Leon.
.
.
Aku mengikuti langkah Raina perlahan-lahan tepat lima meter di belakangnya.
Aku sengaja membuat setiap langkahku menjadi perlahan, dan tak berbunyi sedikit pun. Aku yakin jika dia mengetahui bahwa aku mengikuti dirinya pasti dia akan marah.
Aku hanya ingin memastikan ke mana dia akan pergi, dan juga agar dia tidak terjatuh atau tersandung tentunya.
Dia berbalik dan langsung menodongku dengan tongkat yang dipegangnya.
“Untuk apa kamu datang ke sini?” heran. Aku tak percaya dia bahkan lebih cepat dari pada manusia normal. Maksudku orang yang bisa melihat.
“Dari mana kamu tahu?” selidikku.
Sungguh, dia bahkan bisa membuatku dilanda rasa penasaran yang cukup besar.
“Hah ... Aku memang buta, tapi perlu kamu ingat, jika aku bukan bodoh. Terlebih lagi aku juga tidak tuli.” ujarnya.
Dia mampu membungkamku dengan jawabannya yang sangat monohok itu.
Aku hanya bergeming. Tak tahu harus berbicara apa kepadanya. Kucoba kembali memanggilnya.
“Raina.” Diam, dia bahkan tak mau menjawab panggilanku sama sekali.
“Raina!” aku mendekatinya sembari memegang pundak sebelah kirinya. Namun, tanganku dengan cepat ditepis olehnya.
“Apa? Jangan buat masalah di sini. Aku bisa saja berteriak, mengumpulkan orang-orang untuk mengeroyokmu,” ujarnya dengan ketus.
Dia kembali melangkah, entahlah ke mana dia akan pergi. Namun aku masih tetap mengikuti setiap langkahnya. Biar bagaimanapun dia juga tetap istriku. Tanggung jawabku. Bahkan jika dia berteriak aku tak segan-segan menggendongnya dan membawanya kabur dari sini.
“Ra-”
“Berhenti mengikutiku, Tuan!” selanya. “Aku ingin hidup dengan caraku sendiri!”
“Raina dengarkan aku, aku memang egois. Tapi tolong dengarkan aku sekali saja!” pintaku. Aku berharap dia mau mendengarkan perkataanku kali ini saja.
“Tidak. Tolong tinggalkan aku sendiri. Jika anda tidak pergi juga maka aku akan berteriak sekarang juga!” ancamnya lagi. Bukannya aku takut, tapi sebaiknya aku mengikuti maunya saja. Sepertinya begitu akan lebih baik. Daripada kami ribut dan berujung aku tak akan tahu di mana dia tinggal bukan?
“Oke, aku akan pergi. Tapi tolong katakan di mana kamu tinggal sekarang?” rasa penasaranku memang tak bisa kubendung lagi kali ini.
Kulihat dia mengembuskan napas panjang, dan hanya bergeming tidak mau menjawab ucapanku.
Akhirnya dia melangkah pergi meninggalkanku. Tanpa sedikitpun menghiraukanku.
Hey Raina Aku di sini.
Hah. Seandainya itu bisa kuucapkan kepadanya.
Setidaknya tolong dengarkan aku sekali saja. Mungkin saat ini aku terlihat sangat egois, dan tidak memikirkan perasaannya. Benar kata Farah, aku memang lelaki yang tak pernah menggunakan perasaan, aku lebih cenderung menggunakan otak daripada memadukannya dengan hati. Sepertinya semua pria memang seperti itu kan.
.
Setelah berjalan beberapa saat, dia akhirnya memasuki sebuah rumah besar. Di depan ada sebuah papan Nama ‘Panti Asuhan Kasih Ibu’
Aku sengaja menjaga jarak yang cukup jauh dengannya. Setelah ku lihat dia memasuki panti dengan selamat. Aku hendak pergi. Namun tiba-tiba ada seorang anak kecil muncul di hadapanku.
“Om tiapa?” sapanya kepadaku. Umurnya kira-kira 5 tahunan. Sungguh menggemaskan. Seandainya aku memiliki anak pasti juga dia sudah seusia anak ini.
Apa yang kau pikirkan Leon sadarlah. Kenyataan tiba-tiba menamparku. Bagaimana mau punya anak kalo hubunganku dengan kedua istriku tidak terlalu baik. Aku mengembuskan napas berat.
.
“Maaf ada yang bisa saya bantu Pak?” sapa seorang wanita paruh baya, hal itu mampu mengagetkanku saat ini.
“Begini Bu, saya kesini mencari Istri saya. Mungkin beberapa waktu ini kami sedang menghadapi sedikit masalah kecil. Ya, biasa lah Bu ada masalah rumah tangga yang perlu kami selesaikan.” ungkapku. Aku yakin jika Raina masih bisa mendengarku dari dalam sana. Aku sungguh berharap dia akan keluar menemuiku walaupun hanya sejenak.
“Anda suaminya Raina?” tanya wanita paruh baya itu.
“Iya Bu, saya hanya ingin meluruskan permasalahn kami saja. Maaf jika kedatangan saya tidak sopan. Perkenalkan saya Leonard Emilio,” kuulurkan tanganku kepada wanita paruh baya itu.
“Saya ibu Asih. Saya pemilik sekaligus pengurus panti ini. Apakah perlu saya panggilkan Raina untuk anda?” tawar Bu Asih.
“Bolehkan saya bertemu dengannya Bu? Maaf jika saya merepotkan. Saya ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.” jelasku.
“Tunggu sebentar ya Pak, saya akan tanya Raina terlebih dahulu. Silahkan duduk dulu Pak.” Aku hanya mengangguk dan duduk di kursi yang memang ada di teras.
“Om ...?” sapa gadis kecil itu lagi.
“Iya ada apa?” tanyaku sedikit heran.
“Om napain tetini?” kata anak itu dengan bahasa yang masih cadel.
“Om mau jemput Tante Laina,” jawabku singkat.
“Nooo ... Tiedyak bouweh!” aku mengeryitkan dahiku, ucapakn anak kecil ini terdengar sangat lucu bagiku.
“Tenapa?” tanyaku heran. Aku sengaja mengikuti setiap ucapan cadelnya.
“Talena ... Em ... talena pa'an yhaa? Talena Tatak Laina ithu teman Ajdheng! diha tiedyak bouweh pelgi.” celotehnya.
“Tapi tante Laina Ithuu punha Om!” godaku kepada anak itu. Eh, bisa-bisa nya aku malah mengatakan hal itu.
“Maaf Pak Leon, sepertinya Raina belum mau keluar,” ucap Ibu Asih dengan sedikit ragu. Sepetinya dia merasa tidak enak dengan situasi saat ini.
“Tidak apa-apa Bu sepertinya saya akan menunggi di sini sampai dia mau keluar. Tapi bisa kah saya minta nomor ponsel yang bisa dihubungi Bu?” aku sedikit ragu ketika menanyakan kontak panti ini. Akan tetapi sepertinya aku sangat membutuhkannya.
“Ini kartu nama saya Pak. Jika ada sesuatu mendesak an bisa menghubungi nomor saya.” kata Ibu Asih.
“Saya ke sini sebenarnya karena permintaan dari istri pertama saya Bu.”
Aku menceritakan permasalahan yang sedang terjadi antara aku Farah dan Raina tentunya.
Aku juga mencoba meminta bantuan Ibu Asih untuk membujuk Raina. Agar dia mau menerima donor mata. Tapi aku memintanya untuk tak mengatakan kalo donor mata itu dari Farah.
Jelas jika dia tahu pasti tidak akan mau menerimanya, terlebih lagi jika dia tahu orang itu adalah Farah.
Sudah sekitar dua jam aku menunggu di sini. Akan tetapi tanda-tanda Raina akan keluar sepertinya tidak ada.
Di sisi lain aku juga khawatir dengan keadaan Farah saat ini.
Tiba-tiba sebuah panggilan, masuk ke ponselku. Tanpa pikir panjang aku segera mengangkat panggilan itu.
“Halo?”
“Kak Farah Drop Kak!” jelas orang dari seberang sana. Sudah pasti itu adalah Raihan adik iparku.
“Oke, aku akan balik sekarang!”
Segera kuakhiri panggilanku. Aku segera berpamitan kepada Ibu Asih. Dan memintanya agar menyampaikan pesanku kepada Raina.
Aku berlari ke tempat di mana pertama kali bertemu Raina tadi. Lumayan jauh aku memarkirkan mobilku.
Segera kunaiki mobilku dan kulajukan dengan kecepatan penuh membelah keramaian kota.
“Shìt! Kenapa harus macet segala!”
Umpatku.
Sungguh, jika ada aku ingin sekali membeli pintu ajaib doraemon. Agar aku tak kesulitan pergi kemana saja.
Sial. Jarak yang seharusnya aku tempuh dengan waktu setengah jam kini malah molor menjadi satu jam.
Aku segera berlari memasuki rumah sakit menuju ruangan di mana Farah di rawat.
“Gimana keadaanya saat ini Ma?” aku sangat cemas ketika melihat Ibu mertuaku beserta adik iparku sedang menunggu dan terlihat sangat cemas di depan ruangan.
“Tiba-tiba keadaanya drop Nak.”
“Tuan Leon bisa ikut saya?” kata dokter Kevin. Aku segera melihat orang yang memanggil ku tiba-tiba.
Aku segera mengikuti dokter itu ke ruangan nya.
“Bagaimana dok?” cecarku.
“Seperti permintaan pasien untuk medonorkan matanya. Sebaiknya kita lakukan segera Pak! Saya akan menghubungi dokter Mahen untuk melakukan operasi pemindahan mata.”
“Maksud anda apa dok? Apakah Farah memang sudah tidak bisa diselamatkan?” teriakku.
Kenapa hatiku begitu tidak ikhlas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Begitulah keadaannya saat ini Pak. Jika bisa penerima donor tolong segera disipakan!”
Bingung.
Otakku bahkan tidak bisa bekerja dengan benar disaat segenting ini. Antara emosi dan tidak ikhlas menerima kenyataan saat ini.
Akhirnya aku meninggalkan ruangan dokter Kevin dan segera menuju tempat Raina lagi.
Jika dia tidak mau menemuiku lagi. Aku akan menculiknya. Atau memaksanya.
“Arrrghh ... Brènģsèk. Kenapa semua ini harus aku alami!” raungku.
Tiinnnnnnn!
Aku begitu setres sampai-sampai secara tidak sadar memaki dan memukul-mukul stir mobilku.
.
.
.
Mobilku berhenti tepat di halaman panti. Cuaca saat ini begitu mendung, matahari yang biasanya bersinar terang, kini bersembunyi entah kemana. Embusan angin dingin menusuk sampai ke tulang ketika aku menuruni mobil. Pada saat aku menutup pintu mobilku hujan lebat mengguyur dengan deras.
Sial memang.
“Assalamualaikum ...?” ku ketuk pintu panti yang memang tertutup rapat. Mungkin sengaja di tutup karena sedang turun hujan.
Ketika pintu terbuka, yang ku lihat pertama kali adalah ibu Asih.
“Pa Leon? Mari Pak masuk!” ajak Ibu Asih.
“Tidak usah Bu,” tolakku. “Di mana Raina Bu?” aku tak ingin berbasa-basi lagi saat ini.
“Sebentar Pak saya akan panggilkan.”
Aku hanya mengangguk.
Tak berapa lama Bu Asih keluar. Namun aku sama sekali tidak melihat Raina.
“Maaf Pak, Raina tidak mau bertemu.”
“Katakan kepadanya Bu. Saya akan menunggunya di sini.”
Aku berjalan menuju mobilku. Ketika aku melihat ke atas aku melihat sosok Raina di jendela kamar paling ujung.
Kakiku menuntunku medekati kamar itu.
Tok!
Tok!
Tok!
Ku ketuk jendela kaca kamar itu.
Namun, Raina tak mau membuka atau menyahuti ku sama sekali.
“Raina maafkan aku, aku tahu kamu mendengarku. Keluarlah dan temui aku Raina. Aku mohon dengarkan aku meskipun hanya sebentar!” teriakku.
Dia masih bergeming. Aku yakin dia mendengarku.
“Raina. Aku akan menunggu sampai kapanpun. Sampai kamu keluar dan memaafkanku!” air hujan sudah membasahi sekujur tubuhku.
Persetan dengan itu semua. Jika aku tak bisa menepati janjiku kepada Farah. Aku akan lebih menyesal lagi.
Sungguh aku bahkan sangat frustasi saat ini.
Sefatal itukah kesalahanku. Hingga dia sangat membenciku.
Aku kembali hendak kembali ke dalam mobil. Sudah empat jam aku menunggu Raina di depan panti dengan berhujan-hujan. Bahkan ini sudah hampir memasuki waktu maghrib. Tapi dia tidak keluar juga.
Saat aku hendak memasuki mobilku. Tiba-tiba dia keluar.
“Leon!”