[5]

1307 Kata
Harvey tahu, Jacob tak melepas pandangan darinya. Mulai dari saat makan malam disajikan, serta beberapa kali tanggapan Harvey pada obrolan yang terjalin di sana. yang kebanyakan berkisar pada isu politik dan apa yang terjadi di masyarakat. “Santapanmu bisa dingin, Jacob,” kata Harvey sembari mengusap sudut bibirnya yang terkena saus. “Apa koki perjamuan malam ini tak sesuai dengan seleramu?” Jacob tertawa pelan. “Tidak. Aku menyukai olahan dari tangan dingin Chef Arnold. Semuanya terasa pas.” Harvey mengangguk sekilas. Matanya tanpa sengaja menemukan pria yang beberapa hari belakangan mengganggu lewat pesan yang menurutnya menjijikkan. Jody Varens. Pria itu tersenyum sembari melambai, tampak heboh dan bersemangat begitu melihat Harvey tak jauh darinya. Hanya berselang satu meja dan bisa dihampiri dengan mudah. Di sekitar pria tua itu, tak ada istrinya. “Pantas saja,” gumamnya di antara senyum yang bisa ia tampilkan demi menjaga image-nya. “Maya pasti menemui beberapa orang untuk menunjang tujuannya.” “Kau sudah menyelesaikan makan malammu?” tanya Jacob masih dengan sorot mata yang tajam menatap Harvey. “Ehm … kurasa sudah.” Harvey pun mengambil gelas wine bagiannya. Meminta agar pelayan yang tak pernah jauh dari meja makan, menuang kembali agar terisi. Setelah mengucapkan terima kasih, ia kembali menyesap rasa manis dan getir yang beradu di permukaan lidah. “Ini … enak.” “Henri Jayer Cros Parantoux. Kurasa bisa dikategorikan wine terbaik.” Harvey menatap Jacob, selain sebagai bentuk balasan atas apa yang barusan dikatakan pria itu, juga sebagai respon jika sekarang Harvey memberi atensi untuknya. Dan terlihat pria itu tersenyum tipis, dengan keriangan tentu saja. dan itu membuat Harvey merasa rencana berikutnya tak akan sulit. “Kau memang mengenal wine dengan baik, kurasa.” Gadis itu kembali tersenyum. Kali ini sampai matanya sengaja ia benamkan dalam garis tawa. Memperlihatkan deret giginya yang rapi, putih, dan menawan. “Tadi … kau bertanya apa?” “Hanya memastikan kau sudah menyelesaikan makan malammu?” “Jika sudah?” Harvey menopang wajahnya dengan salah satu tangannya. Membalas tiap apa yang Jacob lakukan sampai Harvey merasa, pria itu mulai salah tingkah. “Aku ingin bicara.” “Sejak tadi kita bicara, bukan?” Jacob tersenyum tipis, mendorong pelan kursinya. “Di tempat yang lebih privasi. Tentu kau menyetujuinya, kan?” Harvey belum ingin menjawabnya, memilih memainkan isi wine yang masih tampak menggoda untuk ia habiskan. “Banyak sekali yang ingin kukatakan padamu, Harvey. Terutama tentang masa lalu.” Jacob menatap Harvey tanpa putus, berusaha untuk memohon agar gadis itu mau menurutinya. Agak lama sebelum Harvey mengangguk tipis. yang mana disambut oleh helaan lega dari Jacob. “Terima kasih, Harvey.” Harvey terkekeh. “Demi masa lalu yang kuanggap telah berlalu.” Jacob kesulitan menelan ludahnya. “Aku … tunggu dirimu di koridor dekat lift.” Sekali lagi Harvey mengangguk. Sebelum ia beranjak mengikuti Jacob, tujukan langkahnya kini adalah Giselle. Ia pun menghampiri Giselle yang ada di ujung meja. terpisah kursi bukan berarti Harvey bisa seenaknya pergi meninggalkan sahabatnya itu. meski Harvey yakin, Giselle ada dalam jangkauan yang aman. Salah satu tamu undangan yang hadir, ada pria yang tak pernah jauh dari hidup Giselle; Andrew. Yang pastinya, pria itu akan menjaga Giselle dengan baik. “Aku ada urusan sebentar. Tak masalah kutinggal sendiri?” tanya Harvey begitu ada di samping Giselle. Ucapannya itu jelas membuat Giselle mengerutkan kening. “Kau yakin tak butuh ditemani?” Harvey tertawa riang. yang mana ia sempatkan untuk membalas sapaan Duta Besar yang bergabung di meja makan yang sama. “Kuyakin ada beberapa sudut yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama orang terkasih.” “Diam kau!” gertak Giselle tapi sangat amat menahan diri. “Beritahu aku jika ada masalah.” “Tenang saja. aku pecinta kedamaian.” Giselle mencebik tapi tak lama, senyumnya kembali hadir. Tak mungkin ia tampilkan wajah tak suka di tengah banyak tamu undangan yang sungguh memiliki pengaruh demikian besar ini. Yang bisa Giselle lakukan sekarang adalah membiarkan Harvey melenggang menjauh dari ruang makan. Sebenarnya masih ada beberapa acara lagi selepas makan malam bersama, dan kebanyakan para tamu ingin menikmati sampai acara berakhir. Itu artinya masih ada beberapa jam ke depan sebelum Giselle bisa kembali pulang. Sementara itu, Harvey berjalan penuh percaya diri mengikuti jejak Jacob yang ternyata menunggu di sisi koridor. Pria itu masih sama seperti saat terakhir kali bertemu. andai saja ia tak pandai mengolah emosi dan ekspresi wajahnya, mungkin acara ini berubah sebagai tempat baku hantam. Rasa kecewa serta marah karena sikap pengecut Jacob membuat Harvey ingin sekali melayangkan pukulan pada pria itu. Tapi tidak. Ia bisa menahan itu semua. Melampiaskan kekecewaan tak melulu dengan pukulan dari tangannya. Harvey butuh tangannya selalu bersih tanpa noda. Ia tak akan mau menyia-nyiakan tubuhnya sakit dan bertindak tanpa guna. “Aku tahu tempat yang cukup tenang di area ini,” kata Jacob sesaat setelah Harvey mendekat. “Syukurlah. Aku lelah dengan kebisingan.” Jacob tersenyum tipis. mempersilakan Harvey untuk melangkah lebih dulu memasuki lift. Tak banyak orang yang menyingkir dari pesta perjamuan tadi. dan Harvey tak perlu khawatir akan ganasnya jemari paparazzi. Semuanya sudah dihandle oleh penyelenggara, jadi ia tak butuh mengawasi sekitar dengan ekstra. Tak ada yang bicara selama mereka di dalam lift. Yang mana Harvey tahu jika pria itu kembali memerhatikannya. Siapa yang bisa mengalihkan pandangan dari harvey malam ini? dibalut design dari Cho Chang yang cukup terkenal dengan gaya etniknya terutama unsur shio, potongan gaun simple tapi mempertegas bagaimana tulang belikat Harvey diciptakan oleh Tuhan dengan sempurnanya. Belum lagi belahan gaun yang cukup tinggi, memperlihatkan bagaimana kaki Harvey yang mulus serta jenjang pun diperindah heels sewarna gaun lengkap dengan taburan Kristal mewah. Berbahan dasar beludru lembut yang memukau banyak orang saat ia datang, tapi harvey yang sudah sangat biasa mendapatkan atensi, hanya bisa tersenyum tipis sebagai bentuk penghargaan. Merah adalah pilihan yang begitu tepat untuk Harvey malam ini. Bahkan Giselle entah sudah berapa kali memujinya begitu selesai ditata rambutnya. “Lewat sini,” kata Jacob sembari menunjukkan arah yang dimaksud. Harvey hanya mengangguk sekilas dan kembali mengimitasi langkah pria yang kini memimpin jalan. Koridor yang ia lalui, tampak sepi tapi ia tak jadi soal. Matanya menangkap beberapa CCTV yang tak akan mungkin tak merekam aktifitas kali ini. “Ini tempatnya.” Jacob mendorong pintu yang terbuat dari kaca, besar serta kokoh tapi begitu Harvey melangkah memasuki ruangan, ada kesiap kecil meluncur dari bibirnya. “Indah, kan?” “Tak salah jika Hotel Alden dinobatkan sebagai hotel berbintang yang memiliki kelas.” Harvey terus melangkah di sisi Jacob. “Dan … kau sudah mewarisi hotel ini?” Ia melirik pada Jacob yang tampak terkejut mendengar pertanyaannya. “Belum.” Jacob tertawa. “bagaimana mungkin?” tanya Harvey dengan sorot tak percaya. “Setelah sekian lama?” “Kita bicara sembari duduk?” Jacob menarik salah satu kursi. Bak seorang pria gentle yang mengagumi wanitanya, ia bersikap begitu sopan. Serta di hatinya yang begitu gembira bisa bertemu lagi dengan harvey. Cintanya. Kekasih yang tak bisa ia lupakan dengan mudah. Yang pernah ia … kecewakan. Tapi sekarang, di saat semuanya sudah hampir ia genggam, tak akan lagi ia bertindak dan bertingkah bodoh. Sudah cukup penyesalan delapan tahun lalu. Dan sampai detik ini, Jacob masih berkubang dengan penyesalan itu. Harvey kembali tersenyum, tapi kemudian senyum itu lenyap. Berganti dengan sorot dingin dan tak lagi ramah. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Jacob terperanjat. Ia mengerjap berulang kali melihat perubahan ekspresi Harvey. Tapi kemudian, ia menyadari jika sejak tadi Harvey pintar sekali menyembunyikan topengnya. Wajah yang sebenarnya harvey miliki, kini ia nikmati. Wajah seorang gadis yang pernah ia lukai begitu besar. Yang tak pernah mau menyingkir dari mimpi buruknya; hari di mana Jacob batalkan pertunangan mereka. hanya karena orang tua Harvey terkena masalah. “A-aku …” “Bicara segera. waktuku tak banyak,” tukas harvey sembari melipat tangannya di d**a. “kau pikir aku sudi beramah tamah denganmu? Cih!” Ia berdecih sembari melengos.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN