Perdebatan Kecil

1276 Kata
Cup. “Morning kiss.” Benda kènyal mendarat tepat di keningku, hal itu mampu membuatku membulatkan mataku dengan sempurna. “Sudah puas lihatin aku terus hem ...?” Gawat aku terciduk ternyata. Aku segera menutup wajah menggunakan kedua tanganku. Malu. Jelas jika aku malu ketika terciduk sedang mengamati wajah tampannya. “Ehem ... Kenapa musti di tutup sih?” ucapnya. Dengan suara berat yang terdengar serak, khas bangun tidur tentunya. Aku segera menarik selimut membenamkan seluruh kepalaku ke dalamnya. Dia malah terdengar terkekeh ketika melihat kelakuanku. Bayangkan aja gimana malunya ketika tertangkap basah sedang asik mengamatinya. Bagaimana dia tau coba kalo aku senang liatin dia. Sedangkan matanya jelas tertutup rapat. “Ayo bangun ... Aku harus mengunjungi Farah dan membawakan bunga kesukaanya. Kamu mau ikut?” dia ikut memasukkan kepalanya ke dalam selimut tempatku bersembunyi. Untuk beberapa saat pandangan kami saling beradu. Entahlah ada debaran aneh yang aku rasakan di dalam sana. Meski pencahayaan di dalam selimut tidak begitu jelas, tapi aku bisa melihat wajah tampannya, dengan guratan-guratan yang mempertegas wajahnya. “Kamu suka menatapku seperti itu? Apakah aku tampan?” kelakarnya. Bodohnya aku yang tanpa sadar mengangguk setelah mendengar pertanyaan darinya. Cup. Lagi-lagi dia mencuri ciuman dariku. Kenapa aku selalu pasrah ketika dia memperlakukan aku seperti itu. “Ayo bangun tuan putri. Kita akan pergi jalan-jalan hari ini,” ujarnya. Dia segera menarik selimut yang sedang menutupiku. “Kemana?” “Sudah ikut saja. Nanti kamu bakal tahu,” jelasnya. Sementara aku yang masih malas bergerak, dengan lemas segera beranjak dari tempat tidurku saat ini. “Ayo ... Bangun!” titahnya. Dengan berat aku segera beranjak lalu menunaikan kewajibanku di pagi hari. Setelah selesai aku segera keluar menuju ruang tamu. “Kamu mau belanja?” tiba-tiba Leon muncul dari arah belakang. Sungguh kedatangan nya membuatku sangat terkejut. “Boleh, aku akan bersiap terlebih dahulu,” jelasku. “Oke.” “Ayo!” aku berdiri tepat di hadapannya. Untuk beberapa saat dia terpaku menatapku. Aku malah jadi salah tingkah karena ulahnya. Tapi aku berusaha menutupi hal itu, dengan bersikap seolah aku tidak merasakan apapun. “Kamu mendengarku?” aku melambaikan tanganku di hadapan wajahnya. “Eh, iya ayo!” Leon berdiri lalu mengulurkan tangannya. Aku menaikkan sebelah alis ku, bingung dengan maksudnya. “Ayo ... Pegang tanganku. Aku tak akan melepaskanmu sampai kapanpun,” ujarnya sembari menarikku keluar dari apartemennya. “Hah ...?” lirihku. Apa yang dia katakan tadi? Tidak akan melepaskanku? Jangan bilang aku salah dengar, atau terlalu kege’eran dan dalah mengartikan ucapannya. “Aku akan menjagamu sampai ajal menjemputku Raina!” Nyess. Entahlah tapi hatiku mendadak menjadi tenang setelah mendengar ucapannya. “Anda sedang tidak menggombal kan?” cecarku. Aku bukan wanita yang suka diiming-imingi janji-janji palsu. Sudah cukup di masa lalu aku dipermainkan. Jangan sampai aku terjebak bujuk rayu lelaki untuk kesekian kalinya. Yah ... Meski dia berstatus sebagai suamiku bukan? ”No, aku serius. Itu adalah janjiku. Kamu lihat langit yang cerah itu?” tanyanya. “Iya aku lihat,” jawab ku dengan cepat. “Kita lihat jika dia menjadi gumpalan gelap, dan turun hujan dalam jangka waktu sampai nanti malam. Berarti aku tidak serius dengan ucapanku. Kamu bisa pegang kata-kata seorang lelaki,” ujarnya. Yah laki-laki memang yang di pegang omongan nya. Tapi aku tak ingin berharap untuk kesekian kalinya kepada manusia. “Jika tidak hujan?” pancingku. “Berarti aku memang serius dengan ucapanku kali ini.” jelasnya. Aku hanya manggut-manggut. “Sungguh manusia yang datar. Tidak romantis banget. Masak cuaca di sangkut pautkan dengan janji. Emangnya dia BMKG apa? Atau jangan-jangan pawang hujan kali ya?” gerutuku. “Ehemm ... Aku masih bisa mendengar ucapanmu dengan jelas lho.” Aku hanya tersenyum kikuk karena ulahnya kali ini. Tanpa terasa, karena kami keasikan mengobrol, ternyata kami sudah sampai di parkiran mobil. “Pak Arif mana?” heranku. Karna dia tidak aku lihat dari kemarin, setelah mengantarkan kami pulang. “Dia aku suruh libur. Yah itung-itung refreshing dari pekerjaan, karena akhir-akhir ini aku sering mengomel tidak jelas kepadanya,” jelasnya. “Oh ...,” sahutku singkat. “Silahkan masuk!” dia membukakan pintu mobil untukku. Aku segera duduk di bangku depan tentunya. “Kita belanja dulu ya?” Aku hanya mengangguk pelan. Dia menyalakan mobil BMW, keluaran terbaru miliknya melaju membelah keramaian kota di pagi hari “Kamu mau dengar lagu?” tawarnya kepadaku. “Em ... Boleh,” ucapku. Leon segera menyalakan radio yang ada di dasbor mobilnya. Lagu yang diputar kali ini adalah lagu dari Pamungkas to the bone. Tanpa kami sadari kami ikut menyanyikan lagu itu bersama-sama. Sesekali aku melirik ke arah Leon yang fokus dengan setir mobilnya. “Lagunya dalam banget ya?” ujarnya. “Hah ... Eh ... Iya,” jawabku baru sadar. “Aku juga berharap suatu hari nanti kamu bisa mencintai ku hingga ke tulang,” ujarnya. Aku hanya bergeming. Asli deh, aku baru tahu kalo ternyata dia jago banget gombalnya, aku kira dia manusia kutub. Mungkin karena belum menemukan yang cocok sehingga dia selalu bersikap datar kali ya. Akh ... aku hanya bisa menerka-nerka sambil mengamatinya. “Kita ke pasar aja ya?” pintaku. “Hah?” dia terlihat sangat kaget mendengar kata pasar. “Iya, ke pasar. Emang kenapa? Jangan bilang.” Aku menghentikan ucapanku. Dia mengangguk. “Ke Supermarket aja ya?” pintanya. “Tapi aku ingin ke pasar. Udah lama aku nggak ke sana. Kan aku mau beli kebutuhan dapur. Dan di sana harganya juga terjangkau,” kilahku. Dia nampak berpikir keras. Menimang, antara iya atau tidak. “Di supermarket aja ya? Toh biar sama tokonya juga bakal aku beli buat kamu,” ujarnya. “Ck, nggak seru deh. Kalo kamu nggak mau aku aja yang masuk. Nanti kamu tunggu di luar, gimana?” tawarku kepadanya. “Nanti kamu ilang, atau kamu nyasar. Gimana dong? Oh iya kamu belom punya ponsel. Kita ke Mall aja. Sekalian beli ponsel buat kamu.” “Yah ... Ini mah alesan kamu aja. Bilang aja kamu nggak mau masuk ke pasar tradisional, iya kan?” cecarku. “Iya itu salah satu alesannya. Selain itu juga nggak higienis dan bau.” ucapnya, yang terlihat, jika dia jijik saat mengatakan itu. “Tapi.” “Stop deh. Nurut sama suami sehari aja bisa kan Ra?” ujarnya. Padahal aku belum selesai dengan ucapan ku. “Iya udah, iya. Dari pada perdebatan kita makin panjang. Kali ini aku ikuti kemauanmu,” kataku dengan sedikit kesal. Dia hanya menampilkan smirknya, seolah-olah dia menang dari taruhan. Akhirnya kami sampai di Mall dan mendapatkan barang-barang yang kami cari. Setelah selesai dengan urusan belanja. Leon mengajakku untuk mengunjungi makam Kak Farah lagi. Dia berjanji selama 40 hari akan terus datang membawa kan bunga segar kesukaan nya. Ketika aku hendak melangkahkan kaki memasuki area makam. Tiba-tiba saja aku menghentikan langkah kakiku. “Kamu siap?” Aku menarik napas dalam lalu kuembuskan dengan berat. Aku mengangguk pelan. Leon meraih jemariku membawa ku menuju makam Kak Farah. “Hai Kak Farah. Aku datang,” lirihku. “Hai Sayang! Kami datang membawa kanmu bunga. Aku sudah memenuhi janjiku kepadamu. Ada lagi sih yang belom.” Leon melirik ke arahku saat ini. “Apa?” bisikku. “Farah kan nyuruh kita bawa anak ke sini. Nah kita aja belum ngapa-ngapain,” kelakar nya. Aku mencubit lengannya lalu pergi meninggalkannya. “Kak Farah. Aku pamit lain kali aku akan kesini lagi,” ujarku. Aku pergi memasuki mobil terlebih dulu. Leon menyusulku dan segera meraih tangaku. “Maaf, aku nggak akan memaksamu kalo kamu belun siap dan belum mencintaiku,” jelasnya. “Maafkan aku juga, aku akan berusaha membuka hatiku kedepannya,” lirihku. Sedetik kemudian. Cup. Bibir kamu saling bertaut, Leon mèlùmàt bibirku perlahan-lahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN