Langit malam yang begitu gelap saat ini menjadi favorit bagi Anneliese. Bintang-bintang kecil yang bersinar di atas sana tampak begitu sedikit. Terlihat dari jarak-jaraknya yang begitu jauh. Pun tak berkerlap-kerlip seterang biasanya.
Pandangan Anne masih mengarah ke atas, menikmati pemandangan langit gelap yang sebenarnya tak menarik malam ini. Rembulan juga bentuk bulat sempurnanya sudah mulai memudar. Meskipun begitu, Anne tetap memandangnya dengan pikiran yang melayang-layang jauh.
Anne menurunkan pandangannya, ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Dia refleks menoleh, tapi langsung menunduk saat mengetahui Morgan yang saat ini berdiri tepat di sampingnya.
"Untuk apa malam-malam begini di balkon?"
Morgan baru saja mengetahui jika Anne berada di balkon apartment. Ya, mereka berdua malam ini menginap di apartment, karena pulang dari acara pesta sebelumnya terlalu larut.
Morgan tidak mau mengambil resiko, jika mereka pulang langsung ke mansion dalam keadaan Anne yang full makeup dengan gaun yang dipakai pasti akan menjadi sebuah perbincangan dan tanda tanya besar.
Untuk itu, Morgan memilih untuk membawa Anne kembali ke apartment.
"Kau juga tidak mengenakan jaket sama sekali. Di luar sangat dingin." lanjutnya.
Jika saja Morgan tidak keluar kamar untuk mengambil minum, mungkin dia tidak akan mengetahui jika Anne sedang berada di balkon apartment.
"Saya hanya sedang mencari angin saja, Tuan Morgan."
"Tetap saja, kau harus menggunakan jaket. Jangan sampai kedinginan dan kau jatuh sakit." balasnya yang mana membuat Anne mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Morgan.
Morgan sendiri yang sadar dengan ucapannya langsung terburu untuk mengulangnya.
"Maksudku, kau tidak boleh sampai sakit, karena sebentar lagi kau harus ikut denganku ke Roma untuk menghadiri acara pernikahan Elara dan Dante. Ini mengenai tugasmu yang harus tetap menjadi kekasih pura-puraku."
Anne lantas mengangguk, "ya, Tuan. Saya mengerti apa yang Anda maksud."
Terjadi kekosongan di antara mereka berdua. Anne dengan pikirannya sendiri, dan Morgan dengan pemikirannya sendiri juga. Bahkan untuk sekedar menoleh saja enggan.
Lalu detik berikutnya, Morgan berdehem pelan. Di saat itulah, Anne menoleh dengan sedikit mendongak untuk menatap wajah Morgan.
Sadar jika saat ini dia sudah berperilaku lancang karena secara terang-terangan menatap kedua mata sang tuan, Anne segera menundukkan kepalanya lagi.
"M—maaf, Tuan Morgan. Saya tidak bermaksud lancang, saya—"
"Aku pikir kau masih mengingat untuk tetap memanggilku dengan panggilan nama saja. Tapi ternyata kau benar-benar melupakan perintahku?"
Morgan memang sengaja tidak menegur Anne sejak tadi. Sebab Morgan berpikir jika Anne hanya refleks saja memanggilnya dengan sebutan tuan sejak awal. Dan berharap selanjutnya wanita itu kembali memanggilnya dengan panggilan nama saja tanpa embel-embel kata 'Tuan'.
Morgan menatap Anneliese yang masih tertunduk. Bahkan merasa heran karena Anne masih saja terlihat kaku di hadapannya saat ini.
"Tatap wajah orang yang sedang mengajakmu bicara, Anne."
"Maaf, saya merasa jika ini terlalu lancang. Saya hanya pelayan Anda, dan tidak seharusnya saya menatap wajah Anda secara terang-terangan. Untuk masalah panggilan, itu memang kemauan saya untuk tetap memanggil Anda dengan panggilan Tuan. Tapi saya akan profesional saat menjadi kekasih pura-pura Anda, Tuan. Tenang saja, saya pastikan tidak akan pernah keceplosan dalam memanggil Anda nantinya."
"Tetap saja, aku sudah memberimu perintah untuk memanggil namaku tanpa embel-embel apa pun jika kita hanya berdua."
"Tuan—"
"Atau kau ingin aku memberikanmu sebuah hukuman?" sela Morgan yang mana membuat Anneliese sukses mendongak dengan mulut yang sedikit terbuka.
Bibirnya lantas mengatup saat tatapan Morgan berubah begitu intens padanya. Anne bergerak mundur, tapi Morgan dengan segera meraih pinggangnya yang ramping.
Anne tak bisa bergerak mundur untuk menghindar. Setiap kali dia ingin melepaskan diri, cengkeram tangan pria itu pada pinggangnya semakin menguat. Ketika Morgan mulai mendekatkan dadaa mereka, Anne dengan cepat menahan dengan kedua tangannya.
Dalam posisi sedekat ini, benar-benar membuat jantung Anne berdebar tidak karuan. Atmosfer yang dia rasakan mendadak berubah, apalagi dengan tatapan mata Morgan yang sama sekali tidak teralihkan. Tetap menatap kedua matanya sampai Anne sendiri tak sanggup untuk menatapnya balik.
Tatapan Anne menurun, dan Morgan menarik dagu Anne untuk tetap menatap wajahnya saat ini.
"Aku paling tidak suka dengan orang yang mengesampingkan perintahku. Aku menyuruhmu untuk tetap memanggilku dengan panggilan nama saja agar kau tidak gugup di depan banyak orang ketika memanggilku. Itu juga bagus agar kedekatan kita tampak begitu natural dan bukan dibuat-buat."
Morgan berhenti sejenak sambil sedikit menekan ujung dagu Anne dengan ibu jarinya. Perlakuan tersebut membuat Anne kembali menurunkan pandangannya.
"Aku juga tidak suka kau terus memandang ke lain arah jika aku bicara denganmu. Harus berapa kali aku mengingatkanmu, Anneliese? Tatap mataku jika aku sedang bicara!"
Anne sontak dengan penuh keberanian menatap balik Morgan dengan cepat. Pun dia merasakan pinggangnya dicengkeram lebih kuat.
"Haruskah aku memberimu hukuman atas semua ini?" tanya pria itu dan Anne hanya terus menatapnya.
"Jawab!" ulang Morgan dengan nada yang tinggi.
"Anda adalah Tuanku, Morgan. Anda berhak menghukum saya jika memang saya membuat kesalahan. Lalu apakah hanya tidak memanggil nama saja, sudah masuk ke dalam kesalahan yang fatal?"
"Apa aku harus menjelaskannya juga? Sejak awal aku sudah memperingatimu untuk tetap memanggilku dengan santai. Cukup dengan nama saja. Apa ini sulit bagimu?"
"Ya, jika boleh jujur memang rasanya sangat sulit memanggil Anda dengan panggilan yang sangat santai." jawab Anne.
Dia nampak menghela napas pelan lalu kembali melanjutkan, "Saya seperti ini karena Anda adalah majikan saya, bos saya. Anda bukan teman, saudara atau kekasih saya yang sesungguhnya. Sulit bagi saya untuk bersikap santai pada Anda, Morgan."
"Kalau begitu anggap saja aku temanmu."
Anneliese sedikit tercengang dengan balasan dari Morgan. Bagaimana bisa pria itu mengatakan sesuatu tanpa pikir panjang?
"Saya tidak bisa melakukannya, itu terlalu berlebihan."
"Teman kau bilang berlebihan?" Morgan lantas mendecih, lalu semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Anne.
Anne sendiri sampai menelan ludah saat Morgan bicara dengan wajah yang sedekat itu dengannya.
"Ada yang lebih parah dari sekedar berteman." ucap Morgan tepat di hadapan bibir Anne.
Matanya tertuju pada bibir Anne yang memang terlihat berwarna merah alami. Terbesit hal kotor yang mendadak muncul di kepalanya saat ini. Ingin menekan bibir Anne dengan ibu jarinya. Bahkan Morgan sempat berpikir jika dia ingin merasakan bibir tersebut. Tapi deheman pelan dari Anne membuatnya tersadar.
Morgan kembali menatap ke arah netra Anne, meninggalkan bibir Anne yang hampir membuatnya tergoda.
"Jika itu memang keinginan Anda untuk meminta dianggap sebagai teman, saya akan menurut. Tapi, saya tidak bisa bersikap di luar batas. Sebab bagaimana pun juga, Anda tetaplah bos saya."
Anne lagi-lagi harus menelan ludahnya kasar, saat tangan Morgan kembali mencengkeram kuat bagian pinggangnya. Maka dari itu, tangan kiri Anne sontak menyentuh punggung tangan Morgan yang masih melingkar di pinggangnya.
"Saya rasa pembahasan ini sudah cukup. Saya akan mengingatnya dengan baik, Morgan. Jadi tolong, lepaskan."
Tak menyahut, atau pun memberikan komentar apa pun, Morgan langsung melepaskan Anne begitu saja. Bahkan dia juga mengabaikan Anne yang langsung buru-buru masuk ke dalam, meninggalkannya sendirian di balkon apart tersebut.
Morgan menyugar rambutnya ke belakang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Hampir saja, benar-benar hampir dia tergoda pada bibir pelayannya sendiri.
"Hah! Pikiranku mungkin sudah gila!"