Ijab Qobul

1011 Kata
Hening.   Hanya suara dentang jam yang terdengar. “Nona!” Suara Suhendra yang tegas dan berwibawa membuat telinga Nona jengang.  Seluruh organ tubuh Nona benar-benar berkhianat.  Kenapa respon tubuhnya terhadap segala sesuatu tentang Suhendra seperti begini? “Ya?” Nona menatap Suhendra. “Pernikahan kita terjadi atas permintaan orang tua.  Kita sama-sama belum saling mengenal.  Jadi, setelah kamu tahu kalau calon suamimu seperti aku ini, apa kamu mau menikah denganku?” Pertanyaan sejenis tebak-tebakan atau apa itu?  Nona menelan saliva. “Ya, aku mau menikah denganmu,” jawab Nona dengan entengnya. “Apa kamu tidak menyesal setelah melihat wujud ku?” Heh?  Wujud?  Bahasanya bisa agak tepat dikit nggak?  Nona mengulum senyum.  “Kenapa harus menyesal?  Ketika aku membuat keputusan untuk berani menikah, aku udah siap untuk menikah dengan siapa pun.  Inilah kesanggupanku.” “Termasuk menikah dengan pria miskin yang tidak punya apa-apa sepertiku?” “Kebahagiaan itu nggak diukur dari materi.  Hidup sederhana pun bisa bahagia, kok.  Alasan kebahagiaan cuma satu, cinta.”   Buset, entah dari mana kalimat semanis itu bisa keluar dari mulut Nona, sepertinya bersumber dari lubuk hati yang paling dalam. “Mas Suhendra, semoga kita akan menjadi keluarga yang sakinah, mawardah dan warohmah kelak.  Aku ikhlas menjalani pernikahan yang belum didasari oleh cinta ini dengan tulus.  Jika kita menjalani rumah tangga karena Allah, aku yakin akan berkah dan bahagia.  Sebab kita menjalani hidup bukan karena ingin balasan dari pasangan, tapi dari yang Maha kuasa.” Cegluk.  Nona menelan saliva.  Dia mendadak menjadi manusia paling bijaksana setelah mengucapkan kalimat itu.  kok, bisa?  Kata-kata itu tersusun dengan sendirinya dan terucap tanpa diminta. Suhendra mengangguk. “Kamu sendiri gimana?  Apa kamu yakin mau menikah denganku?” Tanya Nona sembari meneliti ekspresi lawan bicaranya. Muka Suhendra tampak berubah dan terlihat bimbang. Nih cowok gimana ya?  kok, mendadak mukanya berubah galau begitu?  Kelihatan seperti merasa kurang suka.  Bukankah seharusnya pria sekelas Suhendra merasa beruntung mendapatkan wanita secantik Nona?  Wanita yang diakui paling cantik sekecamatan?  Tapi ini, kenapa malah galau?  Seakan-akan kurang menerima Nona. “Aku akan jalani.  Semua ini terjadi atas kehendak orang tuaku.” “Memangnya kenapa sampai harus orang tuamu yang mencarikan jodoh untukmu?” Tanya Nona.  Apa karena nggak laku-laku?  Ups. “Karena mereka ingin melihatku memiliki pasangan hidup dan aku belum juga memiliki minat untuk menikah di usiaku yang sudah dua puluh Sembilan tahun ini, sehari lagi sudah memasuki angka tiga puluh tahun.” Sehari lagi?  Ngitung umur jelimet banget kayak ngitung duit?  Nona diam saja, tidak tahu harus menanggapi apa.  Meski jujur saja ia agak kecewa dengan jawaban Suhendra karena tidak sesuai dengan ekspektasi.  Apakah pria itu tidak berniat untuk menjawab, ‘Aku justru merasa beruntung mendapatkan gadis sepertimu.  Ini kehormatan bagiku.’ Nona, kau terlalu berlebihan.  Yasalam. “Apa mahar yang kau inginkan?” Tanya Suhendra. “Cincin aja.” “Berapa gram?” “Aku tidak menentukan gramnya.  Semampu mu aja,” polos Nona tidak ingin memberatkan calon suaminya. “Ya sudah, aku pergi.  Makasih atas waktunya.  Sampaikan salam dan pamit ku kepada ayahmu,” ucap Suhendra dan berlalu pergi setelah mendapat anggukan kepala Nona. *** Seisi ruangan sudah kasak-kusuk, saling berbisik, membicarakan calon mempelai pria yang tak kunjung datang meski sudah hampir satu jam berlalu.  Rumah sederhana milik Arman menampung beberapa tetangga yang hadir sebagai saksi pernikahan. Arman beberapa kali melihat arloji di tangan dengan gelisah.  Merasa sungkan pada para tamunya.  Penghulu juga sudah bertanya beberapa kali, menanyakan apakah acara bisa dimulai atau belum. Arman bolak-balik ke belakang menelepon calon besannya, dan ia hanya mendapat jawaban bahwa rombongan mempelai pria masih di perjalanan. Nona sudah duduk manis di hadapan penghulu, mengenakan kebaya putih, sanggul dan make up yang sangat mempesona.  Andai saja ia tahu kalau Suhendra datang terlambat, dia tentu tidak mau duduk di sana.  Lebih baik menunggu di kamar saja. Suhendra, dimana kau?  Nona meremas kebayanya kesal.  Bukan hanya dia saja yang merasa malu jika pernikahan sampai batal, tapi juga ayahnya.  Keringat di tubuhnya sudah meleleh, membasahi kulit tubuhnya.  Bahan kebaya yang tebal membuat Nona merasa gerah.  Beberapa kali dia mengelap keringat di wajah dengan tisu.  “Maaf, Pak!  Saya harus permisi.  Sebab di tempat lain ada yang menunggu saya juga.  Saya harus menikahkan mempelai lain.  Saya sudah menunggu cukup lama di sini.”  Penghulu bangkit berdiri dan menyampaikan kalimat itu dengan sopan dan penuh rasa enggan pada Arman. “Saya mohon maaf.  Tapi tolong tunggu sebentar saja.  Saya rasa mereka akan segara datang,” pinta Arman. “Tapi bukan keluarga Bapak saja yang harus saya hadiri, ada keluarga lain yang juga membutuhkan saya. Sekali lagi saya mohon maaf.” Kembali kasak-kusuk dan bisikan emak-emak rempong memenuhi ruangan.  Telinga Nona benar-benar panas mendengar bisikan mereka. “Ini jangan-jangan calon lakinya kabur sama perempuan lain.” “Iya.  Kayak di sinetron-sinetron itu tuh.” “Atau jangan-jangan kecelakaan.” “Udah ditelepon belum atuh?” “Kayak nggak ada persiapan nikah aja.  Hari gini masih pakai acara tunggu-tungguan, acara pun berantakan.  Ini niat nikah apa kagak, sih?” “Calon lakinya kabur kali, nemu janda di jalan.” Nona ingin menyahut, tapi lehernya tercekat, dia hanya bisa diam dan menunduk.  Mukanya memerah menahan malu.  Ingin menjerit histeris melepas beban tapi takut dikira gila.  Ya sudah, diam saja. Saat Arman sedang terlihat sibuk berunding dengan penghulu, keluarga Hendrawan muncul.  Rombongan mereka tidak banyak, hanya sepuluh orang saja. Nona langsung memalingkan wajah.  Pandangannya lurus tertuju ke arah tangannya sendiri yang berada di pangkuan sambil meremas-remas ujung kebaya.  Hatinya sedang gedeg sekali, dia tidak ingin menatap Suhendra.  Andai saja matanya fokus ke wajah pria itu, mungkin saja Nona sudah mencakar nya.  Jadi lebih baik dia menunduk saja dan berpaling dari wajah culun itu. Terdengar suara Hendrawan meminta maaf atas keterlambatannya, dia mengaku jalanan macet dan kesulitan menerobos kemacetan.  Arman tidak mempermasalahkan.  Mereka berbicara sebentar dan Arman meminta supaya acara ijab qobul segera dilangsungkan. Nona merasakan sosok pria duduk bersila di sisinya, paha pria itu sedikit bersentuhan dengan pahanya yang berlapis kebaya.  Aroma parfumnya menyengat, menyeruak merasuk ke rongga pernafasan Nona yang berada tepat di sebelahnya.  Penghulu duduk di depan.   Seluruh hadirin menyaksikan dengan khidmat acara ijab qobul.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN