Rainy 09

1347 Kata
Bramanaka meletakkan segelas air di depan Yana. Ia kemudian duduk di sofa. "Mau ngomongin apa?" tanya Yana langsung tanpa menyentuh minumannya lebih dulu. Pria itu membuang napas pelan. Bram masih belum angkat bicara. Yana menatap lurus ke manik mata pria itu. Mencoba menelisik isi kepala Bram. Jika diingat lagi, Yana yakin yang akan Bram bahas bukanlah masalah Yana yang berada di apartemen Rayga. Karena Yana yakin, tak ada semburat cemburu sama sekali di mata Bram. Itu juga yang membuat Yana yakin kalau Bram memang tak ada perasaan padanya. "Mau sampai kapan kamu nolak lamaran aku?" Yana membuang pandangan. "Aku punya satu pertanyaan untuk kamu. Kamu sama sekali nggak cinta sama aku, kenapa kamu ngotot mau nikah sama aku?" tanya Yana gamblang. Tak ada perubahan ekspresi atau keterkejutan di wajah Bram. Yana membuang napas pelan saat Bram tak kunjung menjawab. "Kita remaja 10 tahun lalu. Kamu bisa main-main saat itu, tapi nggak sekarang. Jadi aku akan anggap kalau aku nggak dengar apa yang kamu bilang tadi. Kalau gitu aku permisi dulu." Yana hendak beranjak, namun kembali terdiam oleh pertanyaan Bram. "Kamu beneran nggak ada perasaan lagi sama aku?" tanya pria itu tenang. Yana terdiam sesaat, memantapkan hati. "Enggak." Bram pun masih tenang. Masih dengan ekspresi yang sama. "Kamu masih nggak bisa bohong." Yana melotot. "Aku nggak bohong!" Tegasnya. Bram manggut-manggut. "Aku akan buktiin sendiri kamu bohong atau enggak." Bramanaka bangkit dari duduknya, dalam langkah besar menghampiri Yana. Gadis itu langsung waspada. Namun terlambat karena Bramanaka lebih dulu menarik tengkuknya dan membungkam bibir Yana. Yana melotot. Ia mendorong Bram, tapi tak berhasil. Bram justru memperdalam ciumannya, membuat Yana tersudut. Perlahan kekuatan Yana melemah. Pasrah. "Kamu nggak nolak ciuman aku," ucap Bram nyaris berbisik. Posisi mereka sangat dekat dengan wajah hanya berjarak kurang dari tiga sentimeter. Yana mendorong Bram. "Nggak nolak bukan berarti aku masih punya perasaan sama kamu." Yana bangkit. Meraih tasnya kemudian berlalu. Bram hanya terdiam tanpa berniat menghentikan Yana yang sudah hilang ke sebalik pintu. "s**t!!" Makinya. *** "Yana, makan dulu!" Panggil Ama dari luar. Pintu kamar terbuka. "Yana masih kenyang, Ma," jawab Yana. Gadis itu sama sekali tak beranjak dari kasurnya. Tubuhnya pun dibungkus selimut. "Kamu sakit?" Ama duduk di pinggir kasur, menyentuh dahi anak gadisnya. "Nggak panas kok.." "Yana nggak sakit kok, Ma. Yana baik-baik aja.." Ama menatap putrinya itu. "Tadi ama ketemu Daffi di rumah sakit?" Yana langsung bangkit. "Mas Daffi sakit, ma?" tanyanya tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir. Ama menggeleng. "Kamu masih khawatir sama Daffi?" Yana tersadar. Ia langsung terdiam. Ama menyadari itu. Ia bukannya tak tau bahwa Yana masih menyimpan Daffi di dalam hati. Tapi sebagai orang tuapun Ama tak ingin Yana berlarut-larut dalam kesedihan. Sudah cukup lama Yana terkurung dalam luka. Sudah lebih dari setahun. "Daffi nggak sakit, kok. Dia tadi lagi bawa istrinya periksa kandungan." "Ka-kandungan?" Ama mengangguk. "Vazia sedang hamil, tiga bulan.." Seperti ada sebuah jarum yang tengah menusuk-nusuk hati Yana. Sakit. "Sayang, nggak cuma mereka, kamu juga harus bahagia. Daffi sudah menjalani kehidupannya. Kamu juga harus menjalani kehidupan kamu. Ama nggak minta kamu lupain kenangan sama Daffi, tapi kamu harus sisihkan dan letakkan kenangan itu di tempat lain. Jangan biarkan dia terus berada di posisi penting." Yana tak menjawab, tak mengatakan apa-apa. Hanya terdiam. Ama mengusap rambut Yana penuh kasih. "Orang-orang yang meninggalkan kita, tidak mengartikan bahwa mereka adalah orang yang jahat. Hanya saja kita bukanlah prioritas utama bagi mereka. Daffi sudah memilih jalannya. Dan begitupun Yana. Jika mereka sudah memilih jalannya, yang harus Yana lakukan juga memilih jalan Yana. Jika Yana sudah bukan lagi jadi prioritas Daffi, berarti Daffi juga bukan lagi prioritas Yana." Yana memejamkan mata. "Ama.." ia memeluk ibunya itu. Air mata Yana berderai. Tangisnya pecah dalam pelukan Ama. Sehari ini Yana merasa amat lelah. Kenapa hidupnya terasa sangat rumit? ... Yana tak bisa berkonsentrasi. Asistensinnya bahkan memanggilnya hampir tiga kali. "Ibu oke? Mau saya bikinin kopi?" Yana membuang napas. "Nggak usah. Sampai mana tadi?" Fio kembali menjelaskan. "Oke, ntar biar saya yang nemuin mereka. Buk Bos udah balik?" Fio menggeleng. "Pesawat malam, buk.." Yana mengangguk. ... Yana sibuk memainkan ponselnya, sampai tak sadar nyaris menabrak orang. Ia langsung meminta maaf. Namun kalimat Yana terhenti begitu melihat siapa yang ditabraknya. Daffi melempar senyum lebih dulu. "Kamu apa kabar?" "Baik." Daffi manggut-manggut. "Udah lama ya kita nggak ketemu. Setahun?" tanya Daffi yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan. Yana tak menyahuti. Sebenarnya enam bulan pertama setelah putus Yana masih sering pergi melihat Daffi secara diam-diam. Bahkan ketika Daffi dan Vazia menikah, Yana nyaris datang ke sana. Untung dia masih cukup waras. Walaupun sebenarnya saat itu Adira yang berusaha mati-matian melarang Yana agak tidak pergi. "Kata Ama kemarin ketemu mas di rumah sakit," kata Yana. "Selamat ya," sambungnya. Ada rasa sakit saat Yana mengucapkan selamat. Yana masih belum ikhlas, sebenarnya. Daffi tersenyum hangat. Mengayomi. Satu hal yang Yana kagumi dari laki-laki itu. Namun sayang, karena itu juga rasa kecewa Yana menjadi berlipat ganda. "Yan—" "Maaf ya Mas, Yana lagi buru-buru. Duluan ya.." Yana langsung berlalu begitu saja. Kalau saja dia tak ada pertemuan dengan klien, Yana pasti lebih memilih untuk segera pergi. Dia rasanya ingin menangis. ... Ruga dan Zafa duduk di kursi ruang keluarga. Mereka baru datang. Begitu mendapat kabar dari Ama, kedua abang kembar Yana itu langsung pulang. Di sinilah mereka sekarang. Selain itu Apa dan Ama juga sudah ada di sana. Hanya Yana yang tak ada. Padahal dialah inti dari pertemuan keluarga ini. Tak lama kemudian Yana muncul. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Ama. Meski ia menjadi pusat perhatian, namun Yana terlihat masih santai seolah tak ada yang terjadi. "Jadi kamu beneran mau nikah?" Ruga, anak paling tua membuka suara. "Siapa laki-laki itu? Mas kenal?" Zafa ikut bersuara. Yana memutar bola matanya. "Kayaknya selama ini kamu nggak ada deket sama siapa-siapa. Kenapa tiba-tiba mau menikah? Apa yang jodohin ya? Kan Ruga udah bilang kalau Yana nggak boleh dijodohin sama siapa-siapa.." Apa terkejut. Ia menoleh pada istrinya dengan wajah bingung. "Duh Mas, tanyanya satu-satu dong. Jangan nyosor gitu. Yana nggak dijodohin sama Apa, ok," akhirnya Yana membuka suara. Tak tahan lagi melihat abangnya yang menggebu-gebu. Ruga memang jarang sekali berkirim pesan atau berinteraksi dengan Yana jika dibandingkan Zafa, tapi Ruga akan berdiri paling depan untuk membela adiknya itu. "Terus?" Yana menarik napas dalam. "Yana belum mau menikah, ok. Ini tuh masih rencana. Ama sih tadi langsung nelpon mas Ruga sama mas Zafa. Padahal kan belum apa-apa." "Loh, kok ama yang disalahin. Habisnya tadi kamu tiba-tiba nanya soal nikah sama Ama. Ya Ama kira kamu mau nikah." Sebenarnya ini semua memang salah Yana. Begitu sampai di rumah ia langsung mencari ibunya dan bertanya apa yang harus dilakukannya jika dia ingin menikah? Tentu saja Ama langsung berspekulasi. Pasalnya topik pernikahan termasuk haram keluar dari bibir Yana. Nah sekarang Yana yang mengungkitnya lebih dulu. Apa membuang napas tenang. Menatap putra dan putrinya. Raut wajah tuanya berubah serius. "Karena kebetulan kita semua sudah berkumpul di sini, jadi Apa akan bicara secara serius. Ruga, Zafa, dan Yana. Kalian adalah anak-anak kebanggaan apa. Sampai kapanpun apa nggak akan bisa melepaskan kalian ke tangan orang lain. Apalagi Yana adalah putri Apa dan Ama satu-satunya. Tapi kita nggak bisa selamanya seperti ini. Bagaimanapun kalian bertiga sudah beranjak dewasa. Apa tidak pernah memaksa kalian untuk melakukan apapun. Selama ini Apa menyerahkan semua pilihan kepada kalian. Tapi, sekarang juga sudah saatnya untuk kalian bertanggung jawab. Tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga orang lain." Yana memandang kedua masnya. Ruga dan Zafa tampak terdiam. "Tapi bagaimanapun semua keputusan ada di tangan kalian. Apa dan Ama tidak memaksa." Pria itu memandang Yana sekilas. "Sebenarnya Naka sudah bicara pada Apa." Mata Yana melebar. "Hah?" "Hmm, tidak hanya itu. Ibu Naka, Nora, juga sudah bicara pada apa dan ama. Sekarang semua keputusan di tangan Yana." "Kep-keputusan apa maksud Apa? Emang mereka ngomong apa?" Yana tak bisa tak terganggu. Perasaannya tak enak. Karena sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang akan ayahnya itu katakan. Apa menarik napas dalam, menatap istri dan anak-anaknya bergantian. "Nora ingin menjadikan Yana menantunya. Dia ingin Yana menjadi istri Naka. Dan Naka sudah bicara langsung pada Apa, bahwa dia ingin menikahi Yana." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN