Tinggal di sebuah rumah kontrakan yang hanya cukup untuk dua orang saja. Aku tidak pernah tetpikirkan untuk tinggal di rumah keluarga selama bekerja, bersedia merawat putriku saja, bagiku mereka adalah yang terbaik.
"Ada apa?" tanya Riana membuyarkan lamunanku, dia duduk tepat di samping sembari merangkul pundak.
"Tidak apa-apa."
"Aku tidak yakin kamu baik-baik saja," ucap Riana.
"Mungkin aku tidak baik-baik saja. Tapi, sepertinya ada hal yang harus dikatakan dan juga tidak harus di katakan kepadamu," balasku.
"Haha, Icha, apakah kamu tidak sadar? Aku ini adalah teman satu pekerjaanmu, memangnya cukup gajih di perusahaan disini untuk membiayai kecantikanku." gelak tawa renyah Riana hanya membuatku mengangkat sebelah alis.
"Jika aku tidak memiliki pekerjaan sampingan, mungkin aku tidak akan seperti ini dan mungkin kamu juga bisa mendapatkannya bahkan lebih. Apalagi dengan kecantikanmu seperti ini benar-benar membuat aku yang sebagai wanita saja tertarik kepadamu. Bagaimana Cha, kalau perlu jadi kekasihku? Aku akan memberi segala fasilitas." Ucapan konyol Riana hanya membuatku mengerutkan dahi duduk dari tempat aku dan mengacuhkannya pergi begitu saja tanpa menghiraukan lagi Riana yang tampak kesal mendapati tanggapanku.
"Dasar gadis sialan! Liat saja, nanti kamu pasti akan berteriak memohon kepadaku." Ucapan Riana terdengar sangat jelas tapi aku sama sekali tidak berharap ada seseorang membantuku termasuk Riana.
Kondisiku kali ini hanya membutuhkan waktu untuk jauh lebih baik termasuk biaya hidup dengan keluarga. Saat aku pergi ke mesin ATM, ternyata uang yang ada di ATM Darwin benar-benar sudah habis. Aku tarik berulang kali, menghela nafas dengan halus aku kebingungan hingga aku terpikirkan untuk meminta ATMku kepada tante. Tapi, ternyata bukan sebuah ATM yang aku dapatkan melainkan bentakan darinya.
Hal itu semakin tidak habis pikir tentang apa yang terjadi kepadaku hingga tante ku itu bersikeras untuk menahannya.
"Lihatlah sudahku bilang biar Umi aja yang merawat anakmu. Tapi, sekarang sangat sulit untuk mengambil kembali putri mu itu termasuk ATMmu itu!" seru Naya.
Memang benar apa yang dikatakan Naya, tapi bukan itu yang ingin aku dengar kali ini. Memikirkannya saja, benar-benar membuatku lelah hingga terlelap tidur begitu saja. Aku tahu, Naya begitu kesal saat aku mengacuhkannya, tapi aku tidak peduli karena memang itulah yang aku rasakan. Ingin seorang diri berteman sepi tertidur dengan sangat nyenyak tanpa terpikirkan tentang masalah yang terjadi kepadaku.
Menatap langit-langit kamar setelah sekian lama aku hanya tinggal dikontrakkan, kali ini aku tinggal di rumah Umiya disaat aku sedang berlibur bahkan putri ku sendiri tidak bisa aku temui meski aku sudah memintanya kepada tante.
Terasa begitu menyakitkan dan rasa sesal ada di dalam benakku saat mengetahui kenyataan apa yang menjadi keputusan sangatlah salah ketika aku membiarkan putriku bersama dengan tante hingga aku memilih untuk tidak kembali kerumah dan menetap di kontrakan kecil itu tanpa kembali di setiap bulannya.
Berdiam diri di kursi aku sempat melihat Riana melewati diri ku didepan membuat aku tampak tidak menyukai wanita itu. Wanita dengan kelainan tanpa daya pikir normal membuat kita tidak menyukai wanita itu.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Eva.
"Hah, kamu sedang disini?" balasku.
"Iya, aku sedang istirahat dan juga membawa beberapa pekerjaan untuk di berikan ke ruangan lain. Kamu kenapa? kenapa berdiam diri saja?" tanya Eva.
"Entahlah Va, rasanya percuma aku bekerja terus-terusan disini," balasku.
"Kenapa?"
"Seperti bukan kehidupanku, bekerja demi putriku malah membuatku jauh dengannya," jelasku.
"Maksudmu apa? Memangnya kamu tidak pulang, sudah berapa lama tidak pulang kesana? Aku lihat putrimu tumbuh dengan baik di rumah tantemu," jelas Eva.
"Iyaa, aku sangat bahagia ketika ia tumbuh baik disana. Tapi, rasanya sangat menyedihkan ketika aku sama sekali tidak bisa menyentuhnya," jelasku.
"Omong kosong! Mana ada seorang ibu tidak menyentuh putrinya. Memangnya kenapa!" seru Eva tidak percaya dengan ucapanku.
"Aku selalu pulang setiap bulan, tapi aku di larang untuk bertemu dengan putri ku apalagi menggendongnya," jelasku.
"Yang benar saja! Mana ada seperti itu? Apakah kamu tidak mencoba untuk berbicara?" tanya Eva.
"Aku sudah mencoba untuk berbicara bahkan memohon tapi hingga putriku berusia 7 bulan pun aku sama sekali tidak di perbolehkan untuk bertemu," jelasku dengan tatapan kosong.
"Ini sudah tidak benar! Sebaiknya kamu ambil alih putrimu lagi, jangan sampai kamu di lupakan oleh putrimu itu," jelas Eva. Hal yang aku takutkan benar-benar dikatakan oleh seseorang termasuk Eva.
"Tapi, aku tidak tau cara bagaimana mereka begitu keras?" tanyaku.
"Cha jangan terlalu menjadi seseorang yang terpuruk apalagi sampai lemah, kamu seorang ibu dan kamu juga seorang pejuang harus jauh lebih baik dan lebih tegar menghadapinya. Cobalah menjadi dirimu sendiri dan ambil kembali putri mu beserta hak mu yang seharusnya kamu dapatkan! Aku dengar bahkan ATM mu saja ada ditangannya, apakah itu benar?" tanya Eva.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan membuat Eva semakin geram.
"Kau ini lembur sampai tengah malam, tapi tidak mendapatkan hal apapun. Lalu kamu dapat dari mana uang untuk membayar kontrakanmu itu?" Tanya Eva.
"Aku punya sisa uang dari mantan suami ku," jelasku.
"Syukurlah, lalu setelah itu kamu mau mencarinya dari mana? Bukankah uang itu juga akan habis?" Tanya Eva seketika aku terdiam membenarkan pertanyaan dari Eva.
Hal yang benar-benar membuat ku sesak hingga Eva pun ikut terdiam memikirkan kesusahan yang sedang dilanda olehku tanpa bisa memberiku solusi hingga aku kembali terdiam dan Eva pergi melanjutkan pekerjaannya.
Lagi-lagi Riana bolak balik dihadapanku mencoba untuk mencari perhatian dariku. Tapi, aku yang sama sekali tidak menyukai wanita itu. Wanita dengan pikiran tidak normalnya membuatku tampak muak setiap kali melihat wajahnya.
Fokus dengan pekerjaan tapi masih tetap saja terpikirkan tentang masalah yang melanda diriku. Hingg saat aku keluar dari sebuah toko setelah membeli keperluan diriku, lagi-lagi aku bertemu dengan Alex.
Alex dengan penampilannya yang begitu berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia adalah seorang karyawan di perusahaan yang begitu besar, menjadikannya sorotan utama dengan parahnya yang begitu tampan membuat para wanita menjerit-jerit memanggil namanya. Tapi, Alex memilih untuk berjalan menghampiriku dengan senyuman tajamnya.
"Heh! Gadis keras kepala. Apa kabarmu? Sepertinya kamu hidup dengan baik yah. Menjadi seorang karyawan yang cukup besar ini?" tanya Alex.
"Iya seperti inilah aku, kenapa?!" balasku.
"Tidak ada! Bagaimana kalau kita makan bersama. Anggap saja sebagai pertemuan pertemanan kita," ajak Alex. Aku mengangguk menyetujui ajakan dari pria tampan itu.
Makan di sebuah restoran membuat ku terkejut dan tidak percaya jika pria yang temperamen nya sangat irit itu kini begitu royal di hadapanku. Membeli beberapa makanan hingga dia mengantarkan ku kembali ke kontrakan yang begitu kecil menurutnya.
"Kau yakin tinggal di tempat seperti ini?" tanya Alex.
"Apanya yang yakin? Aku sudah tinggal disini beberapa bulan. Kau meragukan kemampuan ku?!" Balasku.
"Bukan kemampuan kamu nya, tapi tempatnya. Kenapa kamu bersedia tinggal ditempat seperti ini?" tanya Alex.
"Bukan karena ketersediaan, tapi karena keadaan aku tinggal di tempat seperti ini. Lagu pula selama tidur ku nyenyak disini, itu akan jauh lebih baik," jelasku.
"Emm, baiklah-baiklah, kau masuk sana. Tapi ingat jangan pernah keluar malam-malam di tempat ini, mengerti!!" Tegas Alex.
Meski aku tidak mengerti apa yang dikatakan Alex. Tapi ucapannya memang sangat benar, aku sama sekali tidak pernah keluar rumah di malam hari. Aku memilih masuk kedalam kontrakanku dan membiarkan Alex pergi dari sana.
Alex pergi dari sana, aku hanya terdiam saat Alex menemaniku makan dan berbincang hal layaknya pertemanan yang baik. Tapi aku tak tahu apa yang sedang dilakukan Alex, mencoba membantuku, atau hanya melepas penat rasa lelahnya saja.
Alex juga menceritakan tentang pekerjaannya yang cukup menguras tenaga dan waktu yang membuatku hanya menanggapinya dengan diam tak mengerti pekerjaan yang begitu menguras otak itu. Tapi saat dia bersedia untuk menemani bahkan makan bersama denganku adalah suatu hal yang membuatku sedikit merasa canggung saat bersama dengan dirinya berteman dengan teman mantan kekasih memang terasa begitu asik, tapi jika dipikir lagi dia memang adalah teman sekolahku.
Tidak mencoba untuk terpikirkan apa yang dilakukan oleh Alex berjalan masuk ke dalam rumah hingga membersihkan tubuhku sembari terdiam. Aktivitas yang biasa kulakukan setiap pulang dari pekerjaan, aku selalu memilih untuk diri di dalam kamar dan memainkan ponsel yang baru saja beberapa hari lalu aku beli uang dari sisa tabungan Darwin. Berpikir untuk meninggalkan sesuatu darinya hingga kuputuskan untuk membeli sebuah ponsel sebagai kenangan dari Darwin.
"Hmm, hanya ada kontak Eva dan juga atasanku!" gumam ku sedikit menahan tawa akan koneksiku yang sangat buruk.
Saat aku sedang asyik memainkan ponsel yang ada di tanganku terutama bermain game yang cukup mudah seperti memberi makan kucing di game yang membuatku merasa terhibur setiap kali kucing piaraan ku meminta makan apa lagi marah karena ulahku. Sebuah ketukan di balik pintu membuatku terkejut hingga bergegas bangun dari tidurku dan berjalan membuka pintu dan terdiam ketika melihat pemilik kontrakan berdiri tepat di hadapanku.
"Mau sampai kapan kamu belum membayar tempat tinggalmu ini?" tanya ibu pemilik kontrakan.
"Sebentar lagi saya gajian, nanti biarku kirimkan langsung kepada Anda," ucapku menjawab pertanyaan dari ibu kontrakan.
"Hmm, sebaiknya seperti itu. Yang lain sudah membayarnya, tapi kamu selalu harus aku menanyakanny!" gerutu ibu kontrakan.
"Iya, maaf ya, Bu!"
"Hmm, makan sana! Sudah tersedia sedari tadi!" seru ibu kontrakan di balas anggukan olehku.
"Aku pergi, kamu kunci dengan baik jangan sampai ada yang masuk!" seru ibu Kontrakan.
Aku mengangguk untuk menjawab nasihat ibu kontrakan. Dia memang terdengar tegas, tapi selalu menepati tanggung jawabnya, dimana yang ngekost di tempatnya selain pasilitas yang baik dan memadai juga mendapatkan makan 2 kali dalam sehari. Sedikit meringankan bebanku yang sangat malas untuk mencari makan.
Terdiam setelah Ibu kontrakan pergi seketika aku kebingungan tentang caraku bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan sedangkan sebuah ATM pun tidak aku pegang sama sekali. Setiap aku aku gajian dia yang sebagai pengasuh anakku sama sekali tidak memberikan ku sepeserpun untuk keperluanku. Tapi demi Putri kesayanganku, aku memilih untuk tetap mengalah dan mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan uang untuk membayar kontrakan.
Biasanya, aku menggunakan uang dari tabungan ATM yang diberikan oleh Darwin untuk menutupi kontrakan tapi kali ini adalah kesalahan terbesar ketika aku malah membeli sebuah ponsel untuk menemani hariku.
"Apa yang harus aku lakukan mencari uang kemana?" gumamku.
Berjalan kembali dan duduk di atas tempat tidur, layar ponsel berbunyi dan tertera nomor yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi ponselku masih baru.
Meski ragu-ragu, tapi aku tetap menerima panggilan telpon itu.
"Lama sekali kamu mengangkatnya, Cha?" Suara yang tak asing, terdengar sangat nyaring di telingaku.
"Cha, Cha! Kau masih disana kah!"
Alex berteriak memanggil-manggil namaku memperjelas pendengarannya.
"Dari mana kamu dapat nomor telepon ku?" tanyaku.
"Kau ini, bukankah kau tadi pergi membeli kartu perdana dan aku yang mengantarmu?" balas Alex.
"Hmm, biasanya orang itu meminta nomor telepon kepada yang bersangkutan. Bukannya malah menyimpannya sendiri!" protes ku.
"Hahah, iya maaf kalau begitu. Apakah aku boleh menyimpan nomor ponsel mu, Cha?" tanya Alex.
"Sudah terlambat. Ada apa kau menelponku?" tanyaku dengan acuh.
"Ya ampun, galak sekali sih kamu. Aku ingat sekali, kau sama sekali tidak bersikap seperti ini kepada Sam.Apakah tidak berlaku kepadaku untuk berbicara sangat lembut dan dengan wajah itu?" tanya Alex dengan nada sedikit mengejek.
"Tidak ada."
"Ish, kau ini benar-benar tidak memberikan kesempatan kepada orang lain!" seru Alex.
"Ini sudah sangat larut sekali, kenapa kau menelponku? Bukankah baru saja kita bertemu?" tanyaku.
"Tidak ada, aku hanya ingin memastikan saja kau sudah tidur atau belum dan satu lagi sepertinya ponselmu tidak bisa melakukan panggilan video, ya?" jelas Alex.
"Hmm, aku sedikit bersyukur akan hal itu. Karena bisa menghindar melihat wajahmu!" seruku.
"Kenapa, bukan kah aku sangat enak di lihat?" tanya Alex.
"Tapi kau bukan makanan yang enak di pandang!" seruku.
"Jika tidak enak di pandang, mungkin bisa juga di makan," balas Alex.
Mendengar Alex mengatakan ungkapan makan, membuatku tertegun teringat akan ucapan Sam yang sering mengatakannya. Pertama dan terakhir dia mengatakannya dulu, hingga meninggalkan benih menjadi putri kecilku yang sudah berusia 7 bulan kali ini, sangat aku rindukan. Merindukan bayi kecil yang selama 9 bulan di dalam kandungan, sempat menyusui juga adalah hal yang sangat menyakitkan bagiku setiap kali merindukannya.
"Cha, Cha! Kamu melamun lagi!" teriak Alex.
"Hmmm, ada apa?" tanyaku.
"Jangan terlalu keseringan melamun, bukankah kamu sudah berpengalaman!" seru Alex tertawa.
"Aku tutup saja!" seruku.
"Eeeh, jangan! Kenapa kamu begitu mudah marah Cha?" teriak Alex sembari bertanya.
"Karena kamu mencurigakan!" tegasku.
"Apanya yang mencurigakan, aku hanya ingin menemanimu dan memastikan kamu baik-baik saja!" seru Alex.
"Tapi kamu yang menggangguku!" protes ku.
"Hah, sejak kapan aku mengganggumu. Aku bahkan menemanimu sepanjang malam agar tidak melamun terus!" jelas Alex.
Seketika aku terdiam, hal yang benar apa yang di katakan Alex tentang aku yang sangat tidak jarang untuk berdiam diri tanpa bicara apalagi menghiraukan orang lain. Terpikirkan akan putriku dan juga rasa rindu yang hegitu dalam untuknya tak dapat terbayar ketika tanteku bahkan sama sekali tidak memperbolehkanku untuk bertemu dengan anak yang aku lahirkan dengan susah payah dan jiwa raga.
"Nah, kan. Melamun lagi!" seru Alex.
Suara Alex benar-benar membuyarkan lamunanku.
"Hmm, besok aku kerja lagi. Aku tidur ya?"
"Baiklah, kau pasti tidurkan?" tanya Alex.
"Hmm," balasku.
"Cha?" panggil Alex.
"Hmmm," balasku.
"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Alex.
"Memang kenapa?" balasku.
"Kamu terlalu sering melamun dan tidak baik untuk mu seperti itu," ucap alex.
Aku terdiam, menarik nafas dan mencoba menjawabnya. "Ya, aku baik."
"Kau yakin?" tanyanya.
"Iya," anggukku.
"Jika kamu butuh bantuanku, jangan sungkan," ucap Alex.
"Jika aku butuh uangmu apa yang akan kau lakukan?" hal bodoh yang pernah aku tanyakan pada Alex.
"Kau butuh berapa?" balas Alex, tidak ada nada ragu-rahu di tanyakan Alex.
"Semua!" seruku terlanjur mengelabui nya.
"Semua bagaimana, Cha? Kamu mau pegang seluruh uangku seperti seorang istri?" tanya Alex.
Aku tertegun mendengar ucapannya yang membuatku terkejut dan secepatnya aku mematikan panggilan telpon Alex tanpa berbicara lagi.
"Pria gila, aku bicara apa saja malah balik bertanya dan mengatakan hal yang tidak-tidak!" gerutuku.
Terdengar dering dari ponselku, tanda sebuah pesan masuk. Mencoba meraih ponsel kembali dan membuka pesan itu, aku terdiam membaca isi pesan dari Alex dengan nada lain dari biasanya.
"Katakan jumlahnya, aku akan memberikan nya untukmu. Kamu cukup mengembalikannya jika nanti punya uang untuk membayarnya," pesan dari Alex membuatku terdiam.
Tanpa mencoba membalas pesan dari Alex, aku memilih untuk tertidur setelah mematikan lampu kamar dan mencoba untuk melupakan hal konyol yang sempat aku katakan dan aku dengar bersama Alex. Tidak pernah terpikirkan oleh ku akan bertemu lagi teman Sam dan juga sampai berbicara se intim tadi. Rasa bukan kami yang sebagai teman masa sekolah dalam perbincangan.
Terasa baru saja aku memejamkan mata, tapi ternyata hari sudah siang. Bahkan matahari sudah jauh di atas sana. Karena hari ini adalah hari libur, aku memang lebih sering bermalasan tanpa mencoba untuk keluar apalagi sampai pulang dan menemui putri kecilku. Malah, akan semakin membuatku merindukan nya tanpa di perbolehkan melihatnya, apalagi dengan alasan jika anak aku sendiri akan menangis dan tidak ]ngin di tinggalkan olehku.
Bangun dari tidur dan berjalan, terdengar ketukan pintu membuatku memajukan bibir, jika pemilik kontrakan yang datang lagi, itu adalah hal yang tidak mungkin. Aku terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapanku setelah ku buka pintu nya.
"Tuan putri bangun sangat lama sekali. Sampai-sampai membuat kedua kaki ku kesemutan seperti ini!" seru Alex masuk dan duduk menjulurkan kedua kakinya yang keram.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku acuh.
"Nih, Aku membawakanmu sarapan pagi! Tapi ternyata Tuan Putri begitu pemalas sampai membuatku menunggi selama 2 jam!" seru Alex.
"2 jam? Kamu menunggu selama itu, aku tidak percaya!" seruku.
"Kamu bisa bertanya pada pemilik kost .mu yang sedari tadi terkagum memperhatikan aku yang tampan ini," jelas Alex.
Terdiam menatap dengan penuh pertanyaan kepadanya, tapi Alex terlihat tidak sedang mengarang cerita. Dia menatapku sembari mengerutkan dahinya.
"Jangan karena kamu cantik, mengabaikan kewajibanmu untuk mandi ya, Cha! Sana kamu bersih-bersih nanti baru kau makan!" teriak Alex.
"Sesuka ku!" bantahku.
"Kalau begitu, sarapan pagi dan juga makan siang mu, aku yang akan memakannya!" seru Alex.
"Curang, jika itu untukku. Kau sudah tidak berhak mengambilnya lagi!" gerutu ku.
"Aku belum membetikannya padamu!" seru Alex, membuatku terdiam.
"Jika kamu bergegas mandi, semua ini untukmu!" tambah Alex.
"Iya, Kau berisik sekali!" teriakku.
Beranjak dari duduk, merutuki Alex yang tertawa dan pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuh dan sengaja mengulur waktu, aku mandi dengan sangat lama. Tersenyum puas aku mandi dengan waktu yang cukup lama, hingga aku keluar dan melihat Alex tertidur di atas tempat tidur yang belum sempat aku rapihkan. Mengangkat srbelah alis mencoba mendekati tepat rias dan membenarkan pakaianku juga sesekali ku lihat Alex yang tertidur pulas tanpa merubah posisi tidurnya.
Duduk di atas alas tikar saja, aku membuka bingkisan yang di bawa Alex, membukanya, terlihat beberapa makanan ringan dan juga makanan cepat saji ada di bingkisan pertama, termasuk satu toples permen warna warni disana.
"Ini untuk ku kah? Atau dia berbelanja sebanyak ini, untuk seorang pria?" gumamku.
Tanpa banyak berpikir lagi, aku memakan makanan yang ada 2 bungkus disana. Mungkin yang satu lagi khusus untuk Alex, meski ada sarapan pagi dari ibu kontrakan tapi makanan yang di bawa Alex jauh lebih enak dari yang pernah aku makan. Tanpa ragu aku bahkan menghabiskannya tanpa sisa, perasaan lega dan terpuaskan ketika memakannya tanpa gangguan Alex, perasaan lega dan kenyang membuat wajahku berseri dan meminum air mineral hingga bersendawa.
"Hihi, dasar Icha. Kau sudah termasuk minta izin tadi. Hmm, anggap saja begitu," gumam ku tertawa tertahan mengejek Alex yang selalu merutuki apa yang aku katakan dan perbuat.
Membiarkan Alex tertidur di siang hari, aku bukakan pintu kostan dan melihat ibu kontrakan kebetulan datang ke kontrakanku.
"Kamu sudah makan belum?" tanyanya.
"Sudah, Bu!" anggukku.
"Eh, dia tidur? Pagi sekali dia datang menemuimu, sudah ku suruh untuk mengetuk pintu, tapi tidak dia lakukan. Malah kontrakanmu juga sudah dia bayar selama 6 bulan. Dia pria bertanggung jawab pada wanitanya ya? jelas ibu Kontrakan.
Seketika aku terkejut mendengar ucapan dari ibu kontrakan dan melihat ke arah Alex yang masih dalam tidurnya. Bagaimana bisa pemilik kontrakan beranggapan seperti tanpa tahu dariku sendiri? Saat aku mencoba untuk bertanya maksudnya. Aku sadar, jika Alex sudah terbangun tapi masih berpura-pura tidur di hadapanku.