Tatapan mataku dengan Restu sempat mengunci satu dengan yang lain untuk beberapa saat, sebelum akhirnya aku memilih mengalihkan pandangan ke arah Rani yang sedang menatapku dengan senyuman.
"Ke mari lah, Zima!" ucap Rani dan memintaku untuk duduk di sebelahnya. Aku menurut saja dan duduk di sebelah Rani. Tepat berhadapan dengan wanita yang aku yakin adalah calon istri Restu.
Setelah aku duduk, Rani melanjutkan sesi perkenalannya. Wanita disebelahku ini mengalihkan pandangannya tertuju pada wanita yang duduk di hadapanku.
"Bu Gladis, perkenalkan dia Azima. Rekan kerja saya yang akan menghandel project ini. Anda jangan khawatir karena Zima ini juga sangat berpengalaman dalam mengurus sebuah even pernikahan."
Gladis, akhirnya aku bisa melihat juga wajah wanita ini. Jujur, aku tidak berani sedikitpun melayangkan pandangan pada lelaki yang duduk di sebelah Gladis.
"Hai, Zima. Senang bekerja sama denganmu." Dengan ceria Gladis menyapaku.
"Sama-sama Bu Gladis," jawabku sedikit gugup.
Bagaimana aku tidak gugup jika mendapati Restu yang sesekali melemparkan pandangan ke arahku. Sekuat hati aku tak mempedulikan keberadaan lelaki itu. Berpura-pura tidak saling mengenal akan lebih baik menurutku.
"Zima, kenalkan. Beliau adalah Bapak Restu Wibisono. Calon suami Ibu Gladis."
Matilah aku. Karena kini Rani justru mengenalkanku pada Restu. Dengan terpaksa aku menolehkan kepala pada Restu. Hei, lelaki itu tersenyum dengan mata tepat pada manik mataku. Kembali gugup kurasakan. Ah, kenapa aku harus dipertemukan kembali dengan lelaki ini. Lelaki yang telah merusak hidup dan masa depanku. Jika ada yang bertanya apakah aku benci pada Restu? Jawabannya tentu saja iya. Benar sekali. Aku sangat membenci lelaki itu. Lelaki yang dengan tega dan tidak tahu diri harus melibatkanku dalam masalah pribadinya dengan mantan suamiku, Reno Wibisono.
Susah payah aku selama beberapa tahun ini melupakan semua yang telah terjadi dalam hidupku. Tapi rupanya Tuhan tak akan membiarkanku hidup tenang dengan dipertemukannya kembali aku dan Restu.
Setelah perkenalan singkat itu, Rani kembali menginterupsi dan memegang kendali dalam meeting kecil kali ini. Banyak hal yang Rani bicarakan pada kedua calon pengantin yang memakai jasa Wedding Organizer kami. Aku dengan seksama mencatat apa saja keinginan dan tema yang diminta oleh Gladis dan juga Restu. Tapi dalam hal ini kurasa bahwa Gladislah yang memegang kendali. Karena semua hal harus sesuai dengan permintaan wanita itu. Sementara Restu, sepertinya lelaki itu tak seberapa antusias dengan pertemuan kali ini. Hanya menganggukkan kepala acapkali Rani atau Gladis bertanya. Atau hanya mengucapkan terserah kau saja setiap calon istrinya meminta persetujuan kepadanya. Kenapa aku jadi merasa jika pernikahan ini bukanlah keinginan Restu. Ya Tuhan, Zima. Jangan berpikir yang macam-macam. Dan jangan ikut campur dalam urusan Restu. Batinku mengingatkan.
Hingga dua jam lamanya tak terasa kami berempat menghabiskan waktu bersama. Belum ada kesepakatan yang berarti dan hanya saja poin-poin penting yang terkait seputar rencana pernikahan Gladys dengan restu sudah aku catat dalam agenda.
"Baiklah, Rani, Zima. Terima kasih atas waktunya. Kami berdua permisi dulu. Jika ada hal yang ingin kami sampaikan lagi, maka aku akan segera menghubungi," pamit Gladis di akhir pertemuan kami hari ini.
Wanita itu beranjak berdiri disusul oleh Restu. Aku dan Rani juga melakukan hal yang sama. Saling berjabat tangan sebagai tanda perpisahan. Tapi, disaat Restu menjabat tanganku, aku tahu jika lelaki itu sengaja menjabat erat tanganku dan berkata lirih bahkan hanya aku yang bisa mendengarnya, "Senang bertemu kembali denganmu, Zima."
Tubuhku menegang, antara takut, bingung, bimbang dan marah bercampur menjadi satu. Sekuat tenaga menguasai diri agar aku tak menepis tangan Restu berharap lelaki itu mau melepas genggaman tangannya.
Setelah keduanya meninggalkan kantor, barulah aku bisa bernapas lega. Hanya kelegaan sesaat karena setelah ini nasibku yang akan dipertaruhkan. Akan sering menjumpai lelaki yang begitu aku benci.
***
Malam semakin larut. Tapi aku masih setia duduk menyendiri di teras depan rumah kos yang selama ini aku tempati. Aku nelamun. Menyendiri tanpa ada yang menyadari. Di rumah kos ini tidak banyak yang menempati. Hanya sekitar lima orang. Dengan taman kecil dan kolam ikan di depan rumah, menjadi tempat terfavorit bagiku menyendiri hanya sekedar melamun atau membaca buku. Sesekali aku memperhatikan lalu lalang beberapa orang yang melewati jalan depan. Termasuk jalan besar di dalam sebuah perumahan. Penjual keliling di malam hari juga banyak yang lewat. Seperti tukang bakso atau tukang sate. Entahlah, aku merasa sangat nyaman tinggal di sini. Penghuninya pun ramah-ramah. Sementara pemilik rumah tidak tinggal di tempat ini. Melainkan tinggal di rumah lain. Masih di satu perumahan yang sama. Hanya berbeda gang saja.
Kuhela napasku, lalu menghembuskannya perlahan. Hidup yang sangat rumit dan kilasan masa lalu terkadang masih menghantui hidupku. Terlebih dengan mengingat apa yang pernah Restu lakukan beberapa tahun yang lalu padaku. Perceraian dengan Mas Reno sangat membuatku terpukul. Tapi aku bisa apa selain menerima semua dengan lapang d**a. Daripada aku tetap mempertahankan pernikahan dengan diselimuti dendam, lebih baik aku menyandang status janda di usia muda. Lebih membuat hidupku tenang dan nyaman seperti sekarang.
Kenyamanan yang terkadang terusik dengan ingatan buruk. Seperti saat ini. Aku menangis tanpa kusadari, buru-buru kuseka air mata yang sudah lolos membasahi pipi. Aku tak ingin ada penghuni kos ini yang mengetahui tentang masa lalu dan kesedihanku. Yang mereka tahu aku ini hanyalah gadis pendiam yang suka menyendiri dan tidak banyak tingkah. Padahal di luar itu mereka tidak tau saja jika sifat diamku ini karena trauma masa lalu.
Semakin lama mengingat Mas Reno hanya akan membuat sesak di dadaku. Memilih beranjak dari duduk dan kembali masuk ke dalam kamar.
Merebahkan tubuh di atas ranjang menatap langit-langit kamar. Rasa rindu pada ayah dan ibu kembali mendera. Kapan-kapan aku akan pulang mengunjungi mereka. Rasanya sudah lama sekali aku tak pulang.
Berpikir sebentar akan keberadaan Restu di kota ini. Aku baru menyadarinya jika sepupu Mas Reno itu memnag tinggal di kota yang sama denganku. Tapi selama ini aku tidak pernah bertemu dengannya. Dan kenapa baru sekarang Tuhan mempertemukan kami.
"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?" gumuamku lirih.
Perlukah aku mundur saja dari proyek yang Rani berikan kepadaku ini. Tak enak hati kurasakan karena aku tahu Rani sedang banyak menangani proyek berjalan. Jika aku bercerita pada Rani mengenai masa Lalu ku dengan Restu, juga bukan merupakan solusi. Baiklah, aku pasti bisa mengenyahkan masa lalu yang menyakitkan hati. Aku akan bersikap biasa saja seolah aku dan Restu belum pernah mengenal sebelumnya. Semoga saja Restu juga bisa aku ajak kerja sama dengan berpura-pura tidak mengenalku, agar aku bisa menjalankan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.