"Deya, what's going on? Siapa Bram?"
Yana menghela napas.
"Tunggu, itu Naka? Bramanaka?" Tebak Sayn dengan wajah terkejut. Yana mengangguk. Tak ada gunanya juga ia berbohong pada Sayn.
"Kalian berhubungan lagi?"
Yana menghembuskan napas berat. "Itu bahkan nggak pantas disebut hubungan. Nggak kok."
Sayn menyipitkan matanya. "Jangan bohong. Ada apa sebenarnya? Jangan bilang muka badmood kamu itu karena dia?"
"Ih aku nggak badmood kok, biasa aja."
"Kamu nggak pinter bohong, Dey.."
"Kami nggak berhubungan kok. Just accidentally something happened."
"Like?"
Yana menghela napas. Tak bisa berbohong lagi. Ia akhirnya menyerah lalu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Bramanaka.
"So?"
"So...." Yana mengendikkan bahu. "Ya begitu."
Sayn pun terdiam. Yana kemudian beranjak, duduk di samping Sayn lalu memeluk pria itu. "Coba aja kita bisa nikah ya. Aku nggak perlu pusing. Ama sama Apa pasti seneng dapat mantu kamu."
Sayn mengusap rambut Yana lembut dan penuh sayang. Ia balas merangkul Yana.
"Ahhh, jadi kangen masa SMA.."
***
Yana menoleh ke jendela. Suara petir terdengar menggelegar sejak tadi. Tiba-tiba saja turun hujan sore tadi. Padahal sudah seminggu ini hari panas.
Ponselnya berdering lagi untuk ke sekian kali. Namun Yana mengabaikan. Yana melanjutkan memainkan iPadnya. Lagu-lagu soundtrack drama Korea mengalun di tengah hujan lebat yang mengguyur bumi.
Yana teringat kata-kata Sayn tadi.
"Menikah emang penting. Tapi kebahagiaan kamu lebih penting. Jangan paksain diri dan jangan terlalu nurutin apa kata orang. Just do what you wanna do. Kamu nggak harus nikah di umur 28 tahun kok."
Ia tersenyum. Pria itu memang sahabat baiknya. Yana bersyukur sebab ia tak pernah jatuh cinta pada Sayn. Hubungannya dan Sayn murni semacam hubungan adik kakak. Itulah kenapa ia begitu menyayangi Sayn dan sebaliknya.
"Anindara harusnya bahagia dapat cintanya Sayn," gumamnya. Yana tersenyum tipis lalu kembali sibuk dengan kegiatannya.
Terdengar suara ketukan pintu.
"Yan, ayo makan.." panggil Nadya, ibu Yana.
"Yana masih kenyang, Ma. Tadi diajakin makan malam sama Sayn."
"Loh, Sayn ke sini?"
Yana menggeleng. "Tadi ketemu di kantor."
"Udah lama Ama nggak ketemu Sayn. Ajakin ke rumah.."
"Iya tadi Yana udah ajakin. Cuman dia lagi ada kerjaan katanya. Diusahain secepatnya bisa ke rumah.."
"Duh, coba aja kalau dia bisa jadi mantu Ama. Kan enak.."
Yana menggeleng pelan. "Mas Ruga sama Mas Zafa mana?"
"Udah balik mereka. Nggak tau deh, Ama pusing lihat mas kamu itu. Nggak tau apa isi kepala mereka. Udah kepala tiga nggak nikah-nikah juga. Ntar pacarnya ditikung orang baru tau rasa."
Yana tergelak. "Hahaha. Harusnya Ama bilang gitu ke mas Ruga sama Mas Zafa.."
Nadya mengibas tangannya. "Udahlah gak usah dibahas. Jadi kamu nggak makan nih?"
"Ntar aja deh.."
"Yaudah. Jendelanya tutup. Dingin ntar kamu flu lagi.."
"Hm.."
Nadya berlalu. Yana menghela napas kemudian melangkah menuju jendela kamarnya. Ia bersiap menutup jendela, namun gerakannya terhenti saat melihat seseorang masuk ke pekarangan rumahnya. Berdiri di taman di bawah kamarnya. Di bawah hujan. Basah.
Yana memelotot.
Pintu kamar Yana tiba-tiba terbuka seiring ponselnya berdering lagi.
"Yana, itu ada Naka di depan. Dia hujan-hujan itu," kata Nadya agak panik.
Yana masih beku di tempatnya. Memandang Nadya dan Bram bergantian. Namun dia masih diam di sana. Tak bergerak.
"Yan! Kenapa diam aja? Kasihan Naka nya itu."
Yana sungguh ingin mengabaikan. Membiarkan Bramanaka di sana. Yana ingin tak perduli. Memang kenapa dia harus perduli? Untuk apa dia perduli? Toh mereka tak ada hubungan apa-apa.
"Deyana!!" Itu tandanya sang ibu sudah marah.
Yana menatap ibunya itu.
Yana membelah hujan dengan payung di tangannya. Menghampiri Bramanaka yang sudah basah kuyup. Tak ada ekspresi berarti di wajahnya. Yana memayungkan Bram.
Difta dan Nadya memperhatikan dari dalam rumah.
"Mereka kenapa? Kayaknya masalahnya serius," kata Difta.
Nadya menggeleng. "Ama juga nggak tau, Pa. Yana nggak ada cerita kalau dia dekat sama Naka lagi. Ama juga kaget tadi pas Naka datang."
Difta menatap putri semata wayangnya itu. Meskipun Yana sudah hampir 28 tahun, ia tetap melihat putrinya itu sebagai gadis kecil. Melihat drama asmara putrinya itu membuat Difta sadar bahwa Yana memang sudah besar. Ia menghela napas.
"Gimana ya Ma kalau Yana nikah nanti. Rumah pasti sepi.."
Nadya memandang suaminya itu. Lalu tersenyum lucu.
***
Bram mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Yana. Gadis itu menatapnya tanpa ekspresi. Bram tau kalau dia salah. Bram juga tak berharap Yana memaafkannya. Tapi dia tak punya pilihan. Dia harus meluluhkan hati Yana dan mendapatkan gadis itu. Menikahinya. Itu harga mati.
"Yan.." panggil Bram. Berusaha agar suaranya masih terdengar tegap dan lurus. Melawan dingin yang menyusup ke tulangnya.
Yana masih diam.
"Maafin aku.."
Tak ada jawaban.
Bram menatap manik mata Yana dengan pandangan sayu. Sungguh. Apapun akan dilakukannya untuk mendapatkan maaf Yana. Apapun. Bersujud sekalipun.
"Apa yang harus aku lakuin supaya dapat maaf dari kamu?"
Yana masih diam.
Bram meraih tangan Yana. Gadis itu menolak, tapi Bram bersikukuh. Menggenggam tangan Yana erat. Bram memejamkan mata, menguatkan dirinya sendiri dari sesak yang ia rasakan. Hari ini ia membunuh dirinya sendiri. Bramanaka sudah mati.
"Give me another chance. Aku mohon.." pintanya lirih. Yana tidak tau. Air mata Bram mengalir membasahi wajahnya yang memang sudah basah.
"Naka, Kamu kenapa sebenarnya? Ini aneh. Kamu tiba-tiba datang dan bersikap kayak gini. Kalau kamu mau main-main, ini sama sekali nggak lucu.." Yana rasanya sudah hampir sampai di puncak emosinya.
"Kamu lagi main peran? Atau kamu kesambet?!"
Bramanaka masih diam. Membiarkan Yana meluapkan emosinya.
"Kamu kira nikah itu gampang hah? Kita memang kenal dulu. Tapi itu dulu. 10 tahun lalu. Banyak yang berubah. Lalu kamu bisa dengan santai datang dan ngajak aku nikah? Kamu pasti lagi ngelawak!"
Bramanaka masih diam.
"Stop it, ok! Aku capek. Kita nggak usah ketemu lagi. Kamu jalani hidup kamu, aku jalani hidup aku. Ok!"
Yana memberikan payungnya ke Bram, kemudian melangkah pergi. Namun langkah Yana terhenti saat Bram menariknya lalu memeluknya. Yana melotot.
"Naka!"
"Kamu boleh marah sama aku. Kamu boleh benci sama aku. Tapi aku mohon. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.."
Yana tertawa sumbang. "Memperbaiki? Kamu lupa? Kamu lupa apa yang terjadi 10 tahun lalu? Kamu lupa apa yang kamu lakuin ke aku? Bagaimana kamu memperbaiki itu?"
"Maafin aku.."
Yana tersenyum kecut. "Kenapa aku malah nanya gitu? Kamu bahkan nggak perduli sama apa yang terjadi dulu. Kamu mungkin bahkan nggak ingat."
Hari itu adalah salah satu hari terburuk dalam hidup Yana. Harusnya ia tak datang ke pesta itu. Itu pengalaman terburuk untuk permulaan masa transisinya. Dia masih kelas 1 SMA untuk mengalami patah hati separah itu.
"Lo nyerah? Wah, kejutan banget seorang Naka nyerah."
Yana mendengarkan obrolan itu.
"Lo tau kan bro seberapa banyak lo bakalan rugi? Ayolah. Ini nggak seru lagi kalau lo nyerah gitu aja. Lo udah separuh jalan. Dikit lagi lo pasti bisa dapetin perawan Yana."
Yana menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Naka bertaruh untuk keperawanannya?
Hatinya sakit mengetahui hal itu. Tapi hatinya makin sakit saat ingat kalau ia dan Naka sudah satu tahun lebih menjalin hubungan. Apakah Naka tidak bisa melihat betapa besar cintanya? Apakah cinta yang Naka umbar selama ini hanya omong kosong? Sungguh? Satu tahun lebih ini omong kosong?
Yana menyeka air matanya. Harusnya ia memprediksi hal ini. Sebab apapun bisa terjadi ketika ia Menjalin hubungan dengan seorang Bramanaka.
Ya. Bramanaka memang anak baik-baik. Pintar, idola dan kebanggaan sekolah. Tapi tentu Bramanaka punya sisi kelamnya sendiri.
Jika Naka punya Fan dan Elio sebagai sahabat sayap putihnya, maka Naka punya Drian dan Arji sebagai sayap hitamnya. Jika sudah berhubungan dengan Drian dan Arji, maka sesuatu yang Naka lakukan tak akan jauh dari sebuah kenekatan dan hal-hal tak masuk akal.
Tapi Yana tak menyangka kalau dari semua kenekatan dan omong kosong yang Naka lakukan justru menyertakan namanya. Harusnya Naka mengecualikan namanya. Fakta itu yang membuat semua ini jadi lebih menyakitkan.
Arji mengendikkan bahu pasrah. "Okelah. Kalau lo maunya gitu."
Dan fakta kalau Naka menyerahpun tak membuat Yana bahagia. Hatinya sudah terlanjur sakit. Kecewa.
"Karena duit nggak menarik buat gue, gimana kalau sebagai ganti hukumannya lo ciuman sama Lian aja."
Gadis bernama Lian itu terlihat cuek. Ia kemudian menghampiri Naka dan mencium bibir Naka dengan santai.
Suara benda yang jatuh membentur lantai memecah konsentrasi semua orang di ruangan itu.
Naka yang paling terkejut. Meskipun tak terlalu jelas karena Naka selalu pandai dalam menyembunyikan ekspresi wajahnya.
Arji dan Drian saling pandang, mengendikkan bahu dengan santai. Lian mundur, melipat tangannya di d**a.
Yana memejamkan matanya. Ia berharap ia tenggelam saat itu juga.
Dan kini Yana merasa tenggelam lagi seperti kenangan masa lalu menariknya ke masa suram itu. Yana kemudian memutuskan pindah sekolah hanya dua hari setelah insiden itu. Dan setelahnya ia tak pernah bertemu Bramanaka lagi.
Bram tiba-tiba berlutut. Melemah. Hujan masih sedikit membasahinya.
Yana menatap Bram dalam bungkam.
Sepanjang ia mengenal Bram, ini adalah kali pertama Yana melihat Bramanaka selemah ini. Ada apa dengan laki-laki itu?
"Please, maafin aku.." dan ini adalah maaf terbanyak yang Bram ucapkan. Bahkan ketika dulu dia melakukan kesalahan fatal, tak sekalipun maaf terucap dari bibirnya.
Bram menunduk. "Maafin aku, Deyana.."
***
Dua jam lalu..
"Kamu ngomong apa sih?"
Wanita itu memejamkan matanya. "Bram, please.."
"Jangan aneh-aneh. Bukannya semua udah baik-baik aja? Pasti ada jalan lain. Kamu udah lihat sendiri kemarin.." Bram menghela napas kasar.
"Itu baru berapa kali percobaan. Kamu belum sungguh-sungguh. Bram, please.."
"Cukup Antita! Kenapa kamu lakuin ini ke aku?! Kenapa? Apa kamu nggak cinta lagi sama aku?" Bram naik pitam.
Antita memejamkan mata. Menguatkan hati. Sebab ia tau, tak ada masa depan untuk mereka. Mustahil. Sekarang ia harus merelakan.
"Deyana adalah pilihan terbaik buat kamu."
"Cukup!"
"Aku mohon. Please. Lakuin ini untuk aku." Antita memohon.
Tatapan Bram mengabur. Melihat Antita memohon padanya. Hati Bram pedih. Bagaimana mungkin calon istrinya memohon padanya untuk menikahi wanita lain? Bagaimana mungkin wanita yang ia cintai setengah mati justru menyuruhnya pergi dengan wanita lain?
Bram menghampiri Antita. Memeluknya. "Jangan lakuin ini sama aku. Aku mohon. Aku nggak bisa. Aku nggak akan bisa."
Antita mencoba menguatkan hatinya untuk tak membalas pelukan Bram.
"Kalau ini semua ulah Papa. Aku mohon. Jangan didengerin. Jangan dengerin apa yang Papa bilang. Papa biar aku yang urus. Kamu hanya perlu tinggal di sisi aku."
Antita menggeleng. Kian, papa Bram sudah seperti ayah sendiri baginya. Antita tak bisa mengecewakan pria itu lebih banyak lagi. Mungkin sekarang dia yang harus mengalah.
Antita menggenggam tangan Bram. "Aku nggak pernah minta apa-apa sama kamu Bram. Please kali ini kabulkan permintaan aku." Antita tau kalau Bram akan sangat sedih. Tapi mau bagaimana lagi. "Kamu nikah sama Deyana, ya.."
Dan Bram sudah mati saat Antita mencium bibirnya dan pergi. Meninggalkannya. Selamanya.
***