Fahmi bingung harus bagaimana? Sang ibunda akan bilang apa nanti. Sementara itu gadis di hadapannya mulai menangis.
Dia baru saja kehilangan kedua orangtuanya dan terpaksa bekerja keras untuk makan dan melayani Bibinya. Sesakit apapun kehidupan, walau dia memohon untuk di ampuni, tidak ada yang peduli.Tidak ada tempat baginya untuk berbagi kesedihan.
Fizah duduk termenung, orang-orang suruhan itu masih berkeliaran. Mengikuti Fahmi adalah jalan satu-satunya untuk selamat.
Sejenak Fahmi merasa kasihan, hati kecilnya tidak tega membiarkan Fizah sendirian. Akhirnya dia memutuskan untuk menolong gadis itu.
'Apa yang telah dia lewati, mengapa dia terlihat begitu terluka' batin lelaki itu.
"Hey, bangunlah." Fahmi sedikit khawatir, takut ada yang akan melihat mereka lalu salah paham.
Fizah mendongak menatap pemuda itu. Sorot matanya terlihat sayu. Dia berhenti menangis dan menyeka sisa-sisa airmata.
"Tuan, biarkan saya ikut. Saya lebih baik mati dari pada harus kembali, Tuan," ucap Fizah terdengar pilu.
"Apa yang membuatmu percaya padaku? Apa kau tidak takut denganku, kita baru saja bertemu?" jelasnya.
Pemuda itu berharap gadis yang ada di hadapannya ini akan berubah pikiran.
"Tidak, saya yakin Tuan orang yang baik."
'Ya Tuhan, mengapa gadis ini begitu mudah percaya pada orang lain,' batinnya.
Fizah memandang Fahmi cukup lama, dia mengamati dan menatap pemuda itu, Fahmi tipe lelaki yang tenang dalam bertindak. Fizah percaya padanya walau mereka baru saja bertemu.
"Tuan telah menolong saya, jika Tuan orang jahat. Sudah pasti tadi Tuan menyerahkan saya pada orang-orang itu. Tolong saya, Tuan. Saya janji tidak akan merepotkan, Tuan. Saya bisa bekerja, memasak, juga tidak buta huruf Tuan. Apapun bisa saya kerjakan, saya juga bisa melakukan pekerjaan yang berat."
Fahmi masih tidaj meresponnya.
"Hey, siapa namamu?" tanya lelaki itu.
Mereka belum berkenalan sejak tadi.
"Saya Fizah, Tuan. Hafizah," ucapnya dan menunduk ramah. Hafizah berharap banyak pada laki-laki di depannya itu.
"Saya Fahmi, bangunlah dan berhenti menangis. Kau harus menyimpan tenagamu untuk berjalan. Dan, apa kau mau menipuku? Orang-orang tadi mencari gadis yang tinggi dan putih." Fahmi menantap Fizah dari bawah hingga ke ujung rambut. Dia tidak menemukan ciri-ciri yang di sebutkan oleh orang-orang tadi melekat pada tubuh gadis itu.
"Tuan, terimakasih. Terimakasih sudah mau menolongku dan soal itu, akan aku ceritakan bila kita sampai nanti. Hari sudah hampir malam, Tuan, sebaiknya kita bergegas." Fizah begitu antusias.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, Fizah sangat bersyukur.
"Benar juga," ucap Fahmi.
Fizah berjalan dengan semangat, walau langkahnya terseok, dia tidak berani meminta Fahmi untuk berhenti. Di izinkan untuk ikut sudah menjadi kebahagiaan tersendiri baginya. Setelah tiba di perbatasan, langkah Fahmi terhenti. Lelaki itu menoleh dan menatap Hafizah.
"Dengar, bagaimanapun aku akan menolongmu. jika kau tak bisa melewati perbatasan ini, kau hanya bisa melihatku menghilang. Dan, itu artinya kau harus pulang. Tapi, jika kau bisa melewatinya kau bisa ikut bersamaku," ucap Fahmi.
Fizah merasa cemas, dia teringat percakapan yang telah di dengarnya di perjalanan tadi.
'Apa benar yang dia ucapkan, ini adalah kampung gaib.' batinnya.
Gadis itu mulai bergidik.
"Apa kau mendengarkan aku?"
Fizah mengangguk tanda mengerti. Fahmi maju mengenggam tangan Fizah. Gadis itu tercekat, untuk pertama kalinya Fahmi menyentuhnya. Fizah diam dan terus memandang wajah pemuda itu. Sedang Fahmi dia menutup matanya dan mengucapkan niat.
'Aku datang, membawa seorang teman. Aku menemukannya di jalan. Dia membutuhkan bantuan, jika para leluhur mengijinkan, biarlah dia ikut masuk dan tinggal bersamaku. Jika leluhur tak berkenan, biarlah dia pulang.' Fahmi berbicara dengan mata batinnya.
Pemuda itu melangkahkan kaki kanannya diikuti Fizah, seketika kabut tebal muncul dihadapan mereka. Fizah memegang tangan Fahmi dengan erat, lalu menutup mata, berharap tangan pemuda itu tidak akan terlepas.
Hawa dingin menerpa wajah dan tubuhnya.
'Tolong terima aku, jangan biarkan aku terpisah dari lelaki ini." bisiknya.
Fizah gemetar, akhirnya dia berhasil melewati perbatasan dengan bantuan Fahmi.
"Fizah, buka matamu," ucap lelaki itu.
Sekarang di kampung gunung serigala, hari telah berganti malam.
Fizah mulai membuka matanya perlahan setelah melewati kabut tadi. Alangkah takjubnya gadis itu melihat pemandangan yang ada dihadapannya. Fizah juga berasal dari kampung, tapi tak ada yang bisa menyamai kampung ini, cahaya yang terlihat cantik mengelilingi kampung berjejer dengan rapi.
"Indah sekali," ucapnya lalu tersenyum.
Fahmi mengangguk setuju. Keindahan desanya memang tak tertandingi walau itu di malam hari.
Sesaat kemudian mereka tersadar dan Fahmi melepaskan genggaman tangannya.
"Yang terang itu adalah obor." Tunjuk Fahmi pada cahaya yang mengelilingi kampung.
"Bukankah itu lampu, Tuan?" tebaknya.
"Bukan, Fizah. Itu adalah obor dan sudah menjadi tradisi bagi kami warga disini untuk selalu menyalakannya, jika malam telah tiba." Fizah semakin takjub mendengarnya.
"Baiklah, karena kamu bisa melewati perbatasan ini. Itu artinya hatimu tulus dan bersih. Ayo, kita ke bawah sana. Ibu pasti sudah menunggu," ajak Fahmi.
Seekor serigala melihat kedatangan Fahmi. Sang Keturunan telah kembali ke tempat kelahirannya. Dia Fahmi putra Magadang. Serigala itu lantas segera pergi untuk melaporkan pada tuannya.
**
Kampung gunung serigala terlihat sangat menakjubkan di mata Fizah. Selain itu, rumah penduduk tampak berjejer rapi. Jalan setapak yang hanya terbuat dari tanah namun sangat indah karena telah di atur sedemikian rupa.
Rasa lelah membuat kedua anak manusia itu berjalan semakin lambat. Rumah Magadang terlihat berdiri kokoh di depan sana. Hanya rumah kayu, tapi sangat cantik.
Tok tok tok.
"Bu. Ini Fahmi, Ibu ada didalam?" Fahmi menggedor pintu setelah sampai.
Tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat membuka pintu. Terlihatlah wajah Ibunda Fahmi yang muncul di baliknya.
"Fahmi, lama sekali baru sampainya, Nak." Dia adalah Laksmi istri Magadang, janda tua yang tetap setia pada suaminya.
"Iya, Bu. Cuaca sangat panas."
"Dia siapa?" tanya sang ibunda setelah melihat Fizah yang berdiri di belakang putranya.
Wanita itu membungkuk, menunggu nasib sesungguhnya.
Bu Laksmi merasa heran, karena tidak biasa bagi Fahmi membawa teman pulang ke kampung.
"Em ... ini tadi bertemu di jalan, Bu." seru Fahmi menjelaskan semua kejadian yang dilaluinya pada sang ibu.
Bu Laksmi tampak prihatin dan terus mengamati Fizah.
Terlihat jelas ketakutan di wajah gadis itu membuat Bu Laksmi merasa kasihan.
"Apa kalian tidak apa-apa? Apa, ada yang terluka?" tanyanya khawatir. Fizah menggeleng dengan canggung.
"Kami baik-baik saja, Bu."
Rasa lelah membuat Fahmi ingin sekali segera beristirahat.
"Apa Ibu tidak membiarkan kami duduk dulu. Kami capek," Fahmi memperlihatkan wajah lesunya.
"Eh iya, Ibu sampai lupa. Ayo masuk, Nak. Ibu akan buatkan minum untuk kalian, silahkan duduk dulu kalau begitu. Oh iya, perkenalkan nama Ibu. Laksmi, namamu siapa?" tanyanya pada Hafizah.
"Aku Hafizah, Bu. Ibu, bisa manggil saya Fizah."
"Namamu cantik sekali, secantik orangnya," puji Bu Laksmi dan meninggalkan mereka ke dapur.
Fahmi spontan menoleh pada gadis itu.
Dia heran kenapa ibunya menilai demikian. Bahkan selama hidupnya, gadis-gadis di Desa pun tidak pernah mendapatkan pujiannya.
"Ehm," Fizah menghindari tatapan lelaki itu.
Gerasah-gerusuh terdengar di sekitar rumah, serigala-serigala anak buah Raz menjaga rumah itu dari jauh.
Fahmi dan Fizah masuk ke dalam rumah, dan duduk di kursi kayu. Mereka menatap kesekeliling, memindai rumah Fahmi yang bersih dan terawat.
Rumah kayu nan cantik, membuat Fizah terpesona karena bangunan yang terbilang unik. Patung kepala serigala terpajang di tengah ruangan.
Maha karya itu mencuri perhatian Fizah.
"Silahkan di minum tehnya," ucap Bu Laksmi membawa minuman dan menyajikannya di atas meja.
Fizah kaget dan kembali duduk di kursi, Fahmi menyeruput teh buatan ibunya, sama seperti biasa, rasanya selalu pas di lidah Fahmi.
"Fahmi, tolong ajak Fizah ke kamar tamu. Dia perlu membersihkan diri, kasihan dia pasti sangat lelah. Nanti Ibu akan bawakan baju ganti untuknya, sekarang Ibu pamit dulu untuk menyiapkan makan malam," titah sang Ibu.
"Baiklah, Bu." ucap Fahmi.
Mereka menikmati tehnya dan bangkit dari tempat duduk.
"Ayo saya antar ke kamarmu."
"Baik, Tuan."
Fizah berdiri dan berjalan mengikuti Fahmi. Bu Laksmi tampak sibuk dan menuju ke dapur.
Pemuda itu mengantar Fizah ke kamar tamu sesuai dengan permintaan Ibunya. Fahmi menjelaskan pada Fizah kalau di rumah itu hanya ada dirinya dan Ibundanya.
"Uwa telah meninggal sejak lama, jadi disini hanya ada aku dan Ibu. Jika kau butuh sesuatu kau bisa bilang pada kami,"
"Baik, Tuan."
Fahmi memintanya masuk dan membawakan baju ganti yang di titipkan Ibunya
"Masuklah, semuanya tersedia di kamarmu."
Fizah memindai kamarnya, ruangan itu tidak begitu luas. Hanya ada kasur dan meja kecil di sampingnya.
"Ini jauh lebih baik dari pada aku tidur di jalan."
***
Setelah mandi Fahmi berbaring sejenak di atas kasur. Pungung dan betisnya rasanya akan patah. Sesaat wangi masakan menguar ke seisi kamar.
Dia tergoda apalagi sudah seharian baginya menahan lapar. Lelaki itu terbangun dan bergegas ke dapur. Perutnya sudah keroncongan dan siap untuk menyantap makanan.
Pemuda itu berjalan santai dan duduk di kursinya. Pemandangan di depan sana membuat Fahmi begitu terkejut. Dia tercengang melihat seorang perempuan bersama dengan Ibunya.
'Dia siapa?'
Fahmi memindai penampilannya.
'Bidadari dari mana yang nyasar ke rumahku, malam-malam begini?'
Gadis itu sangat cantik, terlihat begitu lemah lembut, Fahmi sangat penasaran dan ingin mengetahuu siapa dia.
"Ehm ... Fahmi kenapa diam saja?" tanya Bu Laksmi mengagetkan putranya.
Gadis itu menoleh dan tersenyum ke arah tuannya.
"Ah, enggak kok, Bu." elaknya.
Fahmi ingin bertanya tentang siapa dia? tapi urung di lakukan. Dia lalu teringat Fizah teman seperjalanannya tadi.
'Fizah kemana, ya. Kok, belum keluar kamar, apa dia tidak lapar,' batinnya.
Pemuda itu akan beranjak untuk memanggil Fizah. Tapi wanita di depan ibunya, langsung sigap melayani dan tidak membiarkan Fahmi pergi.
"Mau kemana, Tuan?"
Fahmi tercengang, suara itu sama persis dengan suara Hafizah.
Gadis itu berkulit putih, rambutnya tergerai hingga ke bahu. Hidungnya mancung dan bibir merah alami tanpa gincu. Sangat cantik dengan setelan daster milik ibu Laksmi, walau begitu kecantikannya tetap terpancar.
"Tuan, aku akan melayani sesuai janjiku padamu. Tuan, tinggal bilang saja mau yang mana?"
Suara itu, Fahmi melongo di buatnya. Dia adalah gadis dekil teman seperjalanannya.
'Ini tidak mungkin,'
"Jangan panggil Fahmi, dengan sebutan Tuan, Nak. Panggil saja dia, dengan nama aslinya. Ibu risih kamu manggil dia Tuan. Kesannya, dia sangat bangsawan," tegur Bu Laksmi.
Fizah masih belum terbiasa.
"I-iya, Bu. Saya sangat menghormatinya, karenanya aku bisa selamat. Aku sangat berterimakasih karena kalian mau menolongku. Aku berhutang budi padanya dan juga pada Ibu."
Bu Laksmi sangat menyukai Hafizah, selain cantik. Gadis itu juga sangat sopan. Melihat tingkah putranya yang tak bisa mengalihkan pandangan, Bu Laksmi pun iseng menggoda.
"Fahmi, Ibu rasa. Ibu sudah menemukan calon mantu Ibu," bisiknya membuat Fahmi langsung menoleh.
"Ibu tahu kan keputusanku tetap sama."
Fizah dengan telaten mengambilkan makanan untuk Fahmi. Dia dan Bu Laksmi memasak ca kangkung dan gurame goreng, juga sambal lalapan dan tahu tempe goreng. Masakan yang selalu Bu Laksmi buatkan untuk anaknya.
Masakan sederhana kesukaan Fahmi.
Pemuda itu tak berhenti mencuri pandang.
"Jadi ini kau, Hafizah?"
Gadis itu tersenyum dan mengangguk.
"Iya, Tuan. Ini saya."
"Bagaimana kau bisa, maksudku tadi kau terlihat, ...."
"Ya, aku tahu."
Fahmi tak melanjutkan pertanyaannya.
Selesai makan malam, Fizah beres-beres di dapur, dia melarang Bu Laksmi ikut membantunya. Tidak ada yang bisa di kerjakan membuat Bu laksmi pun keluar menuju ruang tengah menyusul putranya.
"Nak, Fizah cantik, ya. Ibu, seneng kamu bawah Fizah ke rumah, ibu jadi nggak sendiri lagi, anaknya juga baik dan ramah. Ibu akan senang sekali jika dia menjadi menantu ibu," Sang Ibu terus memuji Fizah saat berada di hadapan Fahmi.
"Ya ampun, Bu. Masa baru ketemu langsung suka. Lagian, Fizah belum tentu mau jadi mantu ibu." Fahmi tampak cuek dengan usaha Ibunya yang selalu memintanya untuk menikah.
Setelah pekerjaan Fizah selesai, gadis itupun keluar dari dapur membawa teh untuk semua orang. Setelah menyajikan tehnya ke atas meja. Fizah memilih duduk di lantai di samping kaki Fahmi sontak membuat pemuda itu kaget melihat apa yang dia lakukan.
"Eh, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Fahmi.
Fizah tersenyum anggun dengan wajah yang berbinar.
"Maaf, Tuan. Aku akan memijitmu, mulai hari ini, aku akan jadi pelayanmu."
Fahmi dan Bu Laksmi saling memandang. Dia terkejut mendengar ucapannya.
"Jangan, Aku tidak memberimu izin." Fahmi menolaknya dengan lantang.
"Kenapa masih disana?" omel lelaki itu.
Fizah mundur, dia takut Fahmi akan marah lalu mengusirnya.
"Tuan, aku pelayanmu maka aku akan duduk di bawah menunggu perintah,"
"Yang benar saja, aku tidak suka seseorang merendahkan dirinya."
Gadis itu mendongak dengan netra berkaca-kaca.
"Nak, kesini dekat ibu." Bu Laksmi menepuk kursi yang ada di sampingnya. Fizah terlihat sangat kecewa saat ini.
"Nak, Ibu dan Fahmi tidak memandang seseorang dari derajat. Kau tak boleh merendahkan dirimu. Dengan duduk di lantai."
Fahmi menoleh sejenak melihat keduanya.
"Ibu sangat penasaran tentang siapa dirimu, apa kau mau menceritakan dari mana asalmu?"
Fahmi pun tertarik ingin mendengar cerita lengkap kehidupan Fizah. Wanita itu mengangguk setuju untuk bercerita. Tapi, sebelum dia memulai, suara lolongan serigala membuatnya bergidik.
Auuuw.
Fizah terkejut, dia panik dan ketakutan.
Fahmi mendekat dan menatapnya.
"Tenanglah, ini Kampung Gunung Serigala, sesuai namanya kau akan mendengar ini setiap malam jadi biasakan saja."
Fizah menatapnya tak berkedip. Pemuda itu memejakan mata tanda yang dia katakan adalah benar.
"Masuklah ke kamarmu, kunci jendelamu. Jangan berani membukanya sampai pagi menjelang."
Fizah mengangguk, perlahan dia melangkah menjauh menuruti perintah Tuannya.
Sang manusia jelmaan berjaga di luar, mereka merayakan kepulangan Fahmi dari kota. Serigala-serigala yang tidak di ketahui Fahmi dari mana asalnya.