Perdebatan Pagi Hari

1861 Kata
Pagi-pagi sekali Sabina bangun. Ia langsung menuju ke ruang makan setelah berpakaian seragam sekolah rapi. Sampai di ruang makan ia kira keadaan akan hening ternyata sebaliknya. Perdebatan kecil sudah hampir tiga kali Sabina menyaksikan hal itu selama tinggal di rumah Pak Susiono. "Sabina kamu bilang dong kenapa dagu kamu memar?!" Bu Erika setengah frustasi meminta jawaban padanya. "Mama, Sabina nggak pa-pa kok. Ini kemarin Sabina kebentur pinggiran meja waktu mau ambil pulpen jatuh." Sabina memilih berbohong lagi dan lagi. Terdengar helaan kasar, Bu Erika sepertinya kurang percaya. Juga bisa Sabina lihat, laki-laki yang duduk di seberangnya menatapnya penuh keraguan. Pasti Wiliam juga curiga padanya. Sementara itu, kepala keluarga di sini mencoba sabar dan menahan diri untuk tidak marah ketika dua orang yang sepertinya dicuri olehnya. "Elang, tolong jelaskan." Pak Susiono memang berkata dengan nada suara tenang, tapi juga terdengar tegas. Elang yang tak terima akan tuduhan itu segera menatap pria yang sudah memakai jas itu. "Kenapa Papa tanya sama Elang? Papa pikir, Elang yang lukai Sabina?!" "Jangan bohong sama Papa." "Buat apa Elang bohong!" Suara Elang meninggi satu tingkat membuat Pak Susiono langsung menatapnya murka. "Kamu sudah berani melawan Papa, Elang?!" "Pa, sudah. Kita lagi sarapan nggak baik kalau Papa marah-marah," ucap Bu Erika, menenangkan suaminya. "Papa tidak habis pikir. Bagaimana bisa punya anak seperti kamu Elang. Kamu sangat tidak seperti Papa! Kamu jauh dari kata tanggung jawab!" seru Pak Susiono, menunjuk anaknya lagi. Wajahnya memerah padam. Sabina hanya bisa diam, ia tidak tahu harus berbuat apa. Sama seperti Wiliam, ia juga tidak bisa membela adiknya karena ia menaruh curiga pada Elang juga tidak bisa berkata jujur pasti Elang akan marah pada Sabina nantinya. "Pa, maaf sebelumnya. Dari kemarin aja Elang nggak masuk ke kamar Sabina, jadi kapan Elang ngelakuin itu? Dari kemarin aja Elang sama Clarista. Dan juga Clarista gak sengaja lihat kalau Sabina berduaan sama Kak Wiliam." Mendengar penjelasan Clarista yang tiba-tiba itu, sontak Wiliam dan Sabina menatap gadis bak iblis itu. Di kepala Sabina muncul banyak pertanyaan. Apa maksud Clarista mengatakan hal itu? "Bukan apanya Ma, Pa. Sabina kalau di sekolahan aja berteman dengan banyak laki-laki. Clarista takut kalau--" "Cukup Clarista! Jaga omongan kamu! Saya tidak akan melakukan hal yang tidak senonoh pada adik ipar saya!" Wiliam langsung saja membentak gadis sialan ini. Bagaimana bisa Clarista berpikir bahwa ia mencium paksa Sabina hingga rahang gadis itu memar! "Jaga omongan kamu Clarista," tegur Pak Susiono dengan suara pelan. "Kita lanjut sarapan aja. Sabina, nanti rahang kamu diolesin salep ya." Sabina mengangguk pelan. Ia tidak habis pikir, pagi ini diawali dengan perdebatan seperti ini. Dulu, ia selalu berpikir, jika keluarga Pak Susiono dan Bu Erika sangatlah harmonis. Mengingat, apapun dapat mereka beli. Tapi harusnya perlu di ingat juga, bahwa memiliki segalanya belum tentu menjamin kebahagiaan. Terkadang Sabina berpikir, apa semenjak dirinya datang ke rumah ini perdebatan terjadi. Masalahnya, perdebatan itu selalu memunculkan namanya. Entah sebagai korban atau sebagai pelaku. Sabina terus membujuk Pak Susiono untuk tidak menyalahkan Elang sepenuhnya atas memar di bagian pipi miliknya. Gadis itu tidak mengadu, hanya saja ... kedua orang tua Elang seakan pintar mencari si pelaku. Pak Susiono sudah naik pitam di hari yang masih sepagi ini. Bu Erika pun sama, meski begitu wanita itu tidak bisa memarahi anaknya sedemikian. Ibu tetap ibu, menyayangi anaknya dengan tulus. Tapi, Bu Erika juga tidak terlihat membela anaknya. Apa yang dilakukan wanita itu sangatlah adil. Tidak memihak pada siapapun. Pak Susiono bukannya tidak adil, pria itu mencoba memberi contoh agar menjadi pria yang tegas dan dapat bersikap. Lagi pula, apa yang dilakukan Elang memang salah. Bermain fisik pada perempuan, adalah sebuah kepengecutan sangat nyata. Sarapan kali ini gaduh, Wiliam dan Clarista hanya diam setelah tuduh menuduh antar mereka berud. Sarapan berjalan cepat pagi ini. Pak Susiono lebih dulu mengelap bibirnya dengan lap, juga menghabiskan air s**u di dalam gelas. "Papa bilangi kamu sekali lagi Elang. Sebagai laki-laki harusnya kamu tidak boleh melukai perempuan. Di mata Papa jika kamu melakukan hal seperti itu kamu rendah sekali!" ujar Pak Susiono tegas, memberikan nasihat untuk Elang lagi. Rupanya Pak Susiono masih curiga pada Elang. Sabina tau, Elang tidaklah takut akan itu. Cowok itu hanya suka mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketimbang membahas hal yang menurutnya tidak penting. Mengangkat bahunya acuh, Elang mengalihkan pandangannya. "Sekali lagi kamu melakukan ini, baik pada Sabina ataupun Clarista atau perempuan lain. Jangan harap Papa akan menoleransinya." "Tanganku gak akan ngelukai Clarista," jawabnya. "Sejak kapan kamu melawan Papa, apa kurang cukup tadi kamu melawan Papa, Elang?!" bentak Pak Susiono. Kami semua yang sudah berdiri terpaku di tempat masing-masing. Pak Susiono semakin geram, saat Elang menanggapinya dengan berdecih. Cowok itu seakan tidak punya sopan santun lagi. Bu Erika terlihat frustasi dengan kelakuan anak bungsunya itu. "Ingat. Bulan ini, semua fasilitas yang kamu miliki Papa sita. Sampai kamu benar-benar berubah atau setidaknya kamu bisa berbuat adil sama kedua istri kamu!" Pak Susiono sudah mulai melembut ucapannya. Semua, cukup terkejut akan penuturan Pak Susiono. Mereka semua tau, jika Elang tidak bisa tanpa semua fasilitas yang kedua orang tuanya berikan. Tapi, anehnya, mengapa Elang diam saja. Apa cowok itu bisa menerima semuanya? Padahal, tidak dengan Clarista. Gadis itu terlihat terkejut sekali. Bagaimanapun, Clarista menyukai semua apa yang Elang punya. "Oke. Elang setuju. Tapi, Elang akan cerain Sabina!" ujar Elang menunjuk Sabina. "Kamu gila?!" protes Bu Erika, sementara Sabina dan Wiliam cukup terkejut. Pak Susiono semakin geram. "Kenapa kaget? Bukannya Papa yang mau itu terjadi kan? Lagian, dulu Elang nikahin Sabina supaya semua fasilitas yang Papa kasih jadi hak milik Elang sepenuhnya. Jadi, kalau Papa bersikukuh, buat ngambil semua fasilitas aku. Berarti aku punya hak untuk ceraiin dia." Setelah mengatakan itu, Elang menarik tangan Clarista berlalu begitu saja meninggalkan keterkejutan di ruang makan. *** Seperti hari sebelumnya, Sabina menunggu Brent di halte. Sempat memberi tahu cowok itu lewat pesan, untuk menjemputnya di sana saja. "Lo kenapa sih, dari tadi murung terus mukanya?" Brent sudah sampai ketika Sabina menunggu tepat lima menit. Lalu, mereka kini sudah sampai di area sekolah. "Aku nggak pa-pa, Brent. Mungkin cuma masalah tugas aja." Sabina menghela napas, kemudian. Bagaimana tidak, kejadian tadi pagi membuatnya merasa bersalah. Tidak hanya kepada Elang, tapi lebih tepatnya pada keluarga Pak Susiono. Rasanya, semua kegaduhan berasal darinya. Brent menatap Sabina khawatir. Ia menarik bahu Sabina untuk berbalik. Mereka jadi berhenti tepat di pinggir lapangan basket outdoor. "Ada apa Brent?" Sabina menaikan sebelah alisnya. "Pipi lo kenapa?!" tanya Brent terkejut. Jari cowok itu segera menyentuhnya, tapi Sabina menepisnya pelan. Bahaya kalau murid-murid melihatnya. Sebagai jawaban, Sabina memilih tersenyum lebih dulu sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Ini nggak papa Kok, Brent. Ini aku kebentur meja." "Ini pasti ada apa-apanya kan? Atau orang tua baru lo nyakitin lo ya?!" selidik Brent. Cowok itu berusaha menerka-nerka. Tidak, Pak Susiono dan Bu Erika tidak sekejam apa yang Brent katakan. "Nggak Brent. Ini aku kebentur meja," jawabnya berusaha mencari alasan. "Bohong lo! Cerita cepetan?!" paksa Brent. "Brent, beneran ini kebentur meja!" geram Sabina, sedikit menyentakan kakinya. "Lo akhir-akhir ini sering banget bohong sama gue, Na" Brent berbalik, menatap ke arah lain. "Nggak Brent," jawabnya singkat. "Bodo amad! Lo berubah!" kesal Brent. "Brent ...," panggil Sabina tapi Brent tidak kunjung menoleh atau sekadar menyahut. "Brent ...," panggil Sabina lagi sambil menggoyangkan lengan Brent. "Apasih?!" kesal Brent. Cowok itu tidak kesal lantaran Sabina menggoyangkan tangannya. Hanya saja, mengapa Sabina tidak pernah mau jujur akhir-akhir ini. Apa ini yang namanya sahabat? "Maaf Brent. Tapi aku beneran jujur." Sabina mencoba menatap Brent lebih dalam. Berusaha menyakinkan cowok itu bahwa Sabina benar-benar jujur. Beberapa menit Brent tidak langsung menjawab. Menatap ke dalam iris mata Sabina dengan lekat. "Oke, gue percaya. Tapi, ingat. Kalau gue tau lo bohong jangan harap gue bakal diem aja." Brent berujar setelah menghembuskan napas pelan. "Siap!" seru Sabina. Brent terkekeh, keduanya kembali melangkah. "Oiya Na. Lo mau bantuin gue nyari keberadaan adik gue kan?" tanya Brent sembari menyusuri koridor. Tentang adik Brent. Sabina tahu, jika Winston hilang sejak kecil. Brent sudah bercerita kala mereka memulai persahabatan. Brent percaya pada Sabina kala itu, hingga menceritakannya pada gadis di sebalahnya ini. Harus berpikir dulu, karena ajakan Brent tidak mungkin langsung di iya kan olehnya. Ingatan Sabina masih cukup bagus. Hal kemarin yang Bu Erika wanti-wantikan padanya masih terismpan rapi dalam otaknya. Menjauhi Brent, sama saja tidak berdekatan dengan cowok itu atau bahkan berinteraksi. Nyatanya, Sabina melanggar. Andai Bu Erika tahu, mungkin akan marah padanya. Atau dengan beraninya memperingati Brent untuk menjauhinya. Brent memintanya untuk menemani mencari informasi tentang Winston yang tidak tau kabarnya seperti apa sekarang. Sudah belasan tahun, dan Brent berniat mencari lagi. Bukankah, amat sulit? Pasti dengan begitu sehari dua hari waktu untuk mencarinya tidak akan cukup. Dengan menyetujui ajakan Brent. Sama saja, Sabina semakin mendekatkan diri pada cowok itu. Harusnya sahabat sih, begitu. Tapi ada faktor yang menariknya dari belakang, menjauhi Brent. "Brent, gimana kalau kamu nyari informasi tentang Winston di media sosial?" sarannya. Karena Sabina rasa itu cukup efektif. Mengingat, hampir semua orang menggunakan sosial media. Apalagi remaja zaman sekarang, tidak mungkin tidak memiliki akun sosial media. "Caranya gimana?" Sabina cukup bersyukur, Brent terlihat tertarik dengan sarannya. "Kamu punya barang-barang masa kecil dia kan?" Brent mengangguk. "Kamu bisa share ke sosial media kamu." "Kalau orang ngaku-ngaku gimana? Dan barang milik Winston kan pasti banyak." Sabina mencoba berpikir. Apa yang Brent katakan ada benarnya. Barang-barang masa kecil milik Winston pasti banyak yang punya. "Tapi, Brent. Justru bagus kalau banyak yang mengaku. Nanti kamu bisa ajuin pertanyaan sama mereka." Alis Brent terangkat. "Kalau mereka bohong gimana?" Sabina berdecak. "Astaga Brent. Ya mana mungkin sih, mereka bohong." "Oke, deh." "Jadi, nanti aku gak usah temenin kamu kan?" "Iya gak jadi, tapi aku mau ngajak kamu jalan." Menghela napasnya, apa bisa Sabina menjauhi Brent jika begini? "Minggu depan aja gimana, Brent?" Mereka sudah sampai di depan kelas Sabina. Brent bersandar pada tembok. "Ya kali minggu depan. Lagian udah lama kita gak jalan bareng, Na." Melipat bibirnya, Sabina menatap jari-jarinya sebentar. "Tapi, pulangnya gak usah sore-sore ya?" Kemungkinan, pulang sebelum Pak Susiono dan Bu Erika kembali dari kantor tidak akan mengakibatkan Bu Erika tahu semuanya. "Kenapa sih, Na? Lo kayaknya diatur banget sama orang tua lo yang sekarang deh. Kasih tau gue siapa sih orang tua lo yang sekarang. Kesel banget gue rasanya!" "Ada waktunya ak--" "Mau banget lo deket-deket sama pembantu!" ujar Elang memotong ucapan Sabina. Elang baru datang bersama Clarista. Terlihat Brent menatap tajam Elang. Tapi yang ditatap tajam hanya tersenyum miring seolah meremehkan. Dapat Sabina lihat, mata Brent beralih menatap genggaman tangan Clarista dan Elang. Memajukan kakinya, Brent melangkah, mendekati Elang. "Sekali mulut lo gak bisa dijaga. Jangan harap gue akan diem!" tutur Brent tegas. "Lo masuk, Na," titah Brent sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya. "Lo seneng ya, dibelain sama Brent?" Sabina diam dengan kepala menunduk. Untuk apa ia menanggapi Elang yang ujung-ujungnya akan menghinanya. "Atau sengaja, lo deketin dia buat nguras hartanya?" Satu kalimat itu membuat Sabina menegakan kepalanya. Sabina baru akan menjawab, tapi Elang dan Clarista segera berlalu ke dalam kelas dengan tawa meremehkan mengiringi langkah keduanya. Elang kurang berpikir. Harusnya dia menyadarkan dirinya sendiri. Bahwa Sabina tidak seperti cowok itu. Menganggap harta dan semua fasilitas mewah sebagai segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN