar menatap matanya. "GADIS INI, JALANG!" Satu kalimat itu, berhasil menohok jantungnya. Sabina berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia sendirian di sini, ketika menangis, tidak akan ada yang mau menolongnya, atau bahkan sekadar mengusap pundaknya untuk tetap tenang. Tidak ada. Dengan tanpa rasa bersalah, semua murid kembali tertawa. Menertawai apa yang Clarista katakan. Padahal, itu bukanlah faktanya. Orang-orang memang hanya melihat apa yang mereka lihat, dan lebih mudah menilai daripada percaya. Ia hanya akan dipandang semakin buruk oleh orang-orang dalam kelas ini, jika ia memilih memberontak. Dan tetap diam saja sebenarnya sama saja. Tapi, Sabina lebih memilih tidak meladeni Harimau yang mengaung, kemungkinan harimau itu juga akan berhenti sendiri jika memang sudah letih. "Lo itu, nggak pantes sekolah di sini! Dan lagi, gue bisa aja ngelakuin hal yang lebih parah dari ini. Jadi, sebelum gue bertindak, lo cepet-cepet minta cerai sama Elang dan langkahin kaki lo keluar rumah Bu Erika!" Benar memang Clarista berbisik mengatakannya, tapi setiap kalimatnya itu, gadis itu ucapkan dengan amat tegas. Clarista kemudian berlalu meninggalkan kelas ini dengan tatapan yang tidak terlepas dari Sabina. Sabina menghela napas, menunduk dan menutup buku fisika yang sempat dia baca. Ini belum akhir, ini adalah babak baru dalam hidupnya. *** Tangan Brent merangkul pundak Sabina. Mereka berjalan menuju kantin. Semua pasang mata seakan mengarah pada dua sejoli itu. Tapi Brent, tidak memusingkan itu. Berbeda dengan Sabina yang pusing dan merasa malu. Di belakang Brent dan Sabina ada Rama, Yoga, Yogi dan Betro. Teman-teman Brent itu, seakan menjadi pengawal keduanya. Tadi, sebelum ke kantin, Sabina sudah berkenalan dengan mereka. Mereka ternyata ramah dan humoris. Sifatnya tidak jauh beda dari Brent. Kini mereka berenam sudah mendudukkan diri di bangku kantin yang kata Brent memang menjadi tempat geng miliknya. Tempatnya cukup berada di tengah-tengah, jadi, semua mata tentu bisa memusatkan tatapannya ke meja mereka. Katanya, Brent dan teman-temannya dijuluki sebagai 'Dewa Perang'. Julukan itu tersematkan selain karena nama guild mereka, mereka juga ahli dalam berperang. Itu sih, kata Yoga dan Sabina hanya berusaha percaya. Ah, maksudnya mereka jago berperang dalam dunia game. "Lo mau pesen apa, nih Na?" tanya Brent, ketika mereka sudah duduk di kursi masing-masing. "Samaain aja sama punya kamu," jawabnya. Sabina belum tahu menu apa saja yang berada di sini. Karena menu di sini langsung di masak oleh chef ternama pasti semuanya terbilang enak. "Oke!" Brent melambaikan tangannya, memanggil Yogi yang kebetulan berdiri dan dekat gerombolan cewek. "Gi, buruan pesenin makanan kesukaan gue! Dua porsi ya, minumannya juga sama!" Perintah Brent pada Yogi dan cowok pendek itu segera memesankan pesanan Brent dan yang lainnya. Melihat itu, Sabina agak tidak enak pada Yogi, kasihan karena cowok itu malah menjadi pembantu mereka. "Sans aja, Sab. Dia seneng kok kalau disuruh gitu. Dia bisa curi-curi pandang ke Iris," ungkap Rama, seakan tahu ekspresi Sabina. Ia hanya bisa mengangguk canggung. "Sab, apa lo kurang nyaman di sini?" kali ini Betro yang bersuara. Seolah cowok itu tau isi hati Sabina. Bukan karena ruangannya yang terkesan bagaimana. Hanya saja, tatapan para murid seolah mengintimidasi dirinya. Sabina rasa, cukup di kelas saja di tatap seperti itu. Tapi, rasanya itu mustahil karena hampir seluruh siswa dan siswi membencinya. Sabina terekekeh pelan. "Gak kok, Bet. Di sini lebih dingin dari pada kelas, kayaknya banyak AC-nya." Kelakar itu tentu untuk menutupi perasaannya. "Iyalah, kantin memang selalu jadi tempat favorit semua orang!" Betro menyahut. "Bagus deh, lo gak perlu takut sama mereka Sab. Tenang, kalau mereka ngapa-ngapain lo bilang aja ke Abang Yoga, ya?" ujar Yoga sambil memukul-mukul dadanya. Seolah dia adalah superhero yang siap melindungi Sabina kapanpun. "Sok-sokan lo, sempak gajah!" maki Rama tidak suka. "Dasar kecebong hanyut, sok kegantengan lo!" timpal Betro. "Muka kayak ampas kelapa aja, bangganya selangit!" Brent menambahi. "BANGKE LO SEMUA! GILIRAN ADA MAU LARINYA KE GUE!" Yoga menyahut seolah tidak terima. Meski begitu Sabina tertawa karenanya dan ketiga cowok tersebut sontak terpaku pada pandangan di depannya. Sabina terlihat cantik dengan tawa seperti itu. "Eh, maaf-maaf." Detik pertama, Sabina terperangah pada apa yang ia lakukan, kemudian ia berusaha menyudahi tawanya saat tatapan ketiga cowok di dekatnya seakan terpusat padanya. Brent mendekat. "Kenapa harus minta maaf? Apa lo nggak nyadar? Tawa lo tadi, lebih indah dari pada pelangi." Satu kalimat itu, seolah kembali memekarkan bunga-bunga yang sempat layu di hatinya. *** "Jadi, Brent. Beberapa udah ada yang ngechat lo saat lo posting tentang orang hilang?" tanya Sabina sembari kakinya melangkah menuju parkiran sekolahan bersama Brent dan Rama. Matahari sudah menyangga langit, bel tanda pulang sekolah sudah dibunyikan. Dan mereka sekarang menuju ke area parkir. "Yap, bahkan salah satu mereka ada yang langsung bilang kalau dia itu Winston." Brent menjawab, dengan pandangan lurus ke depan. "Kok dia bisa langsung bilang gitu, Brent?" tanya Rama yang ikut nimbrung di obrolan mereka berdua. Brent beralih menatap Rama, mengangkat bahu acuh. "Gak tau juga sih, kemungkinan karena nama dia Winston. Soalnya nama profilnya gitu," jawab Brent disambut kekehan oleh Rama. Tangan Brent menonjok pelan lengan Rama. Bisa-bisanya Si tinggi itu tertawa saat Brent sedang serius. "Jangan ketawa lo, njing!" kesal Brent. "Sorry ...," balas Rama berusaha menahan gelak tawanya. Padahal tidak ada yang lucu. "Brent ... saran aku mending kamu gak usah kasih tau nama deh. Lagian, Winston hilangnya saat dia masih bayi. Jadi, dia gak mungkin inget. Coba kamu cari tau spesifik apa yang cuma Winston punya." Brent terlihat tertarik dengan perkataan Sabina. "Boleh juga. Dan, setahu gue. Winston ada tanda lahirnya di leher belakang. Kek tompel gitu warna item, ah tapi bukan tompel sih, cuma kek warna item gitu," terang Brent ketika ketiganya sudah sampai di dekat mobil Brent. "Ya udah, kalau gitu kamu cari dengan tanda lahir itu." "Tapi, kalau orang lain juga punya gimana?" komentar Rama. "Ya, selagi berpatokan pada tanda lahir. Brent juga harus ngumpulin bukti data, dong," jawab Sabina dan Brent terlihat tersenyum karena jawabannya itu. "Emang gak salah punya sahabat kayak, lo." Tangan Brent mengacak surai Sabina. Sabina tersenyum tipis tidak berusaha menepis tangan Brent dari kepalanya. "Eh, ini jadi kan kita mabar?" tanya Rama membuyarkan tatapan Brent pada Sabina. "Jadi, lah! Na, lo jadi kan kerumah gue?" Cowok dengan hoodie cokelat muda itu memang mengajak Sabina untuk ke rumahnya. Brent beralasan jika Werin sedang merindukan Sabina. "Jadi, tapi aku gak bisa lama, ya Brent." Sabina tetap harus pulang sebelum Bu Erika dan Pak Susiono sampai di rumah. "Siaap! Yang penting mama gue udah ketemu sama lo, pasti dia seneng." Lagi, Sabina hanya tersenyum menanggapi itu. "Yaudah, let's go!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN