[3]

1122 Kata
Jadwal padat, makan yang diatur, punya waktu libur demikian terbatas, tapi puncak popularitas sebagai bayaran masih belum bisa membuat Harvey puas. Enak saja. Jika ia tetap menyandang nama serta hidup yang pernah dijalani sampai usianya dua tiga. Tak perlu bekerja keras terlalu berlebih hanya demi mengembalikan apa yang dulu ia nikmati. Cukup sulit dan berat, tapi Harvey harus jalani. Tak mungkin terus ia ratapi hidup mewahnya yang mendadak lenyap di depan matanya. Serta banyak keruntuhan lain yang hinggap di hidupnya. Kendati begitu, ia tak akan pernah lupa apa yang pernah terjadi. Terutama saat ia mulai dibayangi oleh masa lalunya. Tak bisa dimungkiri, pertemuannya dengan Andrew serta Fania ... benar. Hanya Fania. Yang mampu membuat Harvey teringat masa lalunya. Menyesap sedikit wine yang menemaninya malam ini, entah kenapa ingatannya kembali pada obrolan mereka yang jauh dari kata akrab. Padahal dulu, mereka berdua bisa dibilang cukup sering membagi waktu sekadar menghabiskan roti lapis daging bersama. “Aku tak menyangka kau tampil di muka umum.” Harvey yang tengah menikmati steak bagiannya, hanya bisa mencibir. mengunyah pelan seolah ucapan Fania tak ada arti. Satu demi satu potongan ia nikmati dengan sesekali membalas tatapan Fania tak kalah intens. “Kau hanya ingin berdiam seperti, Harvey?” tanya Fania dengan nada kesal. sudut mulutnya ia bersihkan dengan tisu yang ada, serta alat makannya yang kembali ia letakkan di sisi plate bagiannya. “Apa yang harus kukatakan?” Harvey menyeringai tipis. “Memintamu untuk tak memberitahukan Kakek Gilbert?” Ia pun mengibas penuh remeh. “yang benar saja.” Ditegakkan punggungnya sembari berkata dengan sorot lekat, sedikit mengintimidasi lawan bicaranya. Yang mana tingkahnya ini membuat Fania mengenyit tak suka. “Justru aku sengaja agar mereka tahu, aku baik-baik saja dengan duniaku.” “Kami mengkhawatirkanmu,” kata Fania dengan tenangnya. Terlahir dengan darah Langham yang kenal, di mana banyak orang-orang yang selalu memberi tatapan menilai penuh tekanan, serta harus memiliki asumsi dalam hatinya bagaimana penilaian orang lain padanya. Yang artinya, Fania terbiasa dengan tekanan. Dan apa yang Harvey lakukan belum seberapa. Fania rasa, Harvey juga terbiasa dengan tekanan di sekitarnya. “Ck!” Harvey meletakkan alat makannya dengan agak kasar. Untungnya, ia sudah menghabiskan porsi steaknya. Kebangkrutan orang tuanya mengajarkan ia harus berhemat, sangat amat hemat sampai makan di tempat yang biasa jadi langganannya dulu, bisa dihitung jari kala ia merintis karier. Sekarang? Ia bisa dengan bebas makan sepuasnya. Ditambah uang pribadinya tak akan pernah berkurang. Ada banyak donator yang merelakan sebagian uangnya untuk menolang Harvey. Apa ia menyesal atau merasa muak dan jijik? Sama sekali tidak. Harvey menikmatinya. Sampai pada titik, orang-orang itu mengemis cinta padanya. Lalu … ia buang. Tanpa peduli jika beberapa di antara mereka berkata tulus mencintainya. “Khawatir padaku?” Harvey kembali menatap Fania dengan sorot yang mulai dipenuhi amarah. “Kenapa tak katakan dengan jujur, kalian takut aku berbuat ulah?” Fania menggeram tertahan. “Ah, melihat ekpresimu, aku yakin tebakanku benar.” Gadis berambut hitam itu pun terkekeh puas. “Tenang saja. katakan pada ibumu tersayang, adik ibuku yang manis dan dermawan. Ah … dermawan, ya.” Harvey tak peduli kalau sekarang sorot mata Fania mulai mengelam. “Dermawan hanya di depan public, tapi melihat saudarinya ambruk, difitnah, dibuat sampai tak memiliki apa-apa, sama sekali tak peduli.” “Cukup, Harvey!” peringat Fania. “Apa yang cukup?” Harvey menyeringai licik. “Itu kenyataan yang ada, Fania. Jangan terlalu menutup mataku dengan keangkuhan yang kalian miliki. kupikir kau berbeda tapi ternyata sama saja. sama seperti Jacob yang menghinaku sampai titik terendah yang kupunya.” Ia pun bangkit dari duduk dan menyambar tasnya. Tapi sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Fania, Harvey pun berkata dengan nada lirih tapi penuh dengan emosi. “Kau tak perlu khawatir aku kembali ke keluarga yang menurut orang banyak, keluarga dengan citra terbaik. Aku sudah dibuang, kan? Keluargaku membuat kalian tercoreng, kan? jadi sesuka hatiku menjalani hidup seperti apa sekarang.” “Kau tetap Langham, Harvey!” Harvey menoleh dengan sinisnya. “Benarkah?” “Kakek Gilbert akan bertindak jika kau melebihi batas.” Harvey mendadak jijik mendengar nama itu disebut. “Bertindak? Silakan. Aku tak takut. Bagiku Langham sudah mati, terkubur bersama jasad ayahku yang mendapatkan fitnah keji. Dan terima kasih sudah membuatku merasakan apa arti hidup yang sesungguhnya.” Tak ingin melanjutkan obrolan yang pastinya membuat Harvey membuka luka lamanya, ia pun melangkah pergi. Begitu saja. tanpa pamit dan tanpa menoleh pada sepupunya itu. ia juga sedikit mengabaikan perhatian public yang mendadak tertuju padanya. Beruntungnya ia, memasuki mall yang terkenal elite dan cukup terjaga untuk masalah privasi. Kendati begitu, bisik-bisik terdengar jelas di sekitar Harvey. Siapa yang tak kenal model yang namanya melesat bak roket dalam beberapa bulan terakhir? Apalagi sejak pagelarannya sukses di mata dunia, berkat SEO fashion sebagai pendukung utama. nama serta wajahnya banyak menghias majalah serta beberapa media iklan yang tersebar di beberapa titik stategis. Belum lagi ia didapuk menjadi salah satu brand ambassador perusahaan parfum kelas internasional; Channel. Meski belum menandatangani kontrak kerja sama, tapi kabar yang berembus sudah begitu membuat Harvey kian bersemangat. Dan kian dekat dengan apa yang menjadi tujuannya. “Mobil Anda, Nona,” kata salah satu petugas valet parkir yang menepikan Porche putih milik Harvey. Gadis itu tersenyum ramah dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang ia dapatkan. Staf tersebut terperangah, mungkin juga terpesona akan senyum Harvey yang semanis madu. Mungkin juga karena tip yang baru staf itu dapatkan dari Harvey. Begitu Harvey masuk ke dalam mobilnya, senyum itu luntur begitu saja. berganti dengan sorot dingin serta tak ingin diganggu. Menjalankan mesin mobil agar ia segera tiba di tujuannya; apartement di salah satu distrik cukup mewah di Centralia. “Melebih batas?” Ia menyeringai tipis. menyandarkan punggungnya menikmati malam yang lenggang sembari menaikkan volume pada audio yang memutar lagi Arinna Grande-Problem. “Kita lihat batas apa yang bisa kuterabas untuk kalian.” Suara dering ponsel yang nyaring membuat semua lamunan Harvey terusik. Ia berdecak sebal tapi tetap saja menghampiri ponselnya itu. menegaskan penglihatannya agar tak salah menangkap nama yang tertera di layar. Satu kali … ia abaikan. Dua kali … ia hanya menatap tanpa minat. Tiga kali … satu pesan muncul di layar ponselnya. [Mr. Jody Varens : Perjamuan minggu depan dipastikan Desmond datang. Tapi sayangnya, aku sungguh minta maaf Manisku. Aku tak bisa mengajakmu. Istri sialanku tahu undangan tersebut. Apa yang bisa kulakukan untuk menebus maaf?] Seringai tipis muncul di sudut bibir Harvey. Satu-satunya orang yang bisa melancarkan rencananya hanya Justin. Maka kemudian, kontak pria itu lah yang ia hubungi. “kau benar-benar sinting!” maki Justin di ujung sana, tapi Harvey hanya tanggapi dengan tawa. Gadis itu tahu, Justin pasti mewujudkannya. “Akan kuminta Irena mengurusnya. Kau hanya perlu bersiap tapi aku tak mau kau sendirian! Kau harus bersama Giselle.” “Justin berengsek!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN