Diamnya

1026 Kata
Sepanjang perjalanan, Alex masih fokus dengan kemudi tanpa mencoba beralih mrlihat ke arahku. Dia terlihat seakan ingin membawa kendaraan di arena sirkuit. Tapi dia juga mengurungkannya. "Al ...." Takut, saat Alex menatapku dengan kemarahan yang dia tahan. Aku terdiam tanpa mencoba untuk berbicara lagi padanya. Sakit di hati saat diri ini di diamkan tanpa mencoba untuk memarahiku, lebih menyakitkan saat dia diam tanpa kata. Ingin pulang dan di sibukan oleh pekerjaan tanpa harus merasa seperti saat ini. Dia menganggap diriku seakan hanya harus menurutinya saja, sama seperti pria lainnya. Wanita hanya di anggap angin dan tempat berlabuh saja, tanpa mendengarkan penjelasan dan memberi penjelasan dengan benar. Saat mobil memasuki kediaman mengingat hari sudah sangat malam, terlihat hanya ada beberapa orang yang masih bekerja di sana. Saat berhenti Alex membuka pintu tanpa untuk menoleh kearah ku apalagi membukakan pintu untukku. Hanya ada seorang penjaga yang membukakan pintu untuk diriku, hingga perasaan sakit di dalam hati kembali terasa saat Alex benar-benar mendiami ku. Menahan air mata yang hampir saja keluar dari perasaan yang terluka, kedua pria kutemui hari ini membuatku merasa tidak ingin berada di situasi seperti saat ini. Rasanya jika aku memiliki kemampuan untuk pulang, aku lebih ingin memilih untuk kembali tanpa mereka termasuk Alex. Saat aku menoleh kearah pintu gerbang, sebuah mobil juga masuk dan berhenti tepat di belakang kami. Samuel dengan Arya keluar dari mobilnya juga baru sampai di rumah. Saat Samuel dan Arya berjalan melewati diriku, gadis itu tersenyum menyeringai dia menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku. Alu bahkan tidak pernah terpikirkan untuk bisa menggandeng tangan Samuel dari dulu, apalagi terjadi sesuatu hal yang bodoh di lakukan oleh Samuel untuk menghancurkan kehidupanku. Membiarkan mereka berjalan terlebih dahulu dariku hanya membuatku engga untuk melangkah masuk ke dalam rumah, rumah yang sama sekali tidak hangat meski ada begitu banyak orang yang tinggal di sana. Rasanya ingin sekali aku tidak masuk dan ingin sekali untuk memilih berdiam di luar tanpa harus menjaga keadaan agar baik-baik saja. Tapi, keluarga Alex pasti berpikiran yang tidak bisa ku duga, jika tahu kalau aku yang baru saja menikah dengan Alex, tiba-tiba saja terdiam seorang diri di luar rumah dengan perasaan yang tidak bisa ku ungkapkan kepada siapapun. Berjalan melangkah tanpa arah meski enggan ku lakukan untuk berada lagi di rumah itu. Tapi, aku juga tidak memiliki kemampuan untuk pergi dari sana. Bersama dengan Alex adalah pilihanku dan juga keputusan yang sama sekali tidak ada paksaan apalagi tekanan dari siapapun. Hal yang terjadi memang harus aku telan baik-baik dan menyimpannya, tanpa mencoba untuk memperhatikan Samuel dan Arya yang berada di sofa menatap ke arahku yang berjalan. Aku memilih untuk pergi mengabaikan mereka dan menaiki tangga. "Lihatlah wanita itu, bahkan tidak tau diri tanpa menyapa pemilik rumah." Terdengar ucapan Arya membuatku semakin tidak tahan untuk pergi dari sana dan berharap bisa segera masuk ke dalam kamar. Tidak ada Alex di sana, melainkan kamar yang kosong tanpa ada siapapun. Aku lebih memilih untuk berbalik dan menutup pintu rapat-rapat, ingin sekali aku menguncinya. Namun jika Alex masuk mungkin dia akan tambah marah kepadaku. Tengah malam dan mengingat segala hal yang terjadi, pernikahan yang sama sekali tidak pernah ku harapkan akan menjadi seperti ini dan juga kehidupan seperti apa yang ku inginkan masih belum bisa ku dapatkan. Saat aku terdiam di balkon kamar dengan bantuan cahaya bulan di malam hari. Dering ponsel berbunyi membuatku terkejut dan mencoba menarik nafas dan membuangnya agar tidak membuat semua orang khawatir akan keadaanku. "Kau sedang dimana ...?" Suara Diana di balik telpon membuat ku terkejut saat dia untuk pertama kalinya menelponku dengan nada yang sering dia lakukan. Berbicara dengan apa adanya kepadaku. "Aku sedang di luar kota dan sepertinya akan beberapa hari di sini," jawab ku. "Kenapa ... kau terdengar tidak semangat? Bukankah kau sedang berlibur, lebih tepatnya bulan madu. Seharusnya aku tidak memiliki kesempatan untuk mengangkat telpon ku?" tanya Diana. "Jika kau tidak ingin mengangkat telpon mu, kenapa kau menelpon ku ...." Suasana ku mulai jauh lebih baik. Hingga mampu untuk protes kepada temanku itu. "Setidaknya aku bisa mengganggu pengantin baru di malam yang indah ini. Saat ini aku melihat bukan bersama anak dan suamiku. Apakah kau juga melakukan hal yang sama ..." balas Diana. "Yaa, aku juga sama sedang menikmati indahnya bulan menerangi kehidupanku yang sama sekali tidak bisa ku utarakan." Pandanganku kosong saat melihat bulan yang begitu terang memberikan cahaya di balkon kamar. "Kau juga bersama dengan suamimu?" tanya Diana. "Yaa, dia juga ada di sini. Di sampingku bahkan kami bercerita." Mungkin sepanjang malam kebohongan ku ucapkan membuat Diana tertawa, berkemungkinan besar dia sudah tahu apa yang ku katakan dan hal itu tidak mungkin terjadi kepadaku. "Baik-baiklah ... aku tidak akan mengganggu lagi. Setidaknya itu jauh lebih baik di bandingkan kamu yang seorang diri merenung segala kesedihan yang kamu miliki. Ingatlah Cha, akan jauh lebih baik bercerita membagi segala suka maupun duka cita dengan orang-orang terdekat, termasuk aku. Kau memiliki hak untuk berbicara kepadaku menceritakan segala hal yang membuatmu merasa harua menceritakannya." Ucapan Diana membuatku tertegun. Seorang ibu rumah tangga seperti dia jauh lebih memahami diriku dibandingkan orang-orang terdekatku. Setelah menutup panggilan telpon, aku menyimpan ponsel di atas meja. Kembali melihat langit yang begitu terang yang menerangi malam dan menemani hatiku yang sakit. Ketika seorang suami yang bahkan tidak bisa dan tidak ingin mendengarkan penjelasan dariku. Apakah benar siapa orang-orang yang dekat denganku? Sepertinya tidak ada! Aku bahkan seorang diri di sini. Di dunia ini aku seorang diri, tanpa kedua orangtua, putriku bahkan tidak menginginkan diriku sendiri. Ada seorang suami yang ku anggap sangat dekat denganku, tapi ternyata aku malah mengecewakannya dan mungkin saja semua perasaan sama hancurnya seperti diriku. Di saat aku juga terluka ketika melihat suamiku sendiri mengabaikanku tanpa menganggap diriku ada. Sempat aku mendengar ucapan Aria yang mengatakan jika dia berjanji sehidup semati dengan Samuel yang selalu memanjakannya. "Cih, untuk apa aku teringat dia, dan memikirkannya? Ada Al yang bahkan sedang marah padaku saat ini." Merutuki diri sendiri, sudah jadi rutinitas bila aku memang merasa bersalah. Berharap Alex masuk ke kamar dan mau mendengarkan penjelasanku, itu yang ku inginkan kali ini. "Coba aku tunggu dia masuk, mungkin dia sedang ada urusan dengan keluarganya," mencoba untuk menenangkan diri dengan berasumsi baik-baik tentang suamiku itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN