Chapter 14 Tertawan tak berdaya

2168 Kata
Di puncak gunung tertinggi masih dalam kawasan perkampungan gunung serigala. Raz tampak berwibawa di atas singgasananya. Ada yang mengusik ketenangannya hari itu. Bukan hanya karena laporan tentang gadis yang bersama dengan Fahmi tapi juga laporan Ryan yang mengatakan gadis itu akan menjadi istri saudaranya. “Ada hal yang tidak di pahami saudaramu, kau harus membawanya kepadaku," titahnya. Ryan menatap penuh dengan rasa penasaran. Apa kiranya yang membuat Raz sang pemimpin ingin menemui saudaranya. “Dia membenciku, Tuan. Tidak mungkin bagi saya untuk memintanya datang.” Raz tersenyum, lelaki itu tampak bersahaja bagai tak termakan usia. “Kau melakukan kesalahan, jangankan Fahmi bahkan aku sendiri tidak menyukai kecerobohan mu. Muncul dengan wujud asli di tengah penduduk. Apa yang ingin kau buktikan?” Ryan tertunduk menyesali perbuatannya. “Magadang, ayahanda Fahmi telah menjaga kedamaian desamu, tapi kau seolah ingin penduduk ketakutan dengan kemunculan klan yang telah lama menyembunyikan diri.” “Maaf, Tuan.” “Pergilah dan dapatkan Fahmi untukku. Aku bisa saja menemuinya tapi bukan itu yang aku inginkan. ** Fahmi dan Hafizah duduk termenung. Hal yang sangat penting ingin di sampaikan pada Laksmi. Belum di utarakan juga. Fizah menyerahkan semua keputusan pada Fahmi. Entah lelaki itu akan mengungkapkan kesalahpahaman yang terjadi atau hanya diam dan melupakan pembicaraan kemarin. Tidak ada pergerakan dari Fahmi membuat Fizah mengabaikan lelaki itu. "Bu, aku ingin bicara." Fizah menoleh sesaat dan berjalan ke dapur. Fizah sengaja meninggalkan mereka untuk bicara. "Tumben, ada apa?" tanya Bu Laksmi tanpa menoleh dan tetap fokus pada rajutannya. Wanita itu sangat terampil me mantil jarum dan membuat pola dengan lincahnya. "Begini, saya dan Fizah." Wanita tua itu menghentikan aktivitasnya. "Apa? Kalau ngomong yang jelas, Nak." Fahmi merasa gugup. Lelaki itu menghela napas seolah memikul beban yang begitu berat di pundaknya. "Ada apa, sih? Fizah kenapa?" "Emm, Fizah terima lamaran Fahmi, Bu. Dia setuju dan mau menjadi menantu ibu." Fizah tersenyum di balik tirai penyekat ruangan. Bu Laksmi bangkit dari tempatnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari gadis itu. "Fizah, kau dimana?" Gadis itu tertegun, kala mendengar suara Bu Laksmi memanggil namanya. "Hafizah, sini keluar sebentar." Fahmi menjadi gelisah. "Bu, duduklah dengarkan penjelasan Fahmi dulu." "Diam, ibu tidak ingin mendengar apapun darimu." Fahmi melihat sisi lain dari ibunya yang tak pernah dia lihat sebelumnya. "Hafizah!" Gadis itu berjalan mendekat. Fizah gugup dan takut akan di usir. "Kamu darimana? Ibu memanggilmu dari tadi." Fizah mendongak dengan perlahan. "S-saya di dapur, Bu. Maaf." "Kesini duduklah, ibu mau bicara." Fizah mendekat dengan perlahan. Gadis itu duduk tepat di samping Bu Laksmi. "Apa benar ucapan Fahmi jika kau mau menerima lamaran kami?" Fahmi menatap gadis itu. Fizah menjadi bengong untuk sesaat membuat semua orang deg-degan. "Dengar, tidak akan ada yang memaksamu untuk menerima lamaran ini. Kau berhak atas hidupmu. Kami akan selalu mendukungmu selama kau tinggal bersama kami." Fizah menoleh ke arah Fahmi sejenak. Pandangan mereka bertemu. Lalu gadis itu mengangguk dan tersenyum. "Ya, saya menerima lamaran Fahmi, Bu." Bu Laksmi tercengang mendengarnya. "Ya Tuhan, apa kau serius? Nak Fizah, benar mau jadi anak menantu ibu. Ibu nggak Sedang mimpi kan?" Bu Laksmi sangat senang hingga tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, Bu. Fizah mau." Bu Laksmi memeluk Fizah. Kebahagiaan jelas terpancar di wajah keduanya. "Syukurlah. Terimahkasih." Fahmi tersenyum melihat pemandangan yang ada "Jadi, kemana kami harus pergi untuk memintamu secara resmi?" tanya Bu Laksmi bersemangat. Fizah yang tadinya ceria menjadi murung. Gadis itu menggeleng dan menunduk menyembunyikan tangisnya. "Hey, ada apa?" Fahmi mendekat, setelah melihat perubahan suasana hati sang calon istri. "Maaf, Bu. saya hanya gadis yatim piatu yang tidak punya siapa-siapa. Alasan saya bisa sampai disini. Karena saya kabur dari rumah." Bu Laksmi tak tahu apapun tentang jati diri calon menantunya, dia pun menoleh ke putranya untuk meluruskan semuanya. Fizah menceritakan segalanya, bagaimana dia kehilangan kedua orangtuanya dan bagaimana Budenya merampas segalanya. Airmata gadis itu tak dapat di bendung saat kembali mengingat masa lalu. "Saya di kejar oleh Juragan Broto, Bu. Juragan yang di tempati Bude berhutang. Bude menjadikan saya sebagai pertukaran untuk membayar hutangnya," Bu Laksmi dan Fahmi terkejut mendengar itu. Mereka tidak menyangka derita yang di lalui Hafizah amatlah berat. "Ibu sudah memikirkan hal ini, bagaimanapun juga, Fahmi tetap harus ke kampung halamanmu untuk bertemu dengan Bibimu, Zah. Bagaimanapun juga, kau masih memiliki keluarga," ucapan Bu Laksmi membuat Fizah bimbang. Gadis itu sadar betul akan bahaya yang akan terjadi jika Fahmi dan Ibunya nekat pergi. "Bu, bolehkah saya memilih. Saya ingin hidup baru tanpa bayangan masa lalu, saya tidak mau bertemu dengan Bude lagi. Bude akan memaksa saya untuk menikahi juragan yang di tempati nya berhutang bu. Saya nggak mau pulang. Saya mau disini," ucap Fizah pilu. Fizah sangat tertekan. Fahmi dan Ibunya saling pandang, mereka bingung bagaimana bisa menikahi Fizah tanpa izin dari walinya. "Tenanglah, Nak. Ibu bicara dulu dengan Fahmi. Jangan menangis lagi." Fahmi dan Bu Laksmi bergegas menuju ke kamar, meninggalkan Fizah yang begitu cemas di ruang tengah. Pintu di tutup dengan rapat, Bu Laksmi duduk di tepi ranjang dengan wajah khawatir. "Bagaimana? Kau tidak mungkin menikahi Nak Fizah tanpa mengabari Keluarganya." Masalah ini adalah masalah serius. Fahmi tertunduk, pemuda itu sangat patuh pada Ibunya "Saya akan menemui keluarganya." "Ya, sebagai lelaki. Kau memang harus melamarnya, Nak. Ibu tidak membenarkan pernikahan tanpa menemui wali sah dari Fizah." Keputusan Bu Laksmi sudah bulat. Setelah berunding mereka pun sepakat dan menemui Hafizah. Gadis itu terlihat cemas, pandangannya dengan Fahmi kembali beradu. "Aku memutuskan untuk mendatangi rumah Bibimu. Walau bagaimanapun juga, keluargamu harus tahu jika kita akan menikah," ucap Fahmi. "Tapi!" Fizah sangat shock mendengarnya. "Hanya untuk memberi kabar. Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Aku janji." Fizah menggeleng, tangisnya semakin menjadi. Budenya sangat kejam, jika dengan saudaranya sendiri dia bisa sangat tega. Lalu bagaimana dengan pemuda itu. "Berikan alamat Bibimu," pinta Fahmi lagi. Fizah tetap kekeh dan tidak mengizinkan Fahmi untuk pergi. "Tidak, aku tidak mau kau mengantarkan nyawa kesana." Bu Laksmi ikut cemas mendengar cerita Fizah. "Tolonglah, Bu. Bantu yakinkan Fahmi, anak buah Juragan Broto sangat kejam, bahkan kami sempat berpapasan dengan mereka saat akan kesini, mereka bertarung dengan benda tajam. Fizah nggak mau Bang Fahmi akan kenapa-napa," Bu Laksmi bergidik mendengarnya. Fahmi berusaha menenangkan Fizah, "Hey, tenanglah. Kau menakuti Ibu, apa kau tidak percaya dengan kemampuanku?" tanya Fahmi menangkup wajah gadis itu. Wajah Fizah telah basah dengan airmata, dengan susah payah dia berusaha kabur dari maut. Tapi, Fahmi malah ingin menyerahkan diri. "Percayalah padaku, aku akan berjuang untukmu. Kau tahu siapa aku, kan?" Fizah mematung dan menatap sorot mata Fahmi, pemuda itu mengerjap. Fizah telah menyaksikan kekejaman yang dilakukan Sang Juragan di desanya, sekuat tenaga. Fizah tetap menolak rencana lelaki itu. "Aku akan kembali untukmu dan Ibu," ucap Fahmi mengeratkan genggamannya di bahu Fizah. Dan akhirnya, dia terpaksa menyerah dan Fahmi mendapatkan alamat yang dia inginkan. Kini Bu Laksmi yang merasa sangat cemas. "Fahmi, apa se berbahaya itu?" tanyanya "Bukankah aku seorang lelaki, Bu. Aku harus memberitahu keluarganya jika ingin menikahi calon mantu Ibu ini," Hening. Fizah dan Bu Laksmi tak bisa menghentikan Fahmi lagi. ** Keesokan harinya .... Setelah mempersiapkan keperluan yang akan dibawa pergi. Juga bekal yang sangat diperlukan nanti. Fahmi pun pamit pada orang rumah. "Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik," pesan pemuda itu. Fizah masih tak mampu melepaskannya. "Mas, sebaiknya jangan pergi. Mereka orang yang licik." Gadis itu kembali mengingatkan tapi Fahmi tak menghiraukan. "Tak apa-apa Fizah, aku yakin aku bisa." "Hati-hati, Nak. Jaga dirimu baik-baik," Bu Laksmi memeluk Fahmi dengan erat. "Pasti, Bu. Ibu harus selalu yakin, jika Fahmi akan kembali," Pemuda itu mencium kening Ibunya lama. Tatapan Fahmi dan Fizah bertemu, mereka saling mengkhawatirkan satu sama lain. "Jagalah, Ibu." ucapnya lalu meninggalkan rumah. Fizah mengangguk dan melepas kepergian lelaki itu. Fahmi melakukan perjalanan panjang, dia berusaha tidak menoleh agar Ibunya dan Fizah tidak berat melepaskannya. Perjalanan ini memakan waktu hingga seharian, jika di lakukan oleh manusia biasa. Jarak desa Fizah dan Fahmi terhalang oleh satu gunung. Tentu hal yang sangat menguntungkan bagi Fahmi, dia tidak perlu bersusah payah menderita karena berubah menjadi manusia jelmaan. Hari masih sangat pagi, waktu yang cocok baginya menjadi manusia serigala. "Auw," lolongan itu terdengar panjang Tap tap tap tap. Langkah kaki serigala putih itu semakin cepat. Gunung terjal yang dilaluinya sangat mudah di taklukan. Serigala putih itu seolah menari di antara rimbunnya pepohonan. Dan cadasnya bebatuan. Fahmi tidak selalu bisa menikmati wujudnya, di kampung gunung serigala sendiri. Fahmi hanya bisa melakukannya di malam hari atau melakukan perjalanan panjang ke lereng gunung. Beberapa jam kemudian. Desa Fizah pun terlihat di depan mata, perkampungan yang ramai terlihat di bawah sana. Fahmi tersenyum karena menyadari bahwa dirinya telah sampai. Hanya butuh waktu tiga jam sebagai manusia serigala lalu pemuda itu kembali menjadi manusia biasa. "Ya, Ryan memang benar. Sangat mudah melewati gunung dan bukit dengan wujud ini," Fahmi memperbaiki penampilannya, memeriksa tangan dan kakinya. 'Sudah sangat sempurna,' Batin Fahmi. Dia mulai menuruni gunung dan tiba di Desa. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari rumah Bi Ratmi dan suaminya. Desa Fizah terlihat biasa saja, sama seperti desa-desa pada umumnya. Setelah bertanya kepada penduduk setempat akhirnya Fahmi menemukan apa yang dicarinya. "Rumah Bu Ratmi, Itu. Yang bercat warna putih, Bang." Tunjuk seorang remaja yang di tempati nya bertanya. "Bu Ratmi, Budenya Hafizah kan?" ucap Fahmi menegaskan. "Betul, Bang. Tapi, Fizah sudah tak ada di Desa ini. Semenjak kematian kedua orangtuanya." Fahmi lega mendengarnya. "Ya, benar. Fizah yang itu, terimakasih." "Sama-sama, Bang." Fahmi mendekati rumah yang di maksud remaja tadi. Rumah itu terlihat lusuh dari luar, catnya mengelupas dan rumput liar tumbuh dengan bebas di halaman. Rumah itu seperti tak memiliki penghuni. Tok tok tok "Selamat siang," ucapnya dari luar. Tidak ada yang datang. "Permisi, apa ada orang?" Panggil Fahmi lagi, tak lama pintu di buka dari dalam. Seorang wanita berdiri tegak di balik pintu, netranya menatap Fahmi dari kaki hingga kepala. "Maaf Anda siapa dan mencari siapa?" tanya wanita itu ketus. Tak ada ramah tamah yang di perlihatkan, walau begitu Fahmi berusaha tersenyum. "Saya ingin bertemu dengan Bu Ratmi, apa beliau ada?" tanyanya sopan. Wanita itu mengerutkan kening, dia tidak mengenali sosok yang berdiri di hadapannya sama sekali. "Saya sendiri, Anda ini siapa?" tanyanya lagi. "Kenalkan, saya Fahmi. Calon suaminya Fizah," Bu Ratmi terkejut mendengarnya. Fahmi menelisik rumah itu dengan indra yang di milikinya. Tidak ada siapa-siapa di rumah selain dia dan wanita itu. "Silahkan masuk dan duduklah. S-saya akan membuat m-minuman dulu di dapur," ucapnya gugup. Fahmi menolak. "Tidak perlu, saya kesini hanya ingin memberi tahu kalau saya akan menikahi Fizah." Wanita itu terlihat tak suka mendengar ucapan Fahmi. "Lalu Fizah nya kemana? Kenapa tidak di bawah pulang!" "Dia tidak akan pulang, saya hanya datang mengabarkan. Fizah tidak ingin bertemu dengan kalian." Fahmi mengunci pandangan lawan bicaranya. "Duduklah sebentar, aku ke dalam dulu." Bu Ratmi pergi dengan terburu-buru. Fahmi terpaksa menunggu karena sikap wanita itu. Tak lama beberapa orang lelaki datang mendekat. Fahmi pun langsung bangkit karena merasa terancam. "Tangkap dia! Dia mengetahui di mana Hafizah berada," titah wanita itu. Orang-orang tersebut adalah anak buah Sang Juragan, dengan sigap mereka langsung mengepung. Awalnya Fahmi masih bisa menghindar. "Kejar dia atau kalian yang akan dihajar oleh Juragan!" teriak Bu Ratmi lagi. Fizah sudah memperingatkan sebelumnya bahwa Bibinya sangat licik. Dan Fahmi menyadari itu sekarang. Perkelahian tak terelakan. Fahmi bertemu dengan preman yang mengejar Fizah waktu itu. Ada sekitar lima belas orang dan pemuda itu hanya sendirian. Fahmi berusaha kabur. Namun, jumlah mereka sangat banyak. "Hiyat!" Perkelahian terjadi. Fahmi masih bisa bertahan, skill beladiri nya lumayan. Pemuda itu bisa menumbangkan beberapa orang. "Hajar dia! Jangan biarkan dia lolos," Fahmi lengah, tendangan di bagian perut menumbangkan pemuda itu. "Ach," dia meringis saat tubuhnya membentur ke lantai. Fahmi langsung di ringkus dengan tangan dicekal kebelakang, "Ha ha ha, bawa dia ketempat biasa," seru salah satu dari mereka. Fahmi di geret menuju ke sebuah rumah kosong. Di saksikan sebagian oleh penduduk. Tak ada yang berani membantu Fahmi, kekuasaan Sang Juragan membuat mereka memilih menutup mata. Mereka meninggalkan pemuda itu sendirian dengan kaki dan tangan terikat di sebuah ruangan. 'Aku tidak boleh tertangkap,' ucap Fahmi meracau. Cemas, karena dia berada jauh dari rumah Tak lama seorang pria tua datang dengan memakai tongkat, wajah lelaki itu terlihat sangat tidak bersahabat. "Katakan dimana Fizah berada atau kau tidak akan selamat," ucapnya. Fahmi menerka siapa lelaki itu. "Dia aman dan bahagia, kami akan menikah. Anda siapa?" "Lancang!" Gertaknya sembari menampar Fahmi. Plak Fahmi meringis kesakitan, tamparan lelaki tua itu sangat keras hingga sudut bibirnya berdarah. Lelaki tua itu sangat marah, emosinya terlihat jelas. "Dia adalah calon istriku. Jika tidak kau katakan dimana keberadaannya, maka aku tidak akan segan untuk membunuhmu!" Fahmi tersenyum seolah tertantang. "Hal itu tidak akan pernah terjadi, kau tidak akan bisa menikahinya. Dia hanya akan menikah denganku." "Kita liat saja. Tutup pintunya dan jangan berikan makan ataupun minum. Biarkan dia mati secara perlahan," Lelaki tua itu melenggang pergi. "Siap, Juragan. Kami akan melaksanakan," ucap preman-preman itu. Fahmi tertegun, dia baru menyadari jika lelaki yang baru ditemui nya adalah Sang Juragan. "Ah, sial!" Fahmi berusaha membuka tali pengikat yang melilit tangan dan kakinya. Namun semua itu sia-sia saja. Ikatannya terlalu kuat dan Fahmi kelelahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN