Terlihat begitu banyak orang di dalam ruang tamu membuat diriku begitu takut dan canggung tapi pegangan erat di dari tangan Darwin seketika menenangkan diriku. Dia berjalan menuntun tanganku duduk di sofa dihadapan seluruh keluargaku.
"Kalian benar-benar menikah?" tanya Umiya, dibalas anggukan oleh aku dan Darwin.
Umiya terdiam ada sedikit air mata di pelipis matanya hampir keluar tapi dia menahannya.
"Aku tidak percaya jika aku melupakan tentang dirimu yang sudah paham dengan sebuah pernikahan. Tapi apa kalian yakin dengan pernikahan ini?" tanya Umiya sedikit menahan rasa harunya.
"Maaf Bu, sebenarnya aku yang salah jika bukan sesuatu hal terjadi antara kita berdua. Mungkin pernikahan ini tidak akan ada, tapi aku bertanggung jawab atas perbuatanku maka dari itu aku tidak menunda nya tadi malam pun aku langsung melakukan pernikahan, bahkan surat pernikahan di antara kami sudah hampir siap."
Penjelasan dari Darwin membuatku merasa lega hingga melihat simpul senyum di wajah Umiya, begitu pun dengan yang lainnya tersenyum lega mendengar ucapan langsung dan penjelasan dari Darwin yang cukup meyakinkan.
Setelah berbincang cukup lama antara Darwin yang menjelaskan tentang pernikahan kehidupan dan juga aku yang akan tinggal di rumah Darwin mereka membiarkanku untuk pergi kekamar dan mengambil beberapa pakaian.
"Sialân kau ini, saudari macam apa yang meninggalkan saudarinya sendiri menunggu sampai tertidur dan kembali bersama dengan seorang suami benar-benar membuatku kesal saja!"
Seruan dari Naya berjalan menghampiriku dengan tatapan tajamnya.
"Jika tidak ada pernikahan ini itu akan semakin mempersulit ku aku tidak tahu itu semua adalah sebuah kecelakaan ataupun sebuah anugerah, nanti kamu sendiri akan tahu alasan apa dan kenapa aku menyetujui pernikahan ini. Belajarlah dengan baik dan jangan sepertiku aku," balasku.
"Ya, terserahlah apa yang sudah kamu lakukan apa lagi jalani. Aku tetap berharap kau bahagia dan jangan pernah lupa untuk memberi tahu tentang masalahnya kepadaku jangan selalu memendam semuanya seorang diri ada aku dan Umi di sini, tetap menjadi keluargamu!" tegas Naya.
Aku tersenyum mengangguk dan memeluk saudariku itu usia kami terpaut sangat jauh tapi dia yang begitu polos memang adalah saudariku Naya dengan yakin rasanya terkadang cukup masuk akal untuk di dengar.
Saat aku membereskan beberapa pakaian dan juga barang-barangku berbincang bersama dengan Naya adalah menjadi sebuah kesenangan dan kebiasaan kami berdua. Tapi aku tahu ada kesedihan berat hati ketika Naya merapikan pakaianku.
"Katakan kepadaku, apakah kau menyukainya? Bukankah pria itu terkenal dengan kenakalannya, dia adalah pria yang paling barbar di kampung, kenapa kamu malah menikahinya?" tanya Naya.
"Sudah kubilang sesuatu hal terjadi antara aku dan dia, mengharuskan aku menikah saat itu juga lebih tepatnya tadi malam."
Aku mencoba menjelaskan seperlunya kepada Naya. Meski tidak tahu dia akan paham atau tidak, yang pasti aku tidak bisa menutupinya kecuali kehamilanku.
Perasaan tegang berhadapan dengan dokter sering pernah aku dengar dari kebanyakan orang tapi berhadapan langsung dengan dokter dan di samping ada Darwin benar-benar adalah penentuan dari kehidupanku di masa depan, nasib antara aku dengan bayiku kali ini berada di tangan sang dokter untuk menjelaskannya kepada Darwin. Tapi aku masih berharap jika sang dokter bisa menjelaskan dengan baik kepada Darwin yang tidak mudah untuk terpengaruh oleh apapun termasuk sebuah kehamilan.
Meski Naya tidak mengerti dengan penjelasan dariku tapi dia mencoba untuk memahami dan mengerti apapun yang aku jelaskan. Hingga Naya tersenyum tipis dan memelukku dengan sangat erat.
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu, sejujurnya aku sangat bahagia saat kamu tinggal di sini. Setidaknya ada teman perempuan di rumah ini yang dapat menemaniku, meski kita sering bertengkar. Tapi sangat cepat sekali kamu malah memilih untuk pergi dan tinggal di rumah suami mu itu, kau benar-benar selalu mengejutkan kami," ucap Naya di pelukanku.
"Dasar gadis bodoh, memangnya aku mau pergi ke mana? Bukankah jarak rumah Umi dengan Darwin begitu sangat dekat, tidak jauh jika kita harus bertemu hanya sekedar berbicara," ucap ku.
Tapi seketika aku terdiam teringan akan suasana di rumah Darwin yang sama sekali tidak ramah untuk diriku, bertolak belakang dengan sikap rumah umiya ini. Aku takut jika bertemu dengan Naya, saudariku ini akan berbicara sembarangan Bahkan dia selalu tidak terima jika ada orang yang beraninya menindas diriku.
"Sepertinya kakakku tidak akan setuju jika kamu malah menikah di usia muda seperti ini. Seharusnya kau menunggu persetujuan kami baru menikah," protes Naya.
"Hmm, pernikahanku sudah terjadi, Nay. Apakah harus 1 hari menikah dan dibatalkan?" tanya ku.
"Tidak begitu juga harus seperti itu. Tapi aku masih merindukanmu," rengek Naya.
"Aku berpesan kepada mu, jaga kamarku ini jangan sampai berantakan apa lagi kertas-kertas pekerjaan rumahmu berantakan di setiap sudut. Kau selalu melakukannya jika sudah merasa nyaman di kamarku ini," tegas ku.
"Apa-apaan, aku selalu membereskannya. Ya meski aku memang selalu seperti itu tapi setidaknya kamarmu ini tidak sedingin sebelumya tanpa ada sentuhan hangat dari ku yang begitu menyayangi kamarmu ini!" seru Naya.
"Aku akan memukul kepalamu jika itu terjadi! Baiklah seperti nya semua sudah siap dan juga aku berjanji kepada Darwin tidak akan terlalu lama jika hanya mengambil beberapa pakaian saja," ucap ku.
"Kamu akan pergi lagi?" tanya Naya Naya.
"Naya, jika aku tidak pergi. Lalu aku harus bagaimana berbicara apa kepada Darwin?" tanya ku.
Melihat Naya yang tidak rela aku bergegas pergi dari rumah, ku peluk dia. Naya yang setinggi dadà aku tampak berat membiarkan aku pergi dari rumahnya.
"Bukankah akan jauh lebih baik jika kamu lebih sering datang ke sana dan menemuiku." Aku mencoba untuk menenangkan perasaan Naya.
"Aku tidak berani untuk pergi ke sana karena ada Dina teman yang selalu bertengkar denganku," jelas Naya.
"Makanya kamu jangan terlalu keseringan barbar seperti layaknya seorang pria, tampak mengerikan ketika kamu menghajar beberapa temanmu itu. Bukankah dia itu gadis baik-baik?" tanya Ku.
"Kau akan tahu sendiri sifatnya nanti jika sudah berhadapan langsung dengannya!" seru Naya.
Aku hanya tersenyum mengangguk mengacak rambut panjang yang terurai milik Naya menariknya berjalan keluar dari kamar. Setelah selesai membereskan pakaian dan membawa keperluanku untuk tinggal di rumah Darwin. Meski berat hati Naya tetap memasang raut wajah cerianya mengantar dan membawa tas berisikan pakaianku ke ruang tamu.
Saat aku berjalan keluar dari kamar perlahan aku memelankan langkahku melihat ke arahku umi dan Darwin sedang berbicara di ruang tamu.
"Kenapa kamu tidak berani berpamitan kepada Umi?" tanya Naya.
"Ya, aku bahkan belum sempat berterima kasih kepada kalian terutama Umi. Setelah kebaikan kalian merawatku hingga aku kelulusan. Alih-alih aku berbakti kepada Umi tapi malah menikah di usia muda dengan pria yang tidak aku pahami," jelas Ku.
"Dasar Icha bodoh, Samuel itu jauh lebih tampan dari siapapun. Yapi kamu malah memilih untuk menikah dengan pria hitam seperti itu. Aku sama sekali tidak menyukainya, dia jelèk!" seru Naya.
"Kamu ini, kamu belum tahu kalau Samuel sudah tidak ada di kota ini? Katanya dia pergi ke suatu tempat yang sangat jauh dan tidak mungkin aku berharap hal yang benar-benar tidak mungkin aku lakukan. Aku mengejar cintanya jika ada seseorang yang berani untuk bertanggung jawab akan hidupku. Aku yakin dengan keputusanku memilih bersama dengan pria baru karena sangat tipis harapan untuk kembali dengan Samuel," jelas Ku.
"Samuel sialàn, dia pergi ke mana? Benar-benar tidak bertanggung jawab sama sekali, seharusnya dia nyatakan cinta terlebih dahulu kepadamu, meninggalkan bekal yang sangat banyak untukmu tanpa pergi begitu saja tanpa berpamitan," protes Naya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat gerutuan Naya, gadis dengan bibir kecil mungil berisi Itu tampak berwarna merah muda menggemaskan.
"Sebaiknya kamu belajar dengan baik dan jangan bermain dengan pria!" pesan Ku.
"Untuk apa aku bermain dengan pria lain, cukup bermain dengan kakakku saja yang begitu banyak itu benar-benar sudah membuatku kelelahan," gerutu Naya.
Aku hanya bisa tersenyum menggelengkan kepala daya pikirnya, Naya memang sangat polos yang dia tahu hanyalah sekolah bermain dan bertengkar.
Berjalan menghampiri umiya yang sedang berbincang dengan Darwin perasaan sedikit lega melihat mereka berbincang dengan sangat baik tanpa ada hal yang membuat aku takut duduk disamping Naya yang juga ikut berbincang di sana mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan.
Di usia yang baru saja 19 tahun memang terdengar terlalu muda untuk aku menikah, tapi di daerah Umiya, memang di usia yang sudah cukup jika bersedia untuk menjalin hubungan sebuah rumah tangga. Aku dan Naya disambut senyuman oleh Umiya, terlihat ada perasaan lega dan juga tidak percaya tentang aku yang tiba-tiba saja menikah membuat mereka terkejut.
Perasaan seperti apa yang saat ini, aku lihat dari raut wajah Umiya antara rela dan tidak rela dengan pernikahanku.
"Jika seperti itu aku hanya menginginkan kalian baik-baik saja," ucap Umiya. Aku hanya tersenyum mengangguk menanggapi ucapannya.
"Apakah sudah selesai semua?" tanya Umiya dibalas anggukan olehku
Umi terdiam dan juga tersenyum menahan banyak kata dan juga rasa yang sama sekali tidak bisa aku Artikan dari raut wajah uwa aku itu. Umi menarik tanganku dan memeluk dengan sangat erat hingga aku merasakan tubuh umiya gemetar dia menahan tangisnya. Aku membalas pelukan umiya mencoba untuk memastikan kepada dirinya bahwa aku baik-baik saja dan sangat baik ketika hal yang membuat kesulitan tentang kehamilan ku kini ada jalan penerang dengan seorang pria menikahiku.
"Kau boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun pintu rumah tua akan selalu terbuka untukmu jika merasa bosan main lah ke sini! Naya selalu membicarakan tentangmu setiap kali dia merasa sendirian di rumah ini,"ucap Ummiya.
"Ya, benar-benar sangat tidak nyaman ketika hanya tinggal seorang diri di rumah ini apalagi tidak ada yang membantuku pekerjaan rumah," gerutuan Naya.
Aku dan Umiya hanya tersenyum menanggapi ucapan dari Naya, melihat kearah Darwin meminum kopi yang sudah disediakan oleh Uwa Umi ya membuatku merasa sedikit tenang saat Suamiku itu bisa memberi ke waktu untuk berbincang dengan keluargaku sendiri.
Cukup lama dengan Umiya, Naya dan juga Darwin memang menjadi kebiasaan kami. Juga cukup menyenangkan ketika Darwin dapat mengimbangi perbincangan keluargaku setelah itu aku dan Darwin pun berpamitan untuk kembali ke rumah tanpa mencoba untuk tinggal lebih lama lagi di sana meskipun ingin berlama-lama di rumah kami juga tidak terlalu jauh bisa di tempuh hanya dengan berjalan kaki.
"Apakah menyenangkan ketika bersama dengan keluargamu. Bukankah mereka."
Darwin tidak menyelesaikan ucapannya dan terdiam fokus melihat ke arah jalanan. "Iya, mereka adalah keluargaku. lebih tepatnya mereka adalah paman dan bibiku. Keluargaku pindah jadi hal yang tidak mungkin, jika aku menghentikan aktivitas sekolahku yang sebentar lagi kelulusan maka dari itu mereka sama sekali tidak mengajak untuk pergi ke sana dan aku tinggal dengan kakek dan nenek. Hanya saja mereka dipanggil Tuhan lebih awal dan dengan kebaikan uang Umiya. Aku tinggal di rumahnya," jelasku.
Tidak ada jawaban dari Darwin tentang penjelasanku, tapi dia hanya mengangguk dan tetap fokus dengan kendaraannya sehingga membiarkan ku memeluk erat pinggang nya memastikan keselamatan perjalanan kami.
Sepanjang perjalanan itu banyak begitu banyak pandangan sorot mata melihat ke arah kami dan saling berbisik tentang pernikahan dadakan antara aku dan Darwin.
"Kenapa?" tanya Darwin
Pertanyaan Darwin membuat aku terkejut dan membalasnya dengan gelengan kepala.
"Tidak ada yang dapat mengalihkan pikiranku tentang apa yang mereka ucapkan," ucapku.
"Memang kenapa jika kamu dan aku menikah?" tanya Darwin.
"Hmm, yang aku tahu, saat ini aku memiliki seorang suami yang cukup terkenal di desa," balasku.
"Hahaha, ya jika kau ingin menjadi istriku. Kamu harus menerima semuanya karena memang tidak mudah menjadi istri dari seseorang yang terlihat buruk dimata orang lain, hampir semua orang menilaiku seperti itu," tawa Darwin, terdengar mengerikan tapi dia mengatakannya dengan tawa.
Darwin terlihat begitu manis saat aku melihatnya di balik kaca spion motor nya.
"Aku tidak memperdulikan tentang image dan prestasi apa yang dimiliki oleh kamu di mata orang lain," tukas ku.
"Hmm, jadi kamu menyukai aku yang terkenal dengan image buruk ini?" tanya Darwin.
"Bukan itu maksudnya ...."
"Sudah lah, mau bagaimanapun. Kamu sudah jadi istriku!" sela Darwin.
Darwin di desa yang aku tahu kali ini pria yang ada di hadapanku itu adalah Tria yang menolongku dikirim Tuhan untuk mengatasi masalah yang sedang aku hadapi titik aku lakukan dibalas sentuhan tangan dari Darwin membuat kami berdua menjadi sorotan mereka yang melihat keberadaan kami di dalam perjalanan.
Saat sampai di rumah aku telepon dari botol namun terdiam ketika melihat tatapan tajam dari ibu mertua dan juga beberapa apa apa keluarga lainnya menatap ke arahku tapi Darwin n' Bahuku membuatku beralih melihat kearahnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Ayo masuk, sekalian juga ada hal yang harus aku lakukan kepadamu!" ajak Darwin dibalas anggukan oleh ku.
Aku bergegas berjalan setelah aku juga menyapa ibu mertua dan masuk ke dalam begitu saja. Meski tanpa ada jawaban ataupun balasan dari mereka tidak pernah kusangka hal yang di lakukan oleh Darwin adalah bercúmbu dan bercintà denganku.
Tidak tahu sudah yang keberapa kali dari hari pernikahanku dengannya baru satu hari saja, dia terus-terusan mengajakku bercintá rasa takut akan kandunganku membuatku terdiam setelah Darwin terkulai lemas di sampingku. Dengan nafas terengah-engah nya.
"Kenapa dia begitu mudah ingin bercintá?" batinku.
Terdiam tanpa kata, aku bangun dari tidurku hal yang tidak mungkin jika aku tertidur kembali setelah selesai membersihkan tubuhku yang kulakukan hanya terdiam tidak berani untuk keluar dari kamar tanpa Darwin. Hingga pada akhirnya aku hanya berdiam diri didalam kamar sembari menunggu Darwin terbangun dari tidurnya. Aku tidak pernah menyangka Jika waktu tidur seorang pria memakan waktu yang begitu panjang sampai saatnya dia terbangun di sore hari.
Sedikit bersemangat saat melihat Darwin terbangun dari tidurnya. Aku menghampirinya. "Siapkan air hangat untukku!" seru Darwin.
Aku terdiam tapi hanya bisa menurutinya agar bisa meminta Darwin bangun dari tidurnya, air hangat yang dari maksud sudah tersedia di dalam kamar mandi. Setelah aku memberitahunya, dia sama sekali tidak berbicara lagi tapi bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
"Icha! Kemarilah!" teriak Darwin dari dalam kamar mandi.
Aku bergegas masuk, tapi terkejut ketika melihat Darwin berdiri dengan senjatanya ikut berdiri tepat di hadapanku.
"Maukah kamu bekerja sama dengan kami?" seru Darwin membuatku terkejut.
Tanpa menunggu jawabanku Darwin menarikku nggak ke dalam pelukannya. Percintaan seperti apa tubuhku terus melayani gairäh Darwin seharian ini. Lenguhan dan adegan panas terjadi dengan aliran air mengalir dari shower dan juga lenguhan Darwin terdengar sangat jelas. Hentakan dan hentakannya semakin terbiasa aku dapatkan. Hingga aktivitas di akhiri lenguhan kenikmatan Darwin melepasnya. Kadang aku terheran, apakah dia tidak lelah? Tapi nyatanya, dia selalu bugar segar.
Saat kami keluar dari kamar mandi terdengar gemuruh yang begitu jelas di dalam perutku, membuat Darwin berbalik arah dan menatapku.
"Apakah Kamu tidak makan? Atau jangan-jangan kamu tidak keluar kamar?" tanya Darwin dibalas anggukan olehku.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Aku belum terbiasa dan aku menunggu kamu terbangun," jelas Ku terbata-bata sedikit mengerikan setiap kali mendengar suara Darwin yang begitu besar dan jelas.
"Dasar gadis bodoh! Apa yang kamu takutkan setelah menjadi istriku? Kamu bisa keluar ataupun bangunkan aku saat aku tertidur makan dan beraktivitas lagi di rumah ini seperti biasa. Bagaimana jika aku tidak ada di rumah kamu makan seharian penuh kelaparan dan tubuhmu yang kurus ini akan semakin kurus, jika terus-terusan menahan diri untuk makan. Bergegaslah kenakan pakaianmu kita makan di luar! Jangan berharap keluargaku akan mengingatkanmu untuk keluar kamar dan makan!"
Terdengar sangat mengerikan saat Darwin berbicara begitu tegas di hadapanku. Tapi ada benarnya juga ucapkan nya, aku hanya bisa menuruti apapun yang dikatakan oleh Darwin mengenakan pakaian yang sedikit tertutup untuk menyembunyikan tanda tanda merah yang sulit hilang. Meski aku sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkannya saat tadi di kamar mandi hanya pakaian tertutup lah yang bisa menghindari cemoohan orang lain.
Pada akhirnya aku tetap keluar bersama dengan Darwin di depanku berjalan terlebih dahulu memang layak disebut pengantin baru seharian full di dalam kamar, tanpa mencoba untuk keluar dan berkenalan dengan orang-orang rumah Sindir ibu mertuaku.
"Kami tertidur tadi, Bu. Jadi malah bangun sore ini," jelas Darwin.
"Hmmm, cukup di mengerti karena kalian masih pengantin baru. Jadi tidak apa-apa jika sepasang suami istri berada di dalam kamar sepanjang hari, tapi bukankah di antara kalian tidak ada cinta, bahkan pernikahan kalian hanyalah pernikahan yang dipaksakan. Tidak mungkin kan kalian terus-terusan bercintâ seharian penuh!" seru ibu Mertuaku.
Memang benar-benar membuatku sedikit mual untuk mendengar nya tapi perasaan mual di dalam perutku aku tahan takut malah mengucapkan segalanya. Pada kenyataannya memang apa yang dia katakan benat terjadi, bercintâ seharian penuh tanpa lelah.
"Sudahlah, jika kalian ingin makan pergilah ke meja makan mungkin masih ada makanan yang bisa kalian makan!" seru Ibu Mertuaku.
Darwin tidak menjawab ucapan Ibunya dan pergi bersama denganku, pergi ke ruang makan dan memanjakan isi perutku. Apalagi setelah tenaga terkuras habis dan juga tidak makan seharian.
"Sudah kubilang, lain kali jangan pernah berdiam diri di dalam kamar saja, lihatlah kamu seperti gadis bodoh yang kelaparan saja, makan dengan baik!" seru Darwin.
Aku sama sekali tidak menanggapi ucapan Darwin dan memakan makanan yang ada di hadapanku ini memiliki bayi di dalam perutku memang benar-benar menyiksa aktivitas. Dimana aku harus makan dengan sangat kenyang apalagi ketika berada di rumah baru yang tidak tahu akan dapat menjamin segalanya untukku atau tidak.
"Icha nanti temani Krisna pergi ke sebuah pesta acara resmi temannya!" seru Dina berjalan menghampiriku.
"Kenapa harus aku? Sepertinya aku tidak bisa," tegasku.
"Kamu ini, memangnya bisa apa sih hanya menemani pergi ke pesta saja tidak mau. Dasar gadis tidak berguna diajak bersenang-senang malah tidak mau!" gerutu Dina.
Aku hanya bisa diam mendapatkan cemoohan dari saudari Darwin. Darwin berada di hadapanku tapi dia hanya terdiam tanpa mencoba untuk membela ku. Benar kata Naya, bahwa Dina bukan gadis yang tepat untuk menjuluki hadis baik.
"Belajar terbiasa dengan orang-orang di rumah ini, aku rasa usiamu sudah cukup untuk menghadapinya dan ya aku tidak mungkin selalu ada di sampingmu. Bukankah aku juga harus mencari yang untuk menghidupi mu?"
Ucapan Darwin membuatku terdiam dan mengangguk hal yang tidak mungkin jika aku membiarkan Darwin terus-terusan berada di rumah, terlebih lagi jika dia ada terus di sampingku selain aku merasa nyaman, itu juga akan remuk jika terus-terusan gairah bercintanya terus berlangsung terhadapku.
Aku khawatir akan keadaan bayi yang ada di kandungan, aku hanya bisa membalas anggukan sebagai tanggapan dari pria yang berstatus suamiku itu berjalan memperhatikan setiap sudut rumah kulakukan tiba-tiba seseorang menyenggol tubuhku dan menatapku dengan sangat tajam.
"Wanita būta yang tidak tahu apa yang sedang dia lakukan. Bahkan diriku saja tidak kau lihat!" tatapan tajamnya dan juga ucapannya begitu menyebalkan tapi dia tampak semakin kesal ketika aku memilih untuk tidak menghiraukannya.
Dan aku pergi berjalan melanjutkan aktivitasku memahami setiap sudut rumah yang cukup luas di sana, ada begitu banyak keluarga yang tinggal di rumah itu membuatku sampai-sampai lupa menghafal nama-nama mereka termasuk gadis yang baru saja merutuki aku dengan sangat jelas.
Aku tidak tahu akan bertahan sampai berapa lama di rumah ini. Tapi demi bayi yang ada di perutku aku harus dapat bertahan meski mertuaku sendiri seakan-akan ingin memakanku hidup-hidup. Setelah selesai bersembahyang isya, aku melihat Krisna dan Dina sudah bersiap untuk pergi ke pesta yang mereka katakan tadi aku sendiri, bahkan tidak tahu di mana keberadaan Darwin.
"Salah sendiri, Kamu tuh diajak bersenang-senang malah tidak mau!" rutuk ibu Mertuaku melewati aku yang sedang duduk sembari melihat perginya Dina saudari Darwin.
Bukan tanpa alasan aku menolak ajakan mereka, tapi itu karena aku belum terbiasa dengan mereka dan tidak terlalu dekat hubungan antara aku dan mereka. Apalagi tempat yang mereka tuju sama sekali tidak aku ketahui keberadaannya berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Darwin itu adalah pilihan yang tepat untukku menjadi seorang istri memang sangat sulit untuk dijalani.
Apalagi bersama dengan seorang Darwin dengan gairah bercinta yang begitu tinggi membuatku harus ekstra menjaga kebugaran tubuh dan juga segala tumpukan pekerjaan rumah aku lakukan, sesuai apa yang di tegaskan oleh ibu mertua sempat aku takut akan kondisi kandunganku.
Tapi setelah menikah selama 3 bulan perasaanku mulai tidak bisa tenang, ketika aku sering memuntahkan makanan di saat makan bersama tatapan orang-orang rumah yang tidak menyukaiku. Hanya Darwin yang selalu membela ku percaya kepadaku kali ini benar-benar membuat khawatir Darwin yang memperhatikan kondisi tubuh yang mulai tidak baik.
Dia bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan di kota memang membuat Darwin hanya bisa pulang larut malam dia tidak bisa seperti orang lain. Berangkat pagi pulang sore mengagumi kegigihannya dalam bekerja mulai membuatku menerima keberadaan Darwin sebagai suamiku. Apalagi dukungan dan semangatnya tidak pernah surut untukku agar bisa bertahan tinggal di rumah kedua orang tuanya.
Darwin juga akan mencarikan sebuah tempat untuk pernikahan kam.
"Sepertinya kondisimu belum berubah sama sekali? Bagaimana kalau kita pergi ke rumah sakit memeriksa kan dirimu!" ajak Darwin.
"Baiklah," anggukku.
Setelah dia melihat kondisiku yang mual-mual setelah bercintä dengannya hari ini, Darwin mengambil cuti untuk memeriksa kondisi kesehatanku. Padahal ada tentangan dari keluarganya yang tidak setuju jika Darwin mengambil cuti hanya untuk menemaniku ke dokter. Tapi dia bersikeras untuk tetap menemaniku pergi ke sana seorang dokter wanita yang sempat memeriksa kondisi kehamilanku membuatku merasa lega.
"Bisakah, Anda merahasiakan usia kandunganku?" pintaku.
Meski dokter itu terdiam tapi dia sama sekali tidak menjawab ataupun banyak tujuan permintaanku, setelah Darwin masuk dokter itu mencoba untuk berbicara membuatku merasa takut akan kebenaran usia kehamilanku.
"Bagaimana kondisi istriku, Dok?" tanya Darwin semakin membuat rasa takutku begitu sangat jelas.
"Selamat Tuan, Anda akan memiliki seorang bayi hampir menginjak 3 bulan," jelas Dokter itu.
"Tiga bulan? Usia pernikahanku juga baru menginjak hampir 3 bulan apakah bisa seakurat itu?" tanya Darwin.
Darwin yang sempat meragukan kehamilanku benar-benar membuat jantungku berdetak sangat kencang takut semua itu akan mengakhiri hubunganku dengan Darwin.
Meski Darwin bukanlah pria baik-baik, tapi dia lah penyelamat pertama di saat aku sedang dilanda gundah gelisah tidak tahu harus pergi kemana mencari pertolongan untuk menutupi kehamilanku.
Berharap Darwin dapat memahami apa yang akan dijelaskan oleh sang dokter membuatku tidak tahu harus mengatakan apa lagi kepadanya. Harapan aku satu-satunya adalah dokter yang akan menjelaskan dihadapan kami berdua kali ini.
"Semoga Dokter ini memahamiku," batinku.
"Ada sebuah kehamilan yang sudah terbiasa terjadi, seperti apa yang terjadi kepada anda berdua. Itu adalah hal yang biasa jika hamil tepat di bulan pertama pernikahan, itu akan jauh lebih baik menandakan bahwa Nyonya memiliki garis keturunan yang cukup menjamin garis keturunan anda," jelas Dokter itu.
Darwin berpikir sejenak membuatku merasa ragu dengan cara pikir Darwin kali ini meski cukup masuk akal penjelasan dari Dokter, tapi lain dengan Darwin pria keras kepala yang tidak mudah percaya dengan ucapan orang lain.
"Baiklah, Dok! Terima kasih dan itu berarti alat reproduksiku cukup manjur untuk memiliki keturunan." Ucapan Darwin membuatku terkejut dibalas senyuman dan anggukan oleh Dokter.
"Iya, Anda cukup beruntung," balas Dokter itu.
"Jadi apa yang harus di lakukan? Kenapa dia selalu muntah-muntah?" tanya Darwin.
Perasaan mulai lega di dalam diri ku ketika raut wajah Darwin mulai kembali seperti biasa, tidak ada ketegangan di antara percakapan antara kami dengan Dokter.
"Mengalami muntah-muntah di awal kehamilan sudah menjadi hal biasa, tapi untuk menghindarinya mungkin kalian bisa menghindari beberapa makanan yang tidak di sukai oleh Nyonya dan juga biasanya terpicu dengan makanan, parfum dan juga hal-hal yang begitu ramai bisa membuat seorang wanita hamil merasa pandangannya begitu rumit hingga timbul rasa mual, itu juga bisa." Jelas sang Dokter dengan profesional dia mengatakannya di depan Darwin.
Seketika aku menoleh ke arah Darwin, berharap dia memahami apa yang di katakan oleh Dokter tapi dia hanya bisa terdiam dan mengangguk.
"Terima kasih Dokter." ucapanku di balas anggukan oleh Dokter wanita itu.
Kali ini pertolongan dari seorang Dokter juga adalah pertolongan dari Tuhan, membuatku selalu bersyukur karena Tuhan selalu menemaniku dan memberikan jawaban dari segala pertanyaan dan rasa kegundahan di dalam diri aku.
Berdiri dari duduknya, Darwin berpamitan dengan sang Dokter dan meraih tangan ku yang sama sekali tidak pernah aku rasakan getaran tangan Darwin yang begitu sangat jelas.
"Biarlah aroma? Bukankah tadi pagi kau hanya mencium ku dan aku juga hanya menyentuhmu, apakah aromaku yang membuat mu sampai mual?" Aku sama sekali tidak pernah menyangka jika Darwin akan bertanya hal seperti itu kepadaku.
"Katakan padaku, apakah benar kau tidak suka dengan aroma tubuhku?" Tanya dia lagi.
"Aku tidak tau, mungkin saja ia mungkin saja tidak. Karena setau ku saat kita bercintä, keadaan perutku kosong. Kamu tau sendiri kalau wanita hamil tidak di perbolehkan kekurangan makanan." Aku mencoba menjelaskannya meski aku tidak tau akan kebenarannya itu.
"Kenapa kamu selalu bertingkah seperti orang yang kesusahan yang tidak berkecukupan untuk memberimu makan. Bukankah seharusnya kamu makan dengan teratur!" tegas Darwin.
Aku hanya bisa mengangguk, tapi getaran di tangannya kini mulai membaik dan sedikit berkeringat. Darwin menarikku keluar dari rumah sakit dengan mimik wajah yang tidak bisa aku artikan perasaannya.
Aku duduk di sebuah kursi di depan rumah sakit, mematuhi perkataan Darwin. Entah kemana suami ku itu pergi, tapi dengan sangat tegas dia meminta ku untuk duduk disini dan menunggunya.
Cukup lama aku menunggu kedatangan Darwin dan aku terkejut saat kotak makanan berada tepat di hadapanku, menoleh ke arah Darwin tersenyum tipis dia memberikan kotak makanan itu kepadaku.
"Makan dengan baik, jika kurang ... Aku masih ada beberapa bungkus untuk mu dan juga bayi kecil yang ada di perut mu ini. Dia pastinya akan menjadi jagoan ku!" Seru Darwin.
Seketika aku tertegun mendengar ucapan Darwin yang terdengar sangat manis, terasa seperti seorang suami dan ayah yang begitu perhatian kepada anak dan istrinya.
"Kenapa? Kamu tidak suka dengan makanan ini?" Pertanyaan Darwin membuat ku tersadar dan menggelengkan kepala.
"Aku akan memakannya," balasku.
"Sebaiknya seperti itu, karena aku tidak mau menjadi seorang suami dan ayah yang tidak mampu memberi anak istrinya makan!" Tegas Darwin.
Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti ucapannya tanpa protes dan menghabiskan makanan disana dengan orang-orang memperhatikan kami berdua.
Hingga habis makanan yang ada di hadapan ku membuat Darwin tersenyum mengangguk, dia menyukai kinerjaku dalam hal makanan. Benar-benar membuatku tidak habis pikir, ada seorang pria yang menyukai jika wanitanya makan tanpa henti di hadapannya.
"Baiklah, sekarang kau mau kemana?" tanya Darwin.
"Harusnya kemana?" Tanyaku.
"Apakah ada sesuatu yang kamu inginkan?" Darwin masih bertanya tentang apa yang aku inginkan saat ini.
"Mungkin bermain ke rumah Umi!" seruku.
"Baiklah, karena aku sedang berlibur dari pekerjaanku. Aku akan menemani mu, menginap pun tidak masalah bagiku." Angguk Darwin.
Kali ini aku sangat bersemangat ketika Darwin mau mengajak pergi ke rumah Umi, bahkan sampai menginap disana.
Melakukan perjalanan dengan kecepatan kendaraan Darwin begitu sangat hati-hati membuat ku merasa sangat di perhatikan olehnya. Meski aku juga menyesali diri ku membohongi Darwin yang dengan tulus mau merawatku dan juga bayi yang ada di perut ku. Padahal pada kenyataannya itu bukanlah benih Darwin, rahasia yang hanya di ketahui oleh aku, bayiku dan juga Tuhan. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memberitahu kepada siapa pun tentang bayi siapa di kandunganku.
Cukup lama kami melakukan perjalanan untuk sampai di rumah Umiya. Darwin juga sempat memberitahu keluarganya bahwa dia akan pergi menginap di tempat Umia.
Tidak pernah aku pikirkan tentang bisa tinggal lagi di rumah yang selalu menyambut dengan sangat baik, ada Umia, ada Naya dan juga ada paman yang selalu menyambutku dengan hangat.
"Waah, aku sangat beruntung sekali bisa memiliki keponakan dari mu. Bolehkah aku tau jenis kelaminnya?" tanya Naya.
"Apa kau bodoh! Usia kehamilan ku baru saja 3 bulan. Memangnya ada usia kehamilan 3 bulan sudah diketahui jenis kelaminnya?!" Gerutuku memukul kepala Naya.
Gadis polos itu memang benar-benar membuatku tersenyum setiap kali mendengar ucapannya.
"Mungkin saja anak mu begitu ajaib sampai-sampai terlihat, atau sebentar lagi sudah bisa berlari," canda Naya.
"Gadis ini, pembicaraan mu bisakah masuk akal sedikit saja!" Protesku.
"Rencana Tuhan siapa yang tau!" Seru Naya, seketika aku tertegun mendengar ucapan polos dari Naya, membuatku teringat segala rencana Tuhan yang tidak pernah bisa aku bayangkan apa lagi bisa menghindar.
Terpikirkan tentang kedua orang tua ku, Samuel, seorang bayi, Umia dan juga Darwin yang menjadi suamiku kali ini. Semuanya adalah rencana Tuhan, aku mesti bersiap dengan segala konsekuensinya.
"Karena kalian akan menginap disini, biar Uwa bereskan kamar mu!" seru Umia.
"Tidak perlu bu, Naya sudah membereskannya. Lagi pula siap aku merindukan wanita keras kepala ini, aku selalu diam di kamarnya juga membereskannya," sela Naya.
"Terima kasih gadis cantikku," pujiku begitu bersyukur memiliki saudari seperti dirinya.
Tidak ada ucapan ataupun penuturan dari Darwin, dia begitu patuh dengan apapun yang aku katakan meminta dia membawa obat yang ada di motor, dia mematuhinya. Beberapa makanan dan buah-buahan juga dia yang membawanya, membuatku merasa menjadi seorang ibu hamil.
Akan sangat menyenangkan jika bisa membuat suami yang selama ini begitu acuh dan dingin menjadi luluh seperti yang Darwin lakukan. Seketika aku berpikir teringat akan Samuel, jangankan aku yang hamil seperti ini. Saat aku hanya merasa lelah saja dia selalu memapahku bahkan merutukiku tanpa henti hingga aku benar-benar membaik.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Cha?" Pertanyaan Darwin membuyarkan lamunanku.
"Tidak ada, aku hanya terpikirkan dengan gairahmu yang begitu besar bagaimana aku bisa melayanimu dengan kehamilanku seperti ini. Bukankah Dokter mengatakan jangan terlalu berlebihan dalam sexs." Alih ku.
"Dasar kau ini! Memangnya yang ada dalam pikiranku hanyalah hubungan intim saja. Aku juga memiliki kepedulian tentang anak ku, kau jangan khawatir aku bisa menahannya!" seru Darwin.
"Benarkah? Hmm, itu benar-benar sangat menyenangkan. Jika suamiku ini benar-benar bisa menahan gairahnya yang begitu tinggi, apakah benar? Kamu bisa tahan dengan godaan tubuh," godaku.
"Kau mencari mati! Menggodaku seperti ini," tatap Darwin.
Seketika aku terkejut, apalagi Darwin sangat mudah terpancing jika sudah menyangkut gairahnya.
"Baiklah-baiklah, Aku minta maaf, tidak akan menggoda mu lagi!" seruku.
"Sudah terlambat." Darwin menari tanganku hingga aku kini berada tepat di bawahnya.
"Siapa bilang wanita hamil tidak bisa melakukan hubungan suami istri. Dokter itu hanya tidak tau saja bagaimana cara yang baik agar bisa menikmati hubungan antara kita dan juga menjaga anak kita." Ucapan Darwin membuatku tertegun, dia sama sekali tidak mencoba untuk menunggu protesku dan mencium bibirku sebagai awal dari cumbuannya.
Sudah ku duga, suami ku ini memang tidak bisa menahan dirinya setiap kali melihat tubuh ku, apalagi sampai menggodanya. Pada akhirnya kami bercinta di siang hari, tapi kali ini di rumah Umia tidak ada jeritan, erangan hanya sebuah desahan halus yang aku lakukan bersamaan dengan Darwin.
Terasa menyenangkan ketika bisa menggoda suami ku seperti Darwin yang harus menahan diri tanpa berhubungan intim berlebihan seperti biasanya. Dapat menuntaskan hasratnya adalah sebuah keberuntungan bagi Darwin kali ini. Setelah berhasil menjamah ku, Darwin merebahkan tubuhnya disamping ku.
"Lain kali jangan pernah menggoda ku lagi seperti itu. Aku bisa memakan mu setiap saat!" Tegas Darwin.
"Baiklah, aku tidak akan melakukannya, tapi benarkah kamu bisa menahannya?" balasku.
"Aku tidak yakin bisa menahannya, tapi demi kesehatan kalian, aku akan berusaha meski kau juga harus menangani masalah tentang gairahku yang selalu meningkat setiap kali melihat mu!" tegas Darwin.
Aku membulatkan kedua mata mendengar penuturan dari Darwin yang membuat sekujur tubuh ku merinding mendengarnya. Tinggal di rumah Umia benar-benar sangat menyenangkan, apalagi ada saudari ku Naya yang menghiburku. Darwin seperti biasa setelah lelah berhubungan badan, dia akan tertidur pulas tanpa dapat di ganggu oleh siapapun termasuk aku.