Siang ini terik matahari terasa seperti membakar bumi.
“Kamu kenapa kayanya kusut banget, Fan?” tanya Tristan sambil menyodorkan segelas kopi hitam ke hadapanku yang duduk bersila di lantai semen.
Di kontrakan kami tidak ada meja, kursi atau furnitur lainnya selayaknya rumah tangga umumnya. Kami hanya memiliki lemari pakaian, tempat tidur, dan beberapa perlengkapan rumah tangga ala kadarnya. Perabotan dapur pun sebagiannya pinjaman dari kenalan yang peduli dengan keadaan kami.
“Fan, kamu kenapa sih keliatannya gak b*******h banget, tumben?” Tristan kembali bertanya karena aku hanya duduk termangu, tak merespon pertanyaannya tadi.
Aku menolehkan wajah menatap istriku dengan perasaan pilu. Lalu menyandarkan punggung pada dinding tembok yang terasa sedikit mendinginkan tubuhku yang kepanasan, “Aku lagi bingung, Tan. Udah dua bulan kerja, tapi belum juga bisa jualan,” jawabku lemah.
Tristan menggeser duduk lebih merapat kepadaku, “Sabar aja, entar juga ada waktunya, Fan!” ucapnya sambil memunguti dan merapikan helm, jaket, kaos kaki serta sepatuku yang berserakan di lantai. Kemudian menyimpannya di kamar tidur.
Kami telah sepakat saling memanggil nama tanpa embel-emel papa, mama, mas, adek, kakak atau sejenisnya.
“Tapi kalau bulan ini aku gak jualan sama sekali, ancamannya bisa dipecat!” keluhku putus asa. Tristan sudah kembali duduk di dekatku, lalu aku menyesap kopi panas yang disajikannya.
“Udahlah, kalau kamu sampai dipecat dari MM, nyari kerjaan lain aja! Yang penting usaha aja dulu! Jangan gampang nyerah gitu dong. Mana Arfan yang dulu?” hibur Tristan yang sekaligus mencoba mengingatkan tentang jati diriku yang pernah mendapat julukan hebat ‘Pejuang Cinta Tiada Malu.’
“Iya sih, tapi sebagai kepala keluarga, aku merasa telah gagal bertanggung jawab memberikan nafkah yang layak untuk kelangsungan hidup istriku. Jangankan layak, seadanya pun tidak.” Aku berusaha bijak.
Sebenarnya sudah lebih dari sebulan keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja selama ini selalu aku sembunyikan, agar kegaulauan ini tidak membuat Tristan ikut resah yang pada gilirannya akan menggangu mental dan konsentrasi kerjanya.
“Aku gak merasa begitu, Fan. Aku terima dengan ikhlas keadaan kita saat ini.”
“Aku bahkan gak tahu, sampai kapan kita bisa bertahan dalam keadaan seperti ini?” timplku dengan keluhan yang makin menyedihkan.
“Aku masih punya simpanan. Insya Allah untuk bayar kontrakan dan makan sehari-hari masih cukup, kok. Yang penting kamu tetap semangat usaha untuk keperluan lainnya. Aku yakin semua pasti ada jalannya.” Tristan yang usianya setahun lebih tua dariku, selalu bisa bersiap lebih pengertian, dewasa dan bijaksana.
Tristan lalu memeluk dan menciumi pipiku dengan sepenuh jiwanya, “Apapun adanya kamu, cinta dan sayangku tidak akan pernah berubah, Honey,” bisiknya lembut.
“Makasih ya, Sayang. Kamu memang istriku yang paling bisa diandalkan,” balasku sesaat sebelum membalas ciumannya.
“Kamu juga suamiku yang sangat luar biasa. Aku selalu bahagia di sampingmu. Kamu masih tetep setia dan bersemangat untuk menafkahiku. Padahal bisa aja kan kamu kabur atau setidaknya lari dari tanggng jawab, hehehe,” canda Tristan sambil mengelap keringat di keningku dengan punggung tangannya.
“Maafin suamimu yang belum bisa membahagiakanmu.” Kembali aku berucap sambil mencium wajahnya yang tetap cantik walau sudah beberapa bulan kuajak hidup sengsara.
“Udah ah jangan lebay. Oh iya, aku mau siap-siap berangkat kerja ya. Buat makan siang dan yang lainnya udah aku siapin di dapur,” ucap Tristan sambil melepaskan pelukannya, lalu beranjak menuju kamar tidur.
“Mau aku anter?” tanyaku seraya menatap punggungnya.
“Gak usah. sebentar lagi juga Bang Lino datang,” jawab Tristan sambil masuk kamar.
Sebenarnya tawaranku untuk mengantarnya hanya basa-basi. Semangatku benar-benar sedang berada di titik nadir. Jangankan membawa motor mengantarnya kerja, untuk sekedar mengisap rokok pun rasanya sudah sangat malas. Alasan itulah yang membuatku pulang kerja lebih awal.
Tak lama kemudian Bang Lino, rekan kerja Tristan datang menjemput. Sebenarnya bukan sengaja menjemput. Kebetulan dia lewat kontrakan kami setiap berangkat kerja. Dan kebetulannya lagi, untuk sebulan ke depan shif mereka sama. Walau tidak setiap hari mereka bisa pergi dan berangkat bareng karena Bang Lino lebih sering dinas luar.
Marcelino Ferdy, atau yang biasa kami sapa Bang Lino, berusia lima tahun lebih tua dariku. Beberapa bulan lagi dia juga akan melangsungkan pernikahannya dengan El Fitri, teman kerja yang sudah dipacarinya selama tiga tahun. Di mataku Bang Lino adalah sosok yang sangat baik, ganteng, rendah hati, dan tampak selalu cerdas dalam setiap ucapannya.
“Eh, tumben udah ada di rumah, Fan?” tanya Bang Lino saat aku mendatanginya di teras kontrakan. Pertanyaan yang wajar karena biasanya kami jarang bertemu pada jam-jam seperti ini.
“Lagi kurang enak badan, jadi pulang lebih awal, Bang,” jawabku beralasan sambil menyalaminya, lalu duduk di selasar teras berdampingan dengannya.
“Gimana Bang, belum ada lowongan kerja buat saya itu?” lanjutku mengulangi pertanyaan beberapa waktu lalu.
“Belum ada, Fan. Kayaknya emang susah lowongan buat cowok. Minggu lalu ada dua karyawan cowok yang dipecat, tapi gantinya malah cewek,” terang Bang Lino sambil menatapku iba. Dia tahu banyak keadaan aku dan Tristan, karena sering ngobrol, terutama dengan Tristan.
“Saya bingung, ternyata jadi sales motor itu tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi dengan sistem freelance yang murni mengandalkan bonus. Udah dua bulan kerja, sama sekali saya belum bisa berjualan. Sementara biaya operasioanal terus jalan,” keluhku tiada henti.
Entahlah, mengapa aku menjjadi lelaki yang sangat cerdas dalam mengeluh dan mencari alasan. Benar-benar tipe pecundang. Kemana Arfan sang pejuang itu?
“Sabar aja, Fan. Saya yakin kamu pasti bisa. Banyak sales motor yang mengandalkan bonus, tapi kehidupnya lebih sejahtera dibanding karyawan biasa yang hanya mengandalkan gaji bulanan yang tak seberapa,” imbuh Bang Lino menjelaskan sebuah fakta dalam kehidupan umum.
Untuk beberapa saat aku menatap Bang Lino yang selalu bijak, cerdas dan dewasa dalam menyikapi segala hal.
“Semua butuh proses ya, Bang. Saya masih sangat hijau dalam bidang pemasaran dan penjualan. Selain koneksi yang masih sangat terbatas, persaingan antar sesama sales pun memang sangat keras.”
“Lumrah, itulah dunia usaha.”
“Saya sangat lemah bernegosiasi, hingga selalu gagal dalam eksekusi. Kalah bersaing dengan para senior.” Entah sampai kapan aku terus mencari pembenaran dan alasan atas kegagalan diriku sendiri.
“Kucinya tawakal dalam menjali proses. Calon istri saya juga kan punya side job sebagai penulis n****+ online di berbagai platform.” Bang Lino menyesap rokoknya yang tinggal setengah batang lagi.
“Wah keren tuh Mbak El punya side job begitu, bisa nyantai kerjanya rebahan tapi katanya dibayar dolar ya?” Seketika nada suaraku berubah antusias.
“Hehehe, gosip dan idelanya sih begitu. Tapi sama aja, semua butuh proses. El Fitri itu udah hampir setahun nulis, udah beberapa n****+ dirampungkannya. Tapi penghasilannya belum seberapa, karena belum punya banyak pembaca.”
“Oh gitu?” Kini aku yang melongo sedikit tak percaya dengan ucapannya.
“Padahal El itu rajin banget promoin novelnya di medsos. Tapi ya itu tadi, selalu kalah bersaing dengan para seniornya yang sudah memiliki jam terbang tinggi. Mereka udah lebih dulu berhasil melewati prosesnya yang panjang.” Bang Lino semakin bijak.
Menurut Quora Youtixs dan Hayaki, mereka bahkan bisa menghasilkan puluhan ribu dolar dalam sebulan, hanya dari menulis n****+ online. Kenapa Mbak El Fitri justru penghasilannya masih sangat minim. ‘Siapa sebenarnya yang bohong?’ pikirku.
“Ya, saya setuju, Bang. Mungkin karena keadaan saya yang sedikit terdesak, makanya jadi mudah mengeluh dan menyerah ya, Bang. Hehehe.”
“Bisa jadi. Tapi seorang cowok, sejatinya tidak boleh punya alasan untuk mengluh apalagi menyerah dalam segala medan, hehehe.”
“Saya benar-benar down, kalau bulan ini sampai zero selling, maka semuanya berakhir.” Aku tetap tak bosan-bosannya mengeluh. Mungkin akibat terlalu sering bergaul dengan netizen yang hobynya mengeluh tanpa peluh.
“Kamu harus yakin, Fan. Pasti akan ada seseorang yang akan menyelamatkan karirmu. Sebelum jadi karayawan, saya juga pernah jadi sale freelance sepertimu.”
“Amiin, thanks atas semua suportnya, Bang.”
“Intinya terus berusaha dan perbaiki kawalitas diri. Buka komunikasi dengan semua orang agar semakin luas jaringan. Kita tidak akan pernah, bisa jadi tetangga terdekatlah yang akan menjadi customer pertama kita.” Nasihat Bang Lino bersamaan dengan Tristan keluar dari rumah sudah dalam keadaan berseragam rapi, siap berangkat kerja.
“Fan, aku berangkat dulu ya,” ucap istriku sambil meraih tangan kananku dan menciumnya.
“Hati-hati ya, Sayang. Oh iya, gimana jadi gak hari ini pulang lebih malam?” tanyaku pada Tristan, juga Bang Lino sekalian.
“Acaranya jadi, pulangnya tergantung sikon. Mudah-mudahan aja acaranya sesuai schedule. Tapi biasanya ada molor satu atau dua jam,“ terang Bang Lino, tak beda dengan gaya bicara Bang Amran, supervisorku di ‘Berkilau Motor.’
“Oh gitu. Gak masalah sih, saya tiitip Tristan ya, Bang.”
“Santai, hehehe,” balas Bang Lino sambil menyalakan mesin motornya dan tak lama kemudian mereka pun berangkat.
Dua hari yang lalu Tristan meminta izin untuk menjadi penjaga stand pada sebuah acara yang diselenggarakan BUMN yang bekerja sama dengan BFC tempatnya bekerja.
Tristan sangat antusias menerima tawaran tersebut karena selain akan menjadi pengalaman pertamanya, juga bisa mendapat uang tambahan. Hanya risikonya waktu kerja disesuaikan dengan jalannya acara.
Sebagai suami tentu aku mengizinkan demi kemajuan karirnya. Terlebih lagi ada Bang Lino yang menjaganya. Semoga saja mereka tidak berkhianat.