Sejak ia ada di bawah payung yang Justin buka lebar untuknya, satu kebiasan yang Harvey lakukan. tapi ini hanya berlaku untuk orang lain. apalagi orang itu punya niat tertentu padanya. Yang mana jelas, Harvey tak akan merelakan waktu dan dirinya bertemu tanpa hasil. Dan satu hal yang pasti, ia tak hobi menunggu. Yang ada, menunda waktu untuk bertemu; dengan banyak alasan yang bisa ia kemukakan.
Siapa yang tak mengenal Harvey? alasan sibuk dan berbentur dengan jadwal lainya, adalah hal yang paling masuk akal menunda pertemuan yang harus ia datangi. Tanpa bendera SEO tentu saja, karena kebanyakan pertemuan itu untuk kepentingannya pribadi.
Termasuk bertemu dengan Jody Varens.
“Untuk yang terakhir kalinya,” gumam Harvey dengan seringai tipis. Porche putih miliknya sudah meluncur mulus memasuki area lobby. Di Hotel Mandari, terdapat restoran yang menjadi tempat pertemuan mereka. untungnya siang ini tak ada jadwal yang harus Harvey datangi. Kecuali nanti malam, ia harus terbang ke Yazeran. Berpisah lokasi dengan Giselle juga Sula. Jangan tanyakan Ruby lantaran wanita itu memilih cuti sebulan setelah begitu banyak pekerjaan yang diselesaikan.
“Selamat datang,” sapa salah satu petugas parkir. Seperti biasa, Harvey selalu menggunakan jasa mereka sebagai bentuk bantuan kecil. “Kuncinya, Nona.”
Harvey memberikan dengan suka rela seraya tersenyum tipis. Di muka umum, ia tak mungkin melenyapkan senyum ramah. Apa pun keadaannya, ia tak boleh bersikap angkuh dan terkesan sombong. Meski senyum itu penuh palsu, setidaknya image Harvey sebanding dengan popularitas yang ia genggam saat ini.
Suara ketuk heels yang beradu dengan lantai marmer menjadi penemannya. Beberapa orang yang berpapasan dengannya, tampak terperangah. Mungkin tak menyangka jika bertemu seorang Harvey Princessa di tempat ini. mau bagaimana lagi, yang ingin menemuinya meminta untuk datang ke sini. Restoran paling dekat dengan kantornya.
Bisa Harvey pastikan, ada satu kamar yang ia sewa untuk menghabiskan waktu bersama dirinya meski sebentar. Tapi ... tidak. harvey tak lagi tertarik. Ia hanya butuh satu informasi penting sebelum melangkah lebih jauh. termasuk memutuskan komunikasi dan hubungan dengan pria yang akan ia temui ini.
Begitu langkahnya melambat, pintu restoran serta dua orang pelayan yang menyambut, tersenyum lebar ke arah Harvey. “Bisa kami bantu, Nona?”
“Pesanan atas nama Tuan Jody Varens.” Harvey balas senyum mereka tak kalah ramah. Sembari mengibas pelan rambutnya yang sengaja ia buat bergelombang besar. Mengenakan rok sebatas paha dengan cape besar yang menutupi sebagian tubuh bagian atasnya. Tapi tak mengurangi sama sekali kecantikan dan betapa Harvey memang elegan mengenakan pakaian dengan warna-warna monochrome.
“Apa beliau sudah datang?” tanya Harvey sembari memerhatikan interior restoran yang menarik perhatiannya. Ada banyak ornamen khas negeri Cina ada di sana. Termasuk lampion merah bertuliskan aksara Cina. Juga yang paling ikonik di antara semuanya; patung kucing emas yang tangannya bergerak melambai.
“Sudah, Nona.” Salah satu dari mereka mungkin sudah menyelesaikan pengecekan nama tamu yang datang siang ini. termasuk tamu ekslusife yang meminta ruang khusus agar tak ada gangguan. “Mari, saya antar.”
Harvey mengikuti langkah pelayan tadi. Hingga akhirnya tiba di tempat yang sudah dipesan oleh pria yang saat menatapnya, seperti harimau kelaparan.
“Lama sekali,” keluh si pria begitu pelayan yang mengantar Harvey meninggalkan mereka.
“Maafkan aku.” Harvey terkekeh. Mengulurkan tangannya sekadar untuk disentuh dan dikecup berkali-kali. Seolah bertemu dengan Harvey sudah sangat lama pria itu nantikan. “Justin banyak membuatku sibuk.”
Pria tua itu berdecak sebal. “Itulah kenapa aku tak setuju kau meninggalkan Maya.”
“Da berisiko istrimu tahu apa yang kulakukan bersamamu, Tuanku?” Harvey sedikit mencondongkan dirinya. mengusap wajah pria yang menatapnya lekat sekali. Kentara sekali apa yang menjadi keinginannya. “Aku masih punya kewarasan yang cukup untuk menahan diri.”
Sekali lagi pria itu tertawa. “Bicara denganmu selalu saja aku kalah.”
“Tapi Anda memenangkan waktuku untuk hari ini.”
Jody Varens membusungkan d**a. Sejak awal ia mendekati gadis ini, ia sudah tak bisa mengalihkan diri ke mana pun. meski di sekitarnya banyak wanita yang jauh lebih cantik, tapi harvey berbeda. Tak mudah takluk padahal sering bersama. Ada sisa keangkuhan yang tak bisa ditundukkan begitu saja tapi Jody rela membuang banyak uang serta waktu untuk gadis itu.
Ia benar-benar terlena.
“Aku tak tahu apa kau menyukainya apa tidak,” Jody mengambil paper bag yang ada di sisi kanan. Agak besar dan sedikit membuatnya kesulitan. Tapi dengan sigap, Harvey membantunya. “Aku minta Sarah membantu mencarikan yang cocok untukmu.”
“Wow, aku tak menyangka Anda masih peduli padaku.”
“Kau bercanda?” Jody menatap Harvey dengan sorot tak suka. “Kau tak akan kulupakan dalam bagian hidupku, Sayang.” Pria itu memerhatikan bagaimana Harvey yang perlahan membuka hadiah darinya. termasuk wajah Harvey yang terkejut begitu melihat apa yang ia berikan kali ini.
“Anda ... benar-benar luar biasa.” Harvey pun segera meletakkan tas mewah yang hanya diproduksi 100 pcs untuk series terbarunya. Yang mana sukar didapat dan pasti membuat prestige tersendiri bagi penggunanya. “Terima kasih,” kata Harvey sembari setengah memeluk pria itu. pun rasanya tak jadi soal jika satu kecupan ia beri di pipi keriput pria yang kegirangan dengan reaksi Harvey kali ini.
“Jangan senang dulu, aku masih punya banyak hadiah untukmu asal kau bersedia menunda waktu berangkat ke Yazeran, Sayang.” Jody manfaatkan kedekatan ini untuk semakin menempeli Harvey. ia buat gadis itu duduk di pangkuannya. terdengar pekik terkejut tapi Jody tak peduli. Lantaran kini Harvey justru tersenyum riang sembari berpegangan padanya.
“Anda keterlaluan, Tuan. Kalau aku terjatuh? Justin bisa memakiku.” Harvey cemberut.
“Sebenarnya aku cemburu dengan Justin, tapi menghadiri pernikahannya beberapa waktu lalu membuatku yakin, ia tak akan merecoki dirimu.”
Harvey hanya bisa tertawa. “Oiya, Tuan. Bisakah aku bertanya sekarang?”
“Aku mau menjawab asal kau menyetujui tinggal lebih lama bersamaku.” Jody mengusap pipi Harvey penuh lembut. “Ayolah, kau sudah sering sekali menolakku. Apa kau tak kasihan dengan pria ini?”
Harvey semakin larut dalam tawa yang ia ciptakan. “Aku tak pernah berbohong mengenai keadaanku, kan?”
“Dan sekarang kau punya waktu, kan?” Tangan Jody mulai bergerilya. Pada paha mulus Harvey yang memang menggoda. Perlahan, penuh irama yang tak mungkin Harvey tolak. Apalagi sudah ia berikan permulaan yang mewah untuk gadis itu.
Sialan orang tua ini!
Tapi Harvey tak mungkin meluncurkan makiannya, kan? Yang ada ia terus tersenyum sampai batas waktu yang dimiliki. “Memangnya apa yang Anda siapkan sebagai hadiah lanjutan untukku?” tanya Harvey sembari bergeliat gelisah. seolah menerima dengan suka rela rangsangan yang Jody berikan padanya. Sengaja pula ia kenakan rok pendek memang untuk memancing respon Jody.
“Banyak, Sayang.” Jody semakin bersemangat. Ia mendekat pada ceruk leher Harvey dan memberi kecupan di sana. Lembut kulit gadis yang ada di pangkuannya ini semakin membuat ia menggila. Tapi ia harus bersabar, ada satu kamar khusus yang sudah tersedia untuk mereka habiskan waktu. Lengkap dengan hadiah yang tak akan mungkin Harvey tolak.
Jody yakin itu.
“Ehm ... tapi, Tuan...” Harvey mendongak. Sengaja agar Jody bebas bereksplorasi dengan lehernya.
“Kenapa lagi, Sayang?” Jody membenahi duduk Harvey agar semakin dekat dengannya. Juga tangan yang lain, mulai ia pergunakan untuk menggerayangi tubuh super model ini.
“Jangan berikan jejak apa pun di sana. Aku membutuhkan leher yang tanpa noda untuk pemotretan di Yazeran.”
Jody tertawa. “Tapi jika di tempat lain? boleh aku buat sebanyak-banyaknya?”
Harvey menyeringai. “Silakan.” Tapi hatinya merutuki tindakan Jody. “Sabar, Harvey. sebentar lagi.” batinnya yang ingin sekali mendorong pria yang serupa biantang buas ini.
“Anda harus beritahu aku, siapa Bryan Desmond sebelum membawaku ke kamar.”
“Apa harus?” tanya Jody dengan nada tak terima. “nanti saja jika kita sudah menyelesaikan permainan ini, Sayang. aku tersiksa.”
“Aku juga, Tuanku tersayang. Tapi aku ingin tahu, Bryan Desmond itu orang seperti apa. Kau janjikan itu padaku, kan?”
“Baiklah.” Jody tampak menyerah. “Tapi jangan berpikir kau turun dari pangkuanku.”
Harvey mengangguk patuh, tangannya mengusap lembut pipi, lantas mulai turun ke d**a Jody yang masih terselubungi blazer dan kemeja mahal. “Ceritakan bagian penting dan padat saja. agar kita bisa segera bersenang-senang.”
“Kau benar-benar gadis yang nakal.” Jody tertawa jadinya. Tampangnya sekali b*******h juga senang. “Akan kuturuti apa pun yang kau inginkan, Sayang. Maka simak dengan baik siapa Bryan Desmond yang aku tahu.”