Lorong itu penuh dengan kursi dingin yang memanjang sampai keluar. Dindingnya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang tidak disukai Renan. Pintu di belakangnya terbuka dan suara orang di dalamnya dapat Renan dengar. Renan tahu mereka sedang membicarakannya. Ada yang salah dengannya. Sejak kejadian dua bulan yang lalu, Renan tahu ada yang salah dengannya.
Renan menatap tangannya, tapi matanya teralihkan oleh noda darah di lengan bajunya. Hanya beberapa bercak kecil karena Renan sudah mencuci tangannya yang penuh darah satu jam yang lalu. Ia baru saja membunuh - bukan manusia- hanya seekor kucing milik temannya, memotong tubuh binatang itu dengan gunting kecil ketika kelas keterampilan.
"Kenapa saya tidak memotong kertas ini?" tanya psikiater bernama Samuel itu kepada Carla, ibu Renan, sambil menunjukkan sebuah kertas kosong dan sebuah gunting.
Suara pria tua berkepala botak yang mengenakan jas putih itu terdengar jelas dari tempat Renan duduk. Entah karena mereka lupa menutup pintu ruangan atau memang mereka sengaja agar Renan mendengarnya, Renan tak tahu. Ia hanya mendengarkannya.
"Itu karena sayang jika kertas ini saya buang nantinya, bukan karena saya kasihan kepada kertas ini. Tapi Renan tidak bisa membedakan perasaan itu. Dia tidak bisa membedakan perasaan pada benda hidup dan mati."
Renan menggenggam tangannya dengan erat. Kepalanya menengok ke dalam ruangan, melihat psikiater menunjukkan sebuah gambar kepada ibunya.
"Ini adalah lobus frontal kirinya yang mengontrol emosi, tampaknya ukurannya lebih kecil daripada ukuran normal. Kemungkinan besar itu masalah genetika, tapi juga bisa karena stres berat atau trauma tertentu selama pertumbuhan, hingga stres berat saat kehamilan atau kelahiran."
Carla menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin Renan seperti itu..."
"Bukan hanya saya yang bertanggung jawab pada pengobatan Renan nantinya, tapi keluarganya dan lingkungan sekitar. Renan mungkin akan tumbuh tidak seperti anak-anak lainnya, dia akan sering menyendiri dan anti sosial. Dia kurang bisa memahami perasaan orang lain hingga kesulitan untuknya bertahan di lingkungannya."
"Sejak dua bulan yang lalu, Renan sering menyendiri. Dia semakin jarang berbicara dengan saya dan selalu mematung dengan pandangan kosong." Renan bisa mendengar ibunya menangis. "Waktu kecil Renan tidak seperti itu. Apa karena kami pindah ke lingkungan yang sepi? Kami tak memiliki tetangga dan Renan hanya mengenal teman sekelasnya. Apa itu yang memicu penyakitnya?"
"Lingkungan yang baru tidak cukup besar untuk memicunya, Nyonya. Kalau bukan karena masalah genetika atau waktu kehamilan, kemungkinan besar karena trauma. Dua bulan yang lalu, apa Anda tahu apa yang terjadi?"
Carla menggeleng lemah sebagai jawaban.
"Tenang, Nyonya. Dengan terapi yang tepat, kita bisa mengusahakan Renan bisa sembuh. Yang terpenting, kita harus tahu penyebabnya, apa yang memicunya dan selalu menjaga Renan. Mulai ajari Renan untuk mengenal bentuk-bentuk ekpresi dan bagaimana bersikap di depan orang lain. "
Psikiater tua itu berdiri keluar ruangan dan mendekati Renan. Dengan senyum ramah, ia mengajak Renan masuk ke ruangan dan duduk di samping ibunya. Renan menundukkan kepalanya, tangannya saling menggenggam.
"Sekarang, katakan pada dokter kenapa kau membunuh kucing itu, Renan?" tanya dokter itu.
Renan mengingat kembali kejadian di kelas tadi, ketika pemilik kucing itu mengganggunya. "Aku ingin sendiri, tapi Riko, pemilik kucing itu, selalu mengajakku bermain. Dia membuatku tidak nyaman. Tapi aku tidak bisa membunuh orang. Orang lebih sulit untuk disingkirkan."
Carla memegang tangan Renan dengan lembut sambil berkata lirih, "Renan..."
"Renan, apa kau mau melihat video ini?" tanya Samuel sambil menunjukkan laptopnya yang sedang memutar video pendek.
Renan mengangguk. Video itu berisi anak yang kehilangan kucing peliharaannya. Anak itu mencarinya di seluruh jalanan dan ketika anak itu melihat kucingnya, tiba-tiba sebuah mobil menabrak kucing peliharaannya itu. Anak itu menangis tersedu-sedu. Video itu belum selesai tapi Samuel sudah menutup laptopnya.
"Menurutmu, bagaimana perasaan anak perempuan itu melihat kucingnya mati?" tanya Samuel.
Renan masih menundukkan kepalanya, genggaman tangan ibunya semakin erat. "Aku tidak tahu," jawab Renan dengan gelengan kepala lemah.
"Menurutmu, kenapa anak itu menangis, Renan?"
Renan menggeleng sekali lagi, diikuti dengan isakan tangis Carla yang semakin kencang.
"Aku tidak tahu," jawab Renan lagi.
Air mata Carla turun. Wanita paruh baya itu tidak tahu bahwa anak laki-lakinya- anak yang terlihat sangat kuat dan pintar itu bukanlah anak biasa. Carla bertanya-tanya apakah keadaan Renan seperti sekarang karena dirinya? Karena Carla tidak bisa memberikan kasih sayang pada anak satu-satunya itu. Karena Carla begitu sakit-sakitan hingga melupakan Renan.