Bab 10. Sebuah Tawaran

2097 Kata
Kinar tidak bisa memakan makanannya dengan baik setelah Zidan meninggalkan meja makan itu dan membiarkan dirinya sendirian dengan begitu banyak lauk yang tersenyum manis padanya. Pikirannya pun sudah berkelana dengan liarnya, entah ke mana. Dia yang awalnya begitu bersemangat menghilangkan kelaparannya, kini malah lemah kembali. Ditatapnya rupa ruangan di sekitarnya yang mewah dan berkelas seperti zaman victoria. Cukup lama hingga helaan napas itu keluar dari dirinya. “Tidak ada gunanya aku memprotes. Aku sudah menandatangani kontrak. Hutang Ibu dan Bapak harus segera aku lunasi. Tidak ada gunanya aku jadi anak kalau tidak membantu melunasi beban orang tuanya. Mungkin dengan begitu Ibu dan Bapak bisa tenang di alam sana. Untuk sekarang, aku hanya bisa melakukan semua perintah Zidan. Awal-awal mungkin akan terasa sulit, tapi aku yakin pasti terbiasa. Setelahnya aku bisa bebas dan semoga Zidan tidak bertemu denganku lagi setelahnya.” Dia menghabiskan makanan di piringnya, tidak menambahnya dengan lauk yang lain. Setelah selesai, ada beberapa orang yang masuk ke ruangan itu. Sedikit membuatnya kaget, namun setelah melihat pakaian beberapa wanita itu dia menjadi sedikit tenang. Dia punya pemikiran sendiri. Setidaknya bukan Zidan yang kembali menekannya dengan aura dominan pria itu. Sedikit membuatnya lega. “Sudah berapa lama kalian kerja di sini?” Kinar hanya ingin sekadar berbasa-basi dengan beberapa wanita itu. Hanya saja, kelihatannya mereka sungkan dengan Kinar. Tidak ada satupun yang menjawabnya, hanya menunduk dengan tangan yang terus melakukan pekerjaannya untuk membereskan semua yang ada di atas meja makan. Senyuman tipis muncul di bibir Kinar. “Tidak perlu sungkan pada saya. Mulai hari ini saya akan sama dengan kalian. Saya juga seorang pembantu di rumah ini, selama satu tahun ke depan.” Kinar mengulurkan tangannya di depan salah satu dari beberapa wanita tersebut. “Kenalin, Saya Kinar Hirasya. Bisa kalian panggil Kinar.” senyum Kinar semakin mengembang kala dia memperkenalkan dirinya. Sayangnya lagi, mereka hanya bisa menunduk hormat pada Kinar. Hal itu makin menambah tanda tanya di kepala Kinar. Dia yang ingin dekat dengan siapapun, ingin menciptakan lingkungan kerja yang baik, nyaman, damai dan harmonis. Namun, malah berakhir sungkan seperti ini. Tangannya pun menggantung percuma, tidak terbalaskan. “Kalau saya boleh tahu, kenapa kalian tidak mau berkenalan dengan saya?” Kinar mengikuti mereka dari belakang. Tentu saja dengan membawa beberapa piring di tangan. Dia sudah mulai melakukan pekerjaannya hari ini. “Padahal saya bukan orang yang jahat. Saya bukan orang yang punya kekuatan seperti Tuan Zidan. Saya hanyalah gadis biasa yang mau membaur dengan rekan kerja di tempat kerja yang baru. Saya sama seperti kalian.” “Maaf. Bukannya kami tidak mau berkenalan dengan Anda, tapi jauh hari sebelumnya kami sudah diperingati Tuan Zidan bahwa kami tidak boleh membaur dengan Anda. Anda memang mengaku kalau sama dengan kami, tapi kenyataannya jauh berbeda, Nona. Posisi Anda di rumah ini setara dengan Tuan Zidan. Kalau sampai kami diketahui dekat dengan Anda, kami bisa dihukum. Tentu tidak ada yang suka dengan itu. Tidak ada yang mau tersakiti. Jadi, sebelum semuanya terjadi, kami memohon pada Anda untuk bisa bekerjasama dengan kami juga. Tolong jangan bicara dengan kami. Semoga Anda bisa mengerti.” Ucapan itu cukup menohok Kinar. Mematung di tempatnya. Jelas terlihat air mukanya begitu kecewa. Perlahan menarik mundur senyum dan tangannya. Diperhatikannya satu per satu dari wanita yang tadi masuk ke ruangan itu. Memang benar, tidak ada yang berani menatap matanya, semuanya menunduk bak ketakutan seakan Kinar akan menerkamnya sekejap lagi. “Apakah keberadaan saya di tempat ini mengancam kalian? Apakah itu membuat kalian takut?” tanya Kinar. Tidak ada yang menjawab dengan kata-kata, namun satu anggukan saja sudah cukup menjawab semuanya. Anggukan yang menampar semangat Kinar menjadi semakin tidak berarti. ‘Padahal aku tidak berniat jahat pada mereka….’ gumam Kinar dalam hatinya. “Baiklah. Saya mengerti dengan maksud kalian. Berarti dalang dari semua ini adalah Tuan Zidan.” Kinar mengartikan demikian atas semua yang didengarnya dari salah satu wanita tadi. Suasana semakin canggung dibuatnya. Merasa serba salah. “Kalau begitu, adakah di antara kalian yang diminta menunjukkan kamar saya? Kalau tidak salah tadi Tuan Zidan mengatakan hal seperti itu.” Salah satu dari mereka ada yang maju. “Mari saya tunjukkan kamar Anda, Nona Kinar.” “Kinar saja, tidak perlu Nona.” Masih berusaha menipiskan jarak di antara mereka dengan panggilan Nona yang memuakkan baginya. Dengan nama panggilan yang demikian saja sudah mengartikan betapa tinggi posisinya dibandingkan mereka. Sedangkan ia tidak menyukai itu. Ia mengikuti ke mana wanita itu beranjak. Satu per satu lorong dilewatinya. Setiap melangkahi lorong yang cukup panjang, satu per satu lampu menyala seiring dengan langkahnya. Dan akan mati ketika sudah ditinggal jauh olehnya. ‘Kenapa rumah ini banyak lorongnya? Kiri, kanan, banyak sekali. Aku jadi susah menghafalnya. Apalagi setiap pagi aku harus mengurus keperluan pria itu. Kalau begini terus, setidaknya aku bisa taruh tanda di lorong-lorong yang mau aku lewati. Tersesat itu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Itu masalah menghabiskan waktu yang tidak bisa diputar ulang. Aish… ada-ada saja.’ batin Kinar. Sampai akhirnya wanita tersebut berhenti di depan sebuah pintu ruangan. “Tuan Zidan berpesan pada saya bahwa ini adalah ruangan Anda di rumah ini. Semoga Anda suka. Dan apapun keperluan Anda bisa panggil kami.” Dibukalah pintu tersebut dan Kinar kembali dibuat menganga. Pasalnya, kamar yang akan menjadi tempatnya bersembunyi dari aura dominan Zidan sangatlah luas. Itu bahkan lebih mewah dari kamar hotel bintang lima sekalipun. Tidak henti-hentinya Kinar mengagumi ruangan tersebut. “Kamu tidak salah, kan? Ruangan ini bahkan tidak pantas di tempati pembantu sepertiku.” Kinar mencoba merasakan empuknya ranjang yang ada di kamarnya itu, dan dikagetkan dengan apa yang dirasakannya. “Luar biasa.” hanya kata itu yang keluar darinya sembari terus memperhatikan kamarnya yang dominan dengan warna merah darah, sama seperti zaman victoria. “Semoga Anda nyaman. Saya undur diri. Jika ada sesuatu yang perlu saya bantu, Nona bisa tekan tombol di dekat pintu. Salah satu di antara kami akan datang membantu Anda. Selamat beristirahat.” wanita itu menunduk hormat kemudian berbalik badan hendak meninggalkan ruangan tersebut. “Tunggu.” Kinar menghentikan langkah wanita itu. “Bisakah kamu menunjukkan jalan ke ruangannya Tuan Zidan? Sepertinya saya akan lupa kalau tidak melakukannya sekarang. Terlebih kalian juga pasti tahu kalau mulai besok saya akan mengurus segala keperluan Tuan Zidan.” Wanita itu mengangguk. “Mari saya tunjukkan.” “Oh iya, saya butuh sesuatu yang bisa digunakan untuk menunjukkan jalan. Kalau ada kertas yang bisa ditempel atau apapun, itu akan sangat membantu,” imbuh Kinar. Wanita itu kembali mengangguk. “Akan saya ambilkan. Mohon tunggu saya sebentar.” “Iya, terima kasih.” *** Kenyataannya, segala hal yang dilakukan ataupun yang berurusan dengan Kinar sudah dipantau habis-habisan oleh anak buah Zidan yang lainnya. Tidak ada kertas penanda, tidak ada papan penunjuk jalan ataupun yang lainnya. Wanita yang dimintai tolong oleh Kinar tidak terlihat batang hidungnya semenjak keluar dari kamar Kinar. Begitu lama Kinar menunggu sampai akhirnya salah satu pria dengan baju serba hitam masuk ke dalam kamarnya. Pria itu lah yang akan menunjukkan jalan kepada Kinar untuk sampai di ruangan Zidan. Kinar sedikit kesal. “Silakan ikuti saya, Nona. Kedepannya Anda bisa menghubungi saya jika memerlukan sesuatu.” Kinar tidak mau menggerakkan kakinya satu langkah pun. Dia masih berdiam diri di depan pintu ruangan kamarnya, sedangkan pria misterius tanpa memperkenalkan namanya itu sudah menjauh lebih dari sepuluh langkah. Kepalan tangan yang meremas kertas penunjuk itu menandakan betapa tidak sukanya Kinar dengan perlakuan yang didapatkannya. Ditambah tatapan Kinar yang sedikit menusuk pada pria itu. Berakhir dengan dengusan. “Astaga… rasanya aku ingin berteriak. Mereka memberikanku peta buta padaku.” Kinar melempar remasan kertas itu ke dalam ruangan kamarnya, kemudian segera menutup pintu tersebut. Jika dia tidak berlari menyusul sekarang juga, sama artinya dengan memancing kemarahan Zidan dan membuat dirinya semakin tertahan di rumah itu. Langkah demi langkah Kinar lakukan tanpa keluar kata protes, walau dalam hati sudah terjadi perang dunia ketiga antar batinnya. Sampai akhirnya dia sampai di depan pintu ruangan yang masih diingatnya. Tidak lama dia keluar dari ruangan itu. Dia bahkan tidur di ruangan itu. “Apakah Anda sudah bisa menghapal jalannya? Saya rasa penjelasan saya sudah sangat lengkap,” ujar pria itu. Kinar hanya menarik senyumnya kecut. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. “Saya bahkan tidak bisa menghitung berapa banyak belokan ke kanan ataupun ke kiri yang Anda tunjukkan, Tuan Tanpa Nama. Anda memberi saya peta buta yang bahkan sekali lihat saja sudah membuat saya ingin mual.” “Tapi tidak apa. Saya akan coba beradaptasi dengan semua kesulitan yang kalian hadapkan dengan saya,” sambung Kinar. Pria itu menunduk sekali. “Maafkan saya. Kedepannya saya akan menjelaskan lebih detil dan jelas lagi pada Anda, Nona. Untuk sekarang, Anda bisa masuk ke dalam. Tuan Zidan sudah menunggu Anda sejak tadi.” “Sejak kapan?” tanya Kinar. “Semenjak saya mendapatkan informasi bahwa Anda ingin bertemu dengan Tuan Zidan. Dan bertepatan dengan itu Tuan Zidan menyuruh saya untuk memanggil Anda ke ruangannya,” jawab pria itu. “Oh, oke.” Pria itu membukakan pintu tersebut untuk Kinar. “Silakan masuk, Nona. Nikmati waktu kebersamaan Anda. Bersama Tuan Zidan, saya pikir saya tidak perlu menawarkan bantuan kepada Anda.” Pria itu sudah bersiap akan pergi, segera ditahan Kinar. “Bisakah Anda menunggu di depan ruangan ini? Saya tidak yakin Tuan Zidan bisa mengendalikan dirinya di dekat saya. Sekadar menunggu. Tapi jika itu memberatkan Anda, Anda bisa pergi tanpa meminta maaf. Anda memegang pilihannya.” Kinar masuk ke dalam ruangan itu, namun sedetik kemudian dia kembali. “Terima kasih sudah membukakan pintu untuk saya. Kedepannya, saya harap kita bisa berteman baik. Jangan lupa kalau saya adalah pembantu di rumah ini. Dan jangan lagi panggil saya dengan Nona, bisa panggil saya dengan Kinar,” ujar Kinar mengulas senyumnya. Kemudian ia menutup pintu tersebut. Kinar tidak langsung menghadap dengan Zidan. Cukup lama baginya mempersiapkan dirinya. Memegang erat handle pintu, menghela napas berulang kali dengan mata yang terpejam erat seakan dia akan bertemu dengan hantu sebentar lagi. Jantungnya sudah berdetak kencang, padahal dia lah yang menginginkan pertemuan ini. Jika memang belum siap, seharusnya dia bisa tetap diam di dalam kamarnya. Itu lebih baik dibandingkan masuk ke kandang buaya. “Kenapa diam terus di sana, Kinar? Kemarilah. Wajahku bukan di depan pintu itu.” tidak lama terdengar kekehan pria itu. Kekehan tipis, namun sukses membuat bulu kuduk Kinar seketika naik. Merinding. “Ayo Kinar. Apa yang membuat kamu takut? Kamu bisa melawan pria ini. Dia juga manusia biasa seperti kamu. Tidak ada gunanya kamu takut,” gumamnya pada dirinya sendiri dengan suara yang sangat rendah. Hanya saja, tangannya yang gemetar membuat semuanya menjadi sebuah lelucon. Dia berucap kuat, namun badannya sendiri berkhianat. “Come on, Kinar. Mau sampai berapa jam kamu berdiri di sana. Kalau memang kamu tidak ada perlu denganku, kamu bisa keluar.” “Iya. sepertinya saya tidak jadi bertemu dengan Anda, Tuan Zidan. Saya bahkan lupa dengan apa yang mau saya sampaikan. Saya ingat-ingat lagi, mungkin besok akan saya sampaikan. Semoga hari Anda baik-baik saja hari ini. Sampai bertemu besok.” Buru-buru Kinar hendak membuka handle pintu itu kembali. Tidak sampai pintu terbuka, tawa Zidan memenuhi ruangan tersebut, seketika membuat Kinar batal membuka pintu. “Kenapa kamu anggap semuanya menjadi begitu mudah, Kinar? Keluar masuk ruanganku dengan sangat mudah, bahkan akses yang aku kasih ke kamu lebih banyak dibanding orang kepercayaanku. Tapi kenapa kamu menolak permintaanku?” tanya Zidan. Spontan Kinar berbalik badan. “Maksud Anda apa, Tuan Zidan?” namun sedetik kemudian dia tertegun dengan apa yang dilihatnya. Pemandangan yang sangat menggiurkan dan menggairahkan. Zidan berjalan mendekatinya hanya dengan handuk di pinggangnya, sedangkan tubuh bagian atas sudah shirtless. Sepertinya pria itu baru saja selesai mandi, ujung rambutnya yang basah bisa menjadi penanda. Kinar sampai susah tuk sekedar menelan ludahnya. ‘Mampus….’ Sampai Zidan benar-benar berhenti di depannya, otomatis langkahnya mundur hingga punggungnya menabrak daun pintu. Kinar tidak bisa kabur ke sisi lain sebab kedua lengan Zidan sudah keburu menghalangi jalannya. Baik dari segala sisi, Kinar sudah tidak bisa kabur dari Zidan. “Maaf, Tuan Zidan. Bisakah Anda mundur sedikit?” begitu ragu Kinar mengatakan itu pada Zidan yang sedari tadi menyunggingkan senyumnya. Bukannya mundur, Zidan malah semakin mendekat. Aroma badan Zidan yang begitu menyegarkan merasuk ke indra penciuman Kinar. Kendati demikian, Kinar semakin tidak nyaman. “Jangan ucapkan kata perpisahan apapun padaku, Kinar. Aku sangat tidak menyukainya,” bisik Zidan. “Maksud ada sebenarnya apa, Tuan?” Zidan menarik mundur dirinya, namun bukan berarti membebaskan Kinar. Kini wajahnya berhadapan sepenuhnya dengan wajah Kinar yang sudah sangat gugup dan sedikit ketakutan. Mengulur tangannya, membelai sisi wajah Kinar. Begitu lembut hingga berhasil membuat Kinar memejamkan matanya. “Bisakah kamu tidur di kamarku malam ini, Kinar?” Spontan mata Kinar terbuka kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN