Beberapa hari ini, Morgan terus memperhatikan pelayan yang berhasil menarik perhatiannya tersebut. Siapa lagi kalau bukan Anneliese. Pelayan yang baru bekerja di kediamannya tiga bulan yang lalu.
Pria itu sudah mengantongi beberapa informasi mengenai asal-usul Anneliese. Wanita itu, ternyata benar-benar berasal dari keluarga yang biasa.
Memiliki paras yang cantik belum tentu seluruh hidupnya juga akan dilimpahi keberuntungan. Morgan menemukan fakta bahwa Anneliese bekerja saat ini demi kelangsungan hidupnya sendiri. Wanita itu ternyata hanya sebatang kara. Kedua orang tuanya sudah tiada dengan jarak yang begitu dekat.
Anne anak tunggal dan dia sama sekali tidak memiliki siapa pun saat ini. Menurut info yang diberikan oleh Leo padanya, wanita itu juga masih berstatus lajang. Tapi di era modern begini, aneh rasanya jika seseorang tidak memiliki kekasih. Tapi Morgan tak terlalu peduli juga akan hal itu.
Dia mencari informasi tentang Anneliese hanya untuk mencari celah agar wanita itu bersedia membantunya. Tapi sepertinya tidak ada celah untuk itu.
Morgan kembali memberikan atensinya secara penuh pada seseorang yang tengah duduk di hadapannya, setelah Anneliese menghilang dari balik pintu dapur.
"Morgan, kau ini sebenarnya fokus mendengar apa yang aku katakan atau tidak? Kenapa sejak tadi kau seperti tidak mendengarkan penjelasanku?"
"Aku mendengarnya, Austin. Sekarang lanjutkan,"
Austin—teman sekaligus rekan bisnis Morgan di dunia properti. Pria itu sengaja datang menemui Morgan di hari libur begini hanya untuk memastikan dan menjelaskan proyek yang akan dikerjakan. Sebab besok pagi, Austin sudah memiliki janji temu lain dengan rekannya.
"Tidak perlu dilanjutkan jika pikiranmu saja entah melayang ke mana."
"Aku mendengar apa yang kau sampaikan tadi. Mengenai proyek pembangunan hotel dan apartemen kan? Lakukan saja yang terbaik, Austin. Jika menurutmu bisa dipercepat maka percepat saja untuk memulai pembangunannya."
"Masalahnya adalah, kita harus memulai membangun salah satunya terlebih dahulu. Tidak bisa dilakukan secara bersamaan." sahut Austin.
"Lakukan saja kalau begitu, apalagi yang perlu dibahas sekarang?"
"Wah, tanggapanmu hanya begini saja?" balas Austin sedikit tak percaya sebab Morgan sebegitu gampangnya saat menanggapi apa yang dia sampaikan.
"Lalu aku harus bagaimana? Lagi pula memang dari awal rencananya hanya untuk pembuatan hotel baru saja kan? untuk proyek pembangunan apartemen bisa menyusul nanti."
"Oke, kita diskusikan lagi saat rapat. Kalau begitu, aku pamit sekarang."
"Secepat ini, Austin? Kau tidak mau bermain catur dahulu denganku?"
"Tidak ada waktu untuk itu, kawan. Saat ini aku harus kembali, karena jika tidak istriku pasti akan mengomel. Aku sudah janji akan mengajaknya pergi setelah urusanku selesai denganmu."
Morgan tak lagi menanggapi, dia hanya mengangguk mengerti. Dia sudah tak heran dengan Austin yang memang sangat bucin sekali pada istrinya.
Morgan lantas buru-buru beranjak dari duduknya dan berjalan di samping Austin, untuk mengantarnya sampai ke teras depan.
Tidak ada percakapan penting selama mereka berjalan menuju teras. hanya sekedar basa-basi saja dan ketika mobil Austin keluar dari gerbang kediamannya, Morgan langsung memutuskan untuk masuk.
Hal pertama yang Morgan dengar saat kakinya kembali memasuki rumah adalah suara benda jatuh dengan begitu keras. Suaranya terdengar begitu jelas.
Karena penasaran, pria itu lantas mempercepat langkah kakinya untuk menuju ke ruang tengah. Saat sampai, pria itu mendapati seorang pelayan tengah berjongkok sambil memunguti pecahan guci yang sudah hancur berantakan di atas lantai.
"APA YANG—"
Amarah dan emosi yang hampir saja meluap mendadak harus Morgan tahan ketika pelayan tersebut mendongakkan kepalanya.
Anneliese, wanita itu yang tengah berjongkok memunguti pecahan guci di bawah sana. Anne bahkan terlihat begitu terkejut saat Morgan memergokinya saat ini. Tangannya bergetar karena takut sekaligus merasa bersalah.
"Tuan Morgan saya—"
"Bersihkan semuanya. Setelah itu, kau ke ruanganku." sela Morgan dengan cepat. Tatapannya begitu dingin sedingin es di kutub utara.
Yang mana membuat Anneliese menggigit bibir bawahnya karena gugup dan takut kalau-kalau pria itu mengamuk. Meskipun memang sebenarnya sah-sah saja jika pria itu mengamuk dan memarahinya. Sebab Anneliese dengan sadar mengakui bahwa dia bersalah karena sudah memecahkan guci tersebut secara tidak sengaja.
Bahkan setelah pria itu melangkah pergi menjauh, rasanya masih saja seperti dirinya sedang diperhatikan dengan tatapan yang dingin oleh Morgan.
"Anne! Apa yang terjadi? Bagaimana bisa pecah begini?!" pekik Allegra yang langsung berjongkok di depan Anne, seraya membantunya.
"Tidak sengaja menjatuhkannya. Aku—"
"Wah parah kau ini Ann, kenapa tidak fokus sih saat sedang bersih-bersih? Aku yakin Tuan pasti marah."
"Kau ini jangan mengomeliku sekarang, bantu aku dulu membersihkan kekacauan ini."
"Hah, benar-benar kau! Mana bisa mengomelimu di pending dulu?"
Anne mencebik sambil terus memunguti pecahan guci tersebut. Dia memang salah karena tidak fokus. Tapi jika diomeli seperti barusan oleh temannya sendiri justru membuatnya bertambah deg-degan nantinya saat menghadap sang tuan.
"Ini guci mahal, kau pasti harus menggantinya."
Allegra kembali bersuara. Dia berjalan disamping Anne yang hendak membawa pecahan guci tersebut ke belakang.
"Mau dibawa ke mana? Buang saja ke tempat sampah." seru Allegra dan Anne sontak menghentikan langkahnya, kemudian menoleh.
"Mau aku simpan dulu, siapa tahu berguna."
Sebelah alis Allegra terangkat satu begitu mendengar jawaban dari Anneliese barusan.
"Berguna bagaimana? Itu sudah pecah Ann, apanya yang bisa dikatakan berguna?"
"Seperti yang kau katakan tadi di ruang tengah, kalau Tuan Morgan pasti memintaku untuk mengganti gucinya. Jadi, aku harus menyimpan ini. Setidaknya, nanti aku harus mencarinya dengan corak yang mirip-mirip seperti ini."
Allegra tertawa begitu mendengar penuturan Anneliese. Dia lantas menariknya ke belakang, dan mengambil paksa pecahan guci tersebut dari tangan Anne untuk dia buang ke tong sampah.
"Guci mahal mau kau ganti dengan guci murah di pasar begitu? Tuan Morgan tentu tidak maulah Ann. Pikir dululah sebelum menjawab. Lebih baik kau minta maaf saja. Tapi pasti tidak semudah itu kan? Dia pasti tetap meminta ganti rugi."
"Alle, berhentilah bicara. Harusnya kau bisa menenangkan aku, bukan berbicara seperti barusan. Aku jadi gugup, apalagi Tuan Morgan sudah menungguku di ruangannya sekarang."
Raut wajah Anne langsung berubah menjadi sangat menyedihkan. Seperti biasa, selalu terlihat memelas jika dalam keadaan yang seperti ini.
"APA?! JADI TUAN MORGAN SUDAH MENGETAHUINYA? YANG BENAR SAJA KAU ANN!"
"Jangan keras-keras Alle!" peringat Anne sambil menutup mulut Allegra yang baru saja bersuara dengan keras.
"Dia yang memergoki pertama kali saat aku memunguti pecahan gucinya." lanjut Anne sembari menjauhkan tangannya dari mulut Allegra.
Mendengar fakta barusan tentu membuat Allegra terkejut. Wanita itu mengira jika dirinya adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui jika Anne menjatuhkan guci di ruang tengah.
"Wah, ini gila, sungguh! Kau dalam masalah besar ini Ann!" seru Allegra yang heboh sendiri. Membuat Anne semakin berpikiran yang tidak-tidak karena sebentar lagi dia harus menghadap Morgan di ruangannya.
"Jika aku jadi kau, mungkin aku sudah memegang kakinya dan meminta maaf. Baik kalau hanya disuruh mengganti saja, tapi kalau sampai dipecat bagaimana?! Ah tidak, tapi jika disuruh mengganti pun dapat uang dari mana hah?!"
"Ah Alle, kau ini jangan menakutiku begitu! Aku masih ingin bekerja di sini."
"Iya tapi kan—"
"Anneliese! Tuan Morgan memintamu ke ruangannya sekarang." sela Betty yang tiba-tiba saja muncul. Membuat Allegra dan Anne kompak menoleh secara bersamaan.
"Apa itu?" Betty menatap Anne dan Alle secara bergantian ketika keduanya mendadak menegang saat ditanya.
"Apa yang—"
"Ini guci yang ada di ruang tengah, Bibi. Anne tidak sengaja menyenggolnya sampai jatuh dan pecah." potong Allegra dengan cepat.
Mendengar itu, Betty langsung menepuk jidatnya sendiri. Wanita setengah baya itu sudah sering memperingati siapa pun untuk berhati-hati ketika sedang bekerja. Karena apa pun yang ada di rumah tersebut banyak sekali barang-barang antik yang bernilai tinggi. Termasuk guci yang sudah dipecahkan oleh Anneliese itu.
"Jadi Tuan Morgan memanggilmu karena masalah ini?" tanya Betty dengan tatapan serius ke arah Anneliese.
"Astaga Anne... Aku pikir dia memanggilmu karena memang ingin menyuruhmu melakukan pekerjaan lainnya. Tidak taunya karena masalah guci?"
Anneliese tentu saja mengangguk dan Betty mengusap wajahnya kasar. Dia lantas berkata, "aku tidak bisa membantu jika masalahnya ini. Tapi semoga Tuan Morgan tidak terlalu murka padamu."
"Maaf, aku benar-benar ceroboh sekali..."
"Minta maaf pada Tuan Morgan dan akui kesalahan mungkin bisa sedikit meringankan hukuman apa yang akan kau dapatkan. Sudah, sekarang pergilah ke ruangannya. Jangan buat Tuan menunggu terlalu lama,"
Anne mengangguk dan langsung pergi dari sana untuk menemui Morgan di ruangannya. Selama menuju ke ruangan pria itu, Anne nampak memainkan jari-jarinya karena gugup. Tentu saja dia teringat dengan berbagai ucapan Allegra yang kemungkinan buruknya dia akan dipecat.
Ketika sampai di depan ruang kerja pria itu, Anne nampak mengatur napas terlebih dulu sebelum masuk. Meskipun sebenarnya sama sekali tidak bisa membantunya untuk tenang. Dia tetap merasa gugup. Itu juga karena dia memang merasa bersalah.
"Permisi, Tuan Morgan."
Anne masuk dan berjalan mendekati meja kerja pria itu dengan langkah yang cukup cepat. Kepalanya lagi-lagi menunduk karena yang ada dipikirannya saat ini, wajah Morgan akan berubah menyeramkan.
"Membersihkan guci saja kenapa lama sekali?"
"Itu—"
"Sudahlah, aku tidak mau mendengar alasan kenapa kau begitu lama membersihkannya." sela Morgan dengan cepat, seolah tak membiarkan Anne untuk bicara.
Pria itu lantas beranjak dari duduknya. Dia berjalan menuju ke depan meja kerjanya, tepat di hadapan pelayannya itu.
Morgan menyandarkan pantatnya pada pinggiran meja, sembari kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.
"Aku tidak akan bertanya mengapa kau bisa menjatuhkan gucinya. Karena bisa aku simpulkan jika jawabannya adalah kecerobohan dan tidak fokus."
"Maaf Tuan, saya benar-benar tidak sengaja menyenggolnya hingga terjatuh."
Anne sadar betul jika dirinya yang salah. Mungkin ini juga karena dia terlalu tergesa-gesa. Sebab saat Morgan keluar bersama tamunya, dia langsung bergegas membersihkan ruang tengah hingga tak fokus sampai menjatuhkan guci yang sebenarnya sudah berada di tempat yang terbilang aman. Tapi yang namanya sedang mengalami kesialan, siapa yang tahu?
"Saya benar-benar minta maaf, saya bersedia menggantinya Tuan."
Morgan tersenyum kecil dan reflek menggaruk pelan dahinya dengan jari telunjuknya.
"Begini Anne, masalahnya aku tidak menginginkan kau menggantinya dengan uang."
"Kalau begitu, saya akan mengganti dengan guci yang sama, Tuan. Jika Anda mengizinkan, saya akan mencarinya sekarang juga."
"Tunggu dulu, kau mau mencari guci yang seperti itu di mana?"
"Di—"
"Itu guci antik, aku tidak yakin kau bisa mendapatkannya. Harganya pun lumayan. Kau yakin bisa menemukan yang sama?"
Anne menelan ludahnya susah payah saat tatapan Morgan begitu berbeda. Cara pria itu menyampaikan kalimatnya juga berbeda dari sebelumnya.
Meskipun begitu, Anne merasa cukup beruntung karena Morgan tidak marah-marah dan berubah menyeramkan seperti apa yang dia pikirkan. Pria itu justru cenderung tenang, bahkan seperti tidak masalah jika gucinya rusak?
Tapi, Anne masih ingat betul ekspresi pertama kali yang Morgan tunjukkan saat melihatnya memunguti pecahan guci tersebut. Tampak menahan amarah.
"Tuan, tolong beri saya waktu untuk mencarinya. Saya yakin bisa menemukan guci yang sama."
"Sebenarnya ada opsi yang mudah sekaligus menguntungkan." sahut Morgan. Pria itu mulai melancarkan aksinya. Ya, tentu saja, dia mencoba untuk memanfaatkan kejadian ini.
"Kau tidak perlu mengganti barangnya, asal..."
Anne nampak begitu fokus mendengarkan, sampai-sampai Morgan sedikit bingung untuk menyampaikan kalimat yang tepat.
"Asal kau mau membantuku." lanjutnya dan kening Anne sontak berkerut.
Gadis itu lantas menyahut, "maksud Tuan membantu apa?"
"Cukup menjadi kekasihku."
Pupil mata gadis itu tentu saja melebar sempurna saat mendengar ucapan sang tuan.
"Hanya kekasih pura-pura di depan mantan istriku."
Anne sontak menegakkan kepalanya dan dengan tegas menolak.
"Maaf Tuan Morgan, saya memang sudah melakukan kesalahan karena ceroboh dalam bekerja. Tapi bukan berarti Anda bisa mengambil kesempatan dengan memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan pribadi Anda. Saya menolak untuk opsi yang Anda berikan."
Menurut Anne, ini sama sekali tidak benar. Bagaimana pun juga, dia tidak akan pernah mau terlibat dalam urusan pribadi seseorang. Apalagi jatuhnya saat ini dia sedang dimanfaatkan karena memiliki kesalahan.
Mungkin dia terlihat sangat polos dan mudah untuk diperalat. Tapi sungguh, Anne tidak sebodoh itu sampai harus mau dimanfaatkan.
"Jadi kau menolaknya?"
"Ya,"
Morgan tersenyum kecut dan mengangguk kecil. Dia mengerti dan tidak akan memaksa. Karena satu hal yang pasti, dia tahu, Anne tak akan pernah bisa mendapatkan guci yang sama seperti miliknya.
"Baiklah kalau begitu. Ganti guci yang kau pecahkan dengan guci yang sama persis, corak dan keasliannya. Aku tidak menerima yang palsu, jadi pastikan kau mendapatkan yang asli."
Anne lantas hanya mengangguk mengerti dan Morgan mulai menegakkan tubuhnya. Pria itu menatap lamat Anne yang saat ini pandangan matanya ke bawah.
"Satu minggu, apa cukup untukmu bisa mendapatkannya?"
Anne kembali menegakkan kepalanya untuk menatap wajah Morgan saat ini.
"Sudah lebih dari cukup, Tuan."
Mendengar jawaban dari pelayannya yang terdengar cukup percaya diri membuat Morgan hanya tersenyum tipis. Dia yakin jika Anne tidak tahu fakta sebenarnya mengenai guci tersebut.
"Baiklah, satu minggu waktumu untuk mengganti gucinya."