Mengobrol Dengan Ipar

1651 Kata
Sebelum berganti pakaian, Sabina bergegas mengecek ponselnya. Barangkali akan ada pesan dari Brent atau dari ibu panti asuhan. Dua orang itu yang akrab dan selalu baik padanya, selain Bu Erika dan Pak Suseno. Seumur hidup, tidak pernah Sabina dibenci sebegitunya oleh seseorang secara langsung. Selama sekolah pula, Sabina punya banyak teman karena sifatnya yang ramah dan mudah bergaul. Menjadi baik, sopan dan berusaha menuruti kemauan orang lain selalu diusahakannya. Tapi mereka, termasuk Elang dan Clarista, berbeda dari yang lain. Dua orang itu justru sangat sengaja membencinya. Setelah berganti seragam dengan kaos sedikit besar, berwarna merah muda dengan dipadukan celana kain pendek selutut, kemudian Sabina membuka n****+ yang diambilnya dari tas ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia langsung meletakan n****+ miliknya begitu saja di atas ranjang. Dan segera membuka pintu. "Mama ada apa?" Mertuanya tumben sekali datang ke kamarnya. Sambil sekilas mengamati kamar Sabina, Erika masuk tanpa menunggu suruhan si pemilik kamar. Wanita itu duduk di bibir ranjang yang diikuti serupa oleh Sabina. "Ada apa, Ma?" Sabina membuka suara, masih keheranan. Tiba-tiba mertuanya datang ke kamarnya, pasti ada sesuatu yang ingin dibicarakan, entah perihal apa itu. "Sab, jujur ya sama Mama, Elang ninggalin kamu, kan?" Untuk beberapa detik, Sabina tidak tau apa maksud mertuanya. Tapi kemudian, dia mengerti apa yang wanita ini bicarakan. Sepertinya Bu Erika memang tidak percaya padanya. Padahal, Sabina berusaha jujur. Apa, sesusah itu mereka percaya pada Elang? Hanya karena cowok itu sering membuat onar? Oke, memang benar seandainya ia tidak pulang dengan Brent kemungkinan besar Elang akan meninggalkannya. Tapi, apa dengan memberitahu mertuanya, akan memberi solusi? Dalam hal ini, jika Sabina jujur maka nama Brent akan ikut di dalamnya. Mengingat ia pulang dengan cowok itu. Jikalau begitu, maka, kedekatannya dengan Brent akan diketahui oleh Bu Erika. Wanita itu pasti akan kecewa, jika tau Sabina dekat dengan cowok lain. Bukan, Sabina tidak ingin semata-mata melindungi dirinya sendiri. Ini pertanyaan yang rumit. Akhirny, Sabina menggeleng kecil. "Nggak, Ma. Percaya sama Sabina." Memang aneh, ia berbohong tapi minta untuk dipercayai. "Sabina, kamu jangan tutupi kesalahan Elang, Mama gak suka." "Sabina Nggak belain Elang, Ma." Sabina tidak suka berdebat. Tapi untuk menyakinkan Bu Erika, Sabina bisa apa selain memenangkan perdebatan kecil ini. Wanita di samping Sabina terdiam. "Oke. Mama percaya," jawab Erika pada akhirnya. Sabina pikir, setelah membahas ini, Bu Erika akan segera beranjak. Menelisik lebih jauh, ekspresi Bu Erika menggambarkan, pertanyaan akan segera dilontarkan olehnya. "Bagaimana sekolahan kamu, bagus kan?" tanya Bu Erika seolah menjawab pemikirannya. "Bagus Ma. Terlampau bagus." Sabina menjawab sambil mengangguk. "Baguslah. Terus, sudah dapat teman?" Apa yang harus Sabina jawab? Perkataan Elang di kelas tadi, membuatnya dijauhi semua murid kecuali Brent. Jika begitu, bagaimana bisa ia mendapat teman? Memainkan jemari-jemarinya, Sabina sedikit gugup. Ia terlalu takut bwrbohong tapi juga tidak mau jujur. "Udah, Ma," jawabnya tidak antusias. Sekedar mengekspresikan bahwa ia benar-benar memiliki teman. Bukankah, seseorang biasanya akan bahagia ketika memiliki teman baru? Erika, meski bukan ibu kandung. Sosok ibu selalu cermat tentang apa yang anaknya rasakan. Penerawang paling hebat menurut Sabina. "Kamu yakin? Terus ekspresi kamu kenapa begitu?" Ia sedikit tergagap. Mertuanya seperti bisa menangkap apa yang ia rasakan. "Yakin Ma. Dan ekspresi Sabina memang begini," jawabnya memberi alasan. Bu Erika, menatapnya lekat. "Sabina, perlu kamu tahu. Seseorang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari perkataannya saja," tutur Erika. Benarkah seperti itu? "Apa yang Mama bilang, itu benar?" "Ya, itu benar. Dan, Mama menangkap hal aneh dari ekspresi kamu itu," tebak Erika. Sabina sejenak terdiam. Benarkah seperti itu. Sabina pikir, ekspresi seseorang lah yang dapat menipu keadaan. Meski terkadang apa yang diucapkannya juga seperti itu. Apa ini relatif? "Ekspresi juga menipu, Ma. Menyampaikan apa yang bukan sebenarnya." Seperti kau berusaha tersenyum saat kau tau kau sedang tidak baik-baik saja. Menghela napasnya. Bu Erika mengusap pundak kanan Sabina. "Baiklah. Kalau begitu, siapa nama temen kamu?" Pertanyaan Erika membuat pupil mata Sabina melebar seketika. Meski tidak begitu kentara. Perlukah Sabina menyebut nama Brent? Dia kembali terdiam, menggigit kecil bibirnya. "Namanya .... Brent Ma," jawab Sabina pada akhirnya. Ada kernyitan di dahi Bu Erika., "Brent Galih Wellborn?!" ungkap wanita itu lebih jelas. Sabina menatap wanita itu, cepat. Bu Erika tau tentang Brent? "Iya, Ma. Mama kenal?" tanya Sabina, sedikit antusias dan was-was. Bukan hal bagus jika Brent kenal dengan keluarga Bu Erika. Dengan cepat, Brent pasti akan tahu pernikahannya. Tidak bisa membayangkan, pasti Brent akan marah padanya jika itu terjadi. Tapi kalimat Bu Erika kali ini seperti menamparnya keras-keras. "Mama minta kamu jangan berteman sama Brent. Dan jauhi di Sabina." *** Sore ini, Sabina masih berada di biliknya. Ia memang lebih suka menghabiskan waktu di kamar dengan nuansa merah muda ini. Saat tadi sinar matahari sempat menyengat dan menghantap kaca jendelanya lalu menghamparkan cahayanya hingga masuk kamar, Sabina menutup tirai untuk mengurangi paparan cahaya matahari yang masuk. Namun sore ini, ia kembali menyibak tirai jendela, hingga membiarkan cahaya jingga menerpa wajahnya dan menyilaukan matanya. Membuat iris cokelat nya terlihat menyala dalam terang yang mulai redup, mungkin beberapa menit lagi. Sabina mengurai rambutnya, bukan karena basah. Sesekali rambut miliknya ini juga butuh terpaan angin. Terlalu sering diikat, membuatnya bergelombang. Meski tidak berbicara, jika bisa mungkin rambutnya akan protes padanya. Memejamkan kedua mata perlahan, udara di sekitarnya ditarik paksa untuk sekedar masuk ke indra penciumannya. Meski tidak sesejuk pagi, itu cukup melegakan beban Sabina setelah menghembuskannya secara perlahan. Sampai dititik ini, Sabina tidak pernah menyangka. Pikirnya, kehidupan baru, keluarga baru akan membawanya pada kebahagiaan. Ekspetasi yang ada dipikirannya ternyata salah. Atau dia yang terlalu berekspektasi tinggi? Semakin lama, semua semakin rumit. Masih sama, menyembunyikan sesuatu. Sampai kapan ia harus melakukan itu. Rasanya, Sabina ingin kembali. Namun, kembali Sabina mengingat kebaikan keluarga Pak Susiono. Meneruskannya dengan lapang, barangkali setelah ini ada berlian yang akan ia dapat. Mungkin menyerah saat semua baru dimulai, terlalu pengecut. Sabina yakin, tidak ada yang mudah, tapi selalu ada jalan. Semakin besar badai, semakin tinggi ia terbang. Masih berdiri sembari menatap keluar jendela. Terlihat pepohonan di sana, di taman belakang. Pepohonan yang dirawat tentunya, berteduh di bawahnya yang terlihat bersih tentu sangat menyamankan jiwa. Terfokus kembali dengan perkataan Erika beberapa waktu lalu. Meninggalkan atau menjauhi orang terdekat tanpa sebab adalah hal sulit. Meski tidak pernah mengeklaim kedekatan mereka sebagai sahabat atau saudara, tapi Sabina selalu menganggap Brent sebagai orang terdekatnya. Orang yang berarti untuk hidupnya. Bagaimana pun, Sabina tau, apa yang Bu Erika suruh kan, bukanlah perintah biasa. Siapa Brent, untuk keluarga Elang? Mengapa Sabina harus menjauhi Brent tanpa sebab? Bahkan Bu Erika sangat serius untuk hal ini. Sabina butuh penjelasan, walau hanya satu kalimat. Di lain sisi, ia berusaha berpikir positif. Sabina memaksakan dirinya untuk itu. Barangkali, Bu Erika tidak suka, jika ia menjalin kedekatan dengan Brent. Mengingat, ia dan Elang sudah menikah. Meski tidak teranggap, setidaknya menghargai pernikahan itu. "Sabina." Panggilan itu, membuatnya menoleh secepat kilat karena terkejut. Sabina balik kanan. "Kak, Wiliam ada apa?" Ia bertanya dengan mata yang terpokus pada apa yang dibawa oleh Wiliam. "Mengobrol sambil minum, teh?" ajak laki-laki itu, mengangkat apa yang dia bawa di tangannya. Menimbang beberapa menit, sebelum menganggukinya. Wiliam membawa dua cangkir teh dalam nampan berwarna cokelat dari bahan kayu. Sepertinya, Wiliam benar-benar ingin mengobrol dengannya. Sebelum menuju belakang rumah sebagai tempat mengobrol mereka, Sabina membawa serta n****+ dan cokelat yang dibelikan Brent. "Bagaimana, kamu betah di sini?" Di bangku taman ini, Wiliam memulai obrolan mereka. Saat cahaya semesta mulai meredup. Saat semilir angin berubah mendayu-dayu. "Kakak, harap sih begitu," ujar Wiliam lagi tanpa memberi kesempatan Sabina menjawab. "Apa yang Kakak harapkan, tersemogakan," jawabnya lalu terkekeh kecil. Ia berbohong. Wiliam ikut terkekeh. "Bagus kalau gitu." Wiliam mengamati n****+ dalam genggaman Sabina."Kamu suka membaca?" Sabina menatap n****+ dalam genggamannya, lalu ia mengangguk. Kali ini ia jujur, tidak lagi berbohong seperti tadi. Sabina suka membaca, suka menyanyi, suka menulis serta suka mengamati langit biru. Untuk senja berjingga ini, Sabina suka tapi tidak sebegitu sukanya pada langit biru. "Suka, Kak. Kakak suka membaca?" "Suka dong. Dulu, saat SMA kayak kamu gini Kakak juga suka baca n****+," terangnya. Tertegun, Sabina tidak pernah mengira, Wiliam seramah ini. Pikirnya, Kakak beradik mempunyai sifat yang sama. Sama-sama dingin. Ternyata tidak, mereka sangat bertolak belakang. "Terus sekarang Kakak masih suka?" Wiliam mengangkat bahunya sekilas, menatap lurus ke depan. "Ya, begitu. Karena Kakak udah kerja jadi baca novelnya dikurangi." Wiliam memperbaiki duduknya, "Elang juga suka n****+, loh," terang Wiliam. Sedetik Sabina tidak tau apa maksud Wiliam mengatakan itu. "Kalian punya kesukaan yang sama," katanya lagi. Tidak tau harus menjawab apa, Sabina tersenyum tipis. Oh ya? Bagus. Bagi Sabina cowok dengan kegemaran membaca itu punya nilai tersendiri. "Kamu perlu tau juga. Elang punya banyak koleksi buku. Apalagi n****+, dia punya semua genre," terang Wiliam dengan semangat. Ini juga membuat Sabina antusias. Tapi, berapa banyak pun n****+ yang Elang punya mana boleh dia meminjamnya. Setelah obrlan tentang buku Elang, mereka berdua terdiam. "Sab, anggap saja ini sebagai perkenalan kita. Supaya, Nggak cuma Mama sama Papa aja yang kamu kenal," ucap Wiliam , lalu tersenyum. Sabina mengangguk pelan. "Iya, Kak." "Satu lagi, kalau Elang nyakitin kamu, kamu bilang ke Kakak ya." "Iya, Kak," jawabnya lagi. Gemas, Wiliam mengacak puncak rambut Sabina sambil terkekeh. "Kamu lucu banget sih, Sab. Dari dulu Kakak selalu pengen punya adik cewek. Tapi, malah dikasih cowok." Wiliam terkekeh kemudian. Sabina tertegun atas apa yang baru saja Wiliam lakukan pada kepalanya, bukan apanya Sabina merasa itu tidak perlu. "Adik laki-laki ataupun perempuan sama aja, Kak." Wiliam menggerakkan jari telunjuknya, "No! Beda banget, Sab," elaknya. Benarkah? Menurut Sabina sama saja. Adik-adik di panti asuhan, semua lucu-lucu dan menggemaskan meski tidak memiliki kepribadian yang tidak sama. "Bagitu, ya Kak." Sabina menanggapi. "Iya. Kakak merasa beruntung punya kamu," tutur Wiliam tanpa sadar, Sabina menaikan sebelah alisnya karena tidak mengerti. "Maksud Kakak, beruntung punya adik ipar seperti kamu," ulang Wiliam memperbaiki perkataan sebelumnya. Sabina paham, lalu ia menjawab, "Terima kasih Kak." Kembali, Wiliam mengacak puncak rambut Sabina. "Sama-sama." Tanpa sadar, aktivitas keduanya diamati oleh seseorang lewat kaca jendela kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN