Hari ini Agung nampak begitu sibuk dari pada hari-hari sebelumnya. Sedari di buka hingga menjelang waktu makan siang, rumah makan kebanjiran begitu banyak pengunjung. Tidak henti-hentinya pengunjung silih berganti masuk. Bahkan ada yang sampai mengantre, menunggu kursi kosong agar bisa segera di tempati.
Salah satu pengunjung yang meramaikan rumah makan siang ini adalah rombongan peserta MTQ yang hendak bertolak ke kota Samarinda. Banyaknya peserta dan makanan yang mereka pesan membuat para pekerja sedikit kelimpungan. Tapi walau bagaimana pun, semua tampak senang. Itu artinya, rezeki yang di dapatkan rumah makan hari ini akan banyak dan melimpah.
Agung sendiri setelah selesai memasak sayur asam khas kutai langsung berganti dengan chef lainnya agar bisa beristirahat sejenak. Memilih taman di samping kanan rumah makan untuk menghilangkan penat, ia membawa secangkir kopi hitam agar tetap bugar dan tidak sedikit pun mengantuk.
Saat tengah asyik menyeruput minuman di tangannya, dari tempat duduk, Agung dapat melihat seorang pria yang berperawakan seperti santri tengah dipaksa salah satu temannya untuk masuk dan ikut menyantap makan siang. Ia terlihat sekali enggan. Bahkan terang-terangan menolak untuk bergabung dengan teman-teman lainnya yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah makan.
Karena di rundung rasa penasaran yang tinggi, Agung memberanikan diri untuk menghampiri pria yang tengah duduk di pelataran rumah makan. Dalam hati, ia sempat berpikir mungkin saja si pria ini tidak cocok dengan masakan yang di hidangkan. Itu sebabnya, ia sampai menolak dan enggan sekali pun masuk untuk ikut makan.
"Mas, kok nggak ikut masuk ke dalam sama teman-teman lainnya," tanya Agung seraya mengambil posisi duduk di sampingnya. "Masnya nggak lapar?"
Pria itu menoleh. Menyunggingkan senyum dengan ramah kemudian menggeleng.
"Nggak usah, Mas. Saya di sini aja nungguin teman-teman lainnya sampai selesai."
Kening Agung nampak berkerut dalam. Dalam hati semakin bertanya-tanya apa sebenarnya yang membuat pria itu sampai bersikeras untuk tetap bertahan di luar rumah makan.
"Memangnya kenapa, Mas? Masnya lagi puasa? Atau emang nggak selera sama makanan di sini?"
Lagi, pria itu tersenyum melihat ekspresi Agung yang kentara sekali ingin tahu.
"Saya nggak lagi puasa, kok. Bukan karena nggak selera juga."
"Lah?" Kali ini Agung menarik dalam wajahnya. "Terus kenapa?"
"Saya emang nggak kepengen aja Mas makan di sini. Kalau boleh saya jujur, maaf banget. Tapi rumah makannya jorok," ungkap pria itu hati-hati.
"Jorok?"
Agung terkesiap dengan kata yang satu ini. Membawa pandangannya, ia langsung menoleh ke arah dalam rumah makan. Diperhatikannya baik-baik. Bagian mana yang sekiranya jorok atau tidak sedap di pandang mata. Lama Agung memperhatikan. Dari para pekerja yang sigap langsung membersihkan meja ketika pelanggan meninggalkan rumah makan. Belum lagi lantai yang selalu di pel bersih setiap ada makanan yang tanpa sengaja jatuh atau mengotori lantai. Bukan hanya itu, lalat saja tidak terlihat hinggap di atas meja pelanggan. Para Chef juga sangat menjaga kualitas masakan yang di hidangkan. Lalu, jorok seperti apa yang pria di sebelahnya ini maksud?
