MALAM PENGANTIN
POV YUKA
Aku berdiri di depan cermin dengan wajah bersemu merah menahan malu memandangi tubuhku yang di balut dengan lingerie tipis. Ini adalah malam pengantinku bersama Mas Aron, suamiku.
Dengan langkah gemetar ketakutan aku keluar dari kamar mandi, menghampiri Mas Aron yang duduk di tepi ranjang sedang berselancar dengan hpnya. Langkahku terhenti begitu sampai di hadapan Mas Aron. Pria yang baru saja menikahi diriku itu berdiri, memindai tubuhku dari bawah hingga ke atas. Aku menggigit bibir bawahku menahan rasa malu, gugup dan takut.
"Jangan pernah bersikap seperti wanita mur@h@n di hadapanku." Hina Mas Aron padaku dengan tatapan jijik.
DEG
Jantungku berhenti berdetak dalam sekejap, tubuh nervousku mendadak kaku. Hatiku benar-benar hancur mendengar hinaan yang keluar dari bibir suamiku, apalagi di malam pertama kami. Aku, Yuka Khairunnisa berdiri di hadapan suamiku dengan pakaian terbuka berniat menjalankan ibadah sunnah, menjalankan kewajiban sebagai seorang istri untuk memberikan hak suami, tapi malah di tampar dengan penolakan suamiku saat aku memasrahkan diri. Bahkan, ia menganggap diriku sebagai wanita mur@h@n. Aku merasa harga diriku sedang di lucuti saat ini. Hati wanita mana yang tak hancur!
"Mas, aku istrimu bukan pelacur." sekuat tenaga aku berusaha menahan gemuruh di hatiku untuk mempertahankan secuil harga diri yang mungkin masih bisa aku pertahankan. Aku tak ingin membuat keributan di hari pertama kami menikah.
"Di mataku, kedudukanmu setara dengan pelac*r. Jadi jangan pernah bermimpi akan ada malam pertama di antara kita, jangankan menyentuhmu! Melihatmu saja aku jijik." Mas Aron tersenyum sarkas sembari memindai tubuhku dari atas hingga bawah dengan tatapan hina. Hatiku benar-benar hancur, dia sudah berhasil mencabik-cabik harga diriku. Menorehkan luka yang begitu dalam.
"Lalu kenapa kau melamar aku, jika aku hanya kau hinakan?" Tanyaku dengan dad* yang sudah sesak. Hati sangat sakit, bagai luka yang belum kering, malah ditaburi garam.
"Hey, jangan lupa! Aku tidak pernah melamar dirimu, ayahku yang membelimu." Mas Aron memicingkan mata, menatapku dengan tatapan sinis seolah aku ini adalah barang yang di perdagangkan.
"Kalau begitu ceraikan aku sekarang juga, mas!" Aku sudah tak tahan lagi mendengar hinaan suamiku, atmosfir di kamar ini berubah panas meski AC sudah menyala.
Aku meminta cerai malam ini juga karena Mas Aron sudah mengoyak habis harga diriku. Setiap kata yang di lontarkan suamiku terlalu menyakitkan untuk di dengar, hingga aku tak kuasa menahan air mataku. Air mata luruh begitu saja mewakili jeritan hatiku. Namun, Mas Aron malah menertawakan luka hati yang aku rasakan.
"Kembalikan dulu uang yang kau dapat dari ayahku, baru aku akan menceraikan kamu." Mas Aron pergi dengan angkuh setelah menggores luka yang begitu dalam di hatiku.
Mas Aron menoleh ke belakang begitu tangannya menyentuh gagang pintu, "Oya, kau boleh tidur di kamarku, tapi jangan pernah menyentuh ranjangku."
Aku terduduk lemas di atas lantai setelah Mas Aron menutup pintu dengan keras. Tangisku pecah kala itu juga, air mataku mengalir sangat deras, hatiku benar-benar sakit. Aku pun sebenarnya malu berpakaian terbuka seperti ini di hadapan suamiku, karena selama ini aku selalu menutup auratku dengan pakaian yang serba tertutup. Kerudung panjang selalu membungkus kepalaku.
Aku tak menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini. Baru menikah saja hidupku sudah seperti di neraka, apa lagi nanti!
Aku terpaksa menikah dengan Mas Aron, aku pikir ia sama baiknya dengan kedua orang tuanya. Namun, sifatnya jauh berbanding terbalik. Kini aku bingung bagaimana caranya mengembalikan uang yang sudah habis untuk biaya operasi adikku. 150 juta sangat besar bagiku.
***
Keesokan harinya, aku bangun kesiangan karena sepanjang malam hanya menangis meringkuk di atas sofa. Buru-buru aku pergi ke kamar mandi dan mengambil whudu' lalu sholat sebelum habis waktu untuk sholat subuh.
"Sholat dhuha, apa sholat subuh?" tanya Mas Aron begitu aku selesai sholat. Aku tahu dia sedang mengejekku.
"Sholat subuh, lah. Matahari juga belum terbit." aku berbalik melihat Mas Aron dengan kesal.
Pria bertubuh tinggi tegap itu memakai baju koko berwarna putih, sarung dengan warna hijau botol membungkus kakinya, serta peci berwarna hitam melingkar di atas kepalanya. Wajahnya sangat menawan dan berkharisma. Namun sayang, keelokan parasnya berbanding terbalik dengan akhlaknya. Jika dia sudah bangun lebih dulu untuk sholat subuh, kenapa tidak membangunkan aku, istrinya.
Mas Aron naik ke atas ranjang dan duduk bersila, lalu membuka Al-Qur'an. Dalam hitungan detik, mas Aron mulai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suaranya terdengar sangat merdu dan fasih. Sebenarnya lelaki macam apa yang menikahi diriku? Jika dia taat beribadah, kenapa mulutnya pedas sekali! Kenapa dia memperlakukan istrinya dengan sangat buruk! Bukan 'kah pintu neraka terbuka bagi suami yang mendzolimi istrinya.
Aku duduk di sofa menunggu Mas Aron yang sedang mengaji. Setelah 30 menit berlalu, Mas Aron baru selesai membaca Al-Qur'an. Aku harus meminta izin pada Mas Aron untuk bekerja supaya bisa membayar hutang-hutangku, supaya aku bisa terbebas dari pernikahan yang menyakitkan ini.
"Mas, aku mau bekerja." Aku masih belum beranjak dari sofa.
"Tidak perlu bekerja menjajakan diri!... Jangan pernah keluar dari rumahku, aku tak ingin kau merusak reputasi keluargaku dan kabur membawa lari uang ayahku." Tolak Mas Aron tanpa pikir panjang. Ia melirikku dengan bibir berkedut ke bawah, pertanda ia sedang mengejekku.
"Apa maksudmu, mas?" Tanyaku dengan nada ketus karena aku tak ingin lagi di hinakan.
"Jangan pura-pura bodoh, kau sudah tahu maksudku!" Ucap Mas Aron sambil membuka baju koko yang ia kenakan, aku pun menunduk saat ia bertelanjang d**a.
"Aku masih nggak paham, mas!" Tanyaku sembari meremas long dress yang aku kenakan.
"Bekerja 'lah padaku. Jadi pembantuku, setelah kita pindah dari rumah ini. 6 bulan bekerja padaku, ku anggap hutangmu lunas. Di luar sana kau tidak akan menemukan gaji yang bayarannya lebih tinggi dari ini, tapi kerjanya gampang."