"Jorok dibagian mananya, Mas?" ulang Agung sekali lagi. "Saya perhatikan rumah makannya bersih-bersih aja. Dapurnya juga nggak kotor. Mas boleh cek sendiri kalau emang pengen lihat," tawar Agung bersungguh-sungguh.
Pria mengenakan baju koko berwarna putih itu kembali tersenyum. Membawa tangannya, ia menunjuk ke arah tumpukan piring bersih yang berada di meja prasmanan.
"Mas coba liat aja. Itu piring yang di pojok kanan meja, pada dijilatin sama Jin," ucapnya dengan mimik serius.
Agung langsung terlonjak kaget. Hampir saja kopi yang baru saja ia sruput kembali tersembur sanking tidak percayanya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Jangan bercanda, Mas," decaknya kemudian. "Mana ada Jin siang-siang begini."
Namun pria itu bergeming. Tidak membalas lagi ucapan Agung. Ia hanya menarik sudut bibirnya sedikit. Tapi dari situ, Agung tahu kalau pria di sebelahnya tidak main-main dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Mas beneran serius liat Jin di rumah makan ini?" Agung sekali lagi memastikan. Suaranya sengaja ia pelankan agar orang-orang tidak ikut mendengarkan."
"Saya nggak mengada-ngada, Mas. Demi Allah, saya lihat ada dua Jin berperawakan hitam, tinggi besar, sedang berdiri tepat di sebelah meja prasmanan. Mereka dari tadi saya perhatikan sibuk menjilati piring yang akan digunakan pelanggan untuk makan. Bukan cuma itu. Ada salah satu yang berdiri nggak jauh dari tempat penghat sayur. Mulutnya komat kamit. Itu air liurnya pada jatuh ke sayur yang lagi terhidang."
Agung melongo. Di satu sisi ingin percaya. Tapi di sisi lain ia sedikit berpikir di zaman sekarang, bisa-bisanya ada makhluk seperti itu.
"Jadi, Mas liat ada banyak Jin di rumah makan ini?"
Sekali lagi pria itu mengangguk.
"Kalau banyak jin begini, tandanya si punya rumah makan pakai penglaris. Dan setau saya, biasanya yang pake penglaris itu semua makanannya enak kalau di makan langsung di tempat. Tapi, kalau di bawa pulang pasti makanannya nggak enak atau bahkan bisa cepat basi." Pria itu kembali menjelaskan.
Hati Agung mencelos. Sekelebat ada perasaan kesal juga. Padahal masakan yang ia masak pada dasarnya memang asli enak bukan karena Jin yang berada di rumah makan. Kalau begini terus, si Jin ini bisa menganggu eksistensinya sebagai Chef handal.
"Terus Mas lihat apalagi?" Agung semakin dibuat penasaran. Siapa tahu saja selain di meja prasmanan, ada personil lain yang sedang bergerilya menarik para pengunjung untuk singgaj ke rumah makan.
"Mau percaya atau nggak," kata si Santri ini. "Tapi di meja kasir, ada Jin yang wujudnya hitam rambutnya gondrong terus matanya merah. Dari tadi, dia sibuk memperhatikan orang-orang yang masuk ke rumah makan. Di sebelah kiri meja kasir, juga ada Jin lain yang sibuk liatin uang di laci. Kayaknya mereka penjaga rumah makan ini."
Mendengar penjelasan pria tadi, Agung langsung merinding. Bayangkan saja siang-siang begini makhluk tak kasat mata itu bukannya tidur mempersiapkan diri untuk berkeliaran di malam hari, mereka malah terlihat sibuk lalu lalang di dalam warung tempatnya bekerja.
Namun, dari penjelasan pria tadi seperti menjawab rasa penasaran Agung selama ini. Itu berarti kecurigaannya mengenai peliharaan Bapak dan Bu Haji benar adanya. Mungkin selama ini yang membuat rumah makan ramai pengunjung ya peliharaannya ini. Yang selalu kerja rodi siang malam membuat Pak Haji dan Bu Haki semakin kaya raya. Bahkan bisa bolak balik pergi ke tanah suci.
"Mas sudah lama kerja di sini?" tanya pria itu tiba-tiba. Membuyarkan pikiran Agung yang sempat berkelana entah kemana-mana.
"Nggak mas." Agung menggeleng. "Saya di sini belum genap sebulan. Memangnya kenapa?"
Pria itu mendekatkan posisi duduknya kemudian memiringkan wajahnya. Berusaha sekali mendekati Agung agar bisa berbisik pelan.
"Hati-hati aja ya, Mas. Tempat usaha yang pake penglaris gini, biasanya kalau bukan anak si pemilik ya pekerjanya yang di jadikan tumbal sama si empunya peliharaan. Kalau mau semakin kaya, mereka harus semakin banyak memberi tumbal.
Agung langsung menelan ludahnya kasar. Ia sebenarnya juga takut kalau-kalau menjadi bagian dari target atau pantauan untuk dijadikan tumbal berikurnya. Berasa sia-sia hidupnya selama ini kalau sampai meninggal dengan cara tragis seperti itu.
"Jadi saya harus bagaimana dong, Mas?" tanya Agung serius. Siapa tau pria tersebut punya solusi atau pengalaman menghadapi Jin seperti ini.
"Intinya satu. Selalu meminta perlindungan dari Allah. Cuma Allah yang bisa bantu kita keluar dari masalah sebesar apa pun itu. Rajin sholat dan jangan lupa utuk terus mengaji. Simpe, to?"
Pria itu menepuk kedua pahanya. Kemudian bangkit lalu meninggalkan Agung menuju bis rombongan.
Setelah kejadian bapak yang bisa liat jin di rumah makan kemarin, Agung semakin kepikiran makhluk apa sebenarnya yang dipelihara oleh pemilik rumah makan tenpatnya bekerja ini. Apakah seorang Gw Genderuwo, Tuy atau jenis Jin lainnya. Dalam hati sebenarnya Agung juga tidak habis pikir, bagaimana mungkin Bapak dan Bu Haji yang bisa dikatakan dekat dengan agama malah bersekutu dengan jin. Apa ini jalan pintas mereka untuk mendapat kekayaan?
Asik memikirkan persoalan Jon kemarin, tiba-tiba Agung dikejutkan oleh suara ponsel yang berdering. Melirik layarnya, terlihat nama sony yang muncul, meminta untuk segera di angkat.
Sony sendiri adalah sepupu Agung. Hari itu, ia menelpon karena ingin mengabarkan berita kunjungannya ke balikpapan dalam waktu dua hari lagi. Karena posisi Agung juga dibalikpapan, maka mereka berdua sepakat untuk melakukan pertemuan demi melepas rindu.
Setelah selesai berbicara dengan Sony, Agung memutuskan untuk bersiap-siap tidur. Malam ini hawa dingin terasa berbeda sekali dari pada malam-malam sebelumya. Begitu menusuk hingga ke tulang paling dalam.
Tepat pada pukul satu malam Agung tiba-tiba saja terbangun. Tubuhnya tampak bercucuran keringat, sepertinya pertanda hari akan turun hujan deras. Itu sebabnya hawa di sekitar sangat panas menyengat dari pada biasanya.
Agung sendiri berinisiatif untuk membuka jendela sehingga ada angin masuk ke dalam dan hawa panas di kamar bisa keluar.
Namun, saat Agung memustukan untuk mdmbuks jendela, ia melihat beberapa orang melakukan gerak gerik tidak biasa di belakang rumah makan. Mengendap-endap layaknya maling yang tidak ingin ketahuan.
Pelan tapi pasti, Agung mengintip dari kejauhan. Hingga tak lama setelahnya ia terkesiap. Netra hitamnya menangkap pemandangan yang membuatnya hampir shock jantung.
.
.
(Bersambung)