Ranjang Berisik

1685 Kata
BRAK! Tiba-tiba suara benturan cukup keras mengiringi terbukanya pintu kamar mandi yang sontak membuatku terperanjat. "Eh maaf, kirain gak ada orang!" Mbak Ayu berseu kaget, namun suaranya tidak terdengar bergetar. Kedua bola matanya leluasa memandangi ketelanjangan tubuhku dalam keadaan berdiri. “Aduh Mbak Ayu!” sergahku kaget setengah mati saat mulai tersadar. Aku tekesima tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menatap wajah tetanggaku yang merona. Dia berdiri kaku dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga. Tak lama kemudian wajahnya kembali terlihat tenang. Dengan seulas senyuman yang terpancar, mata Mbak Ayu justru jelalatan tertuju pada selangkanganku. Dan dengan refleks kutarik handuk yang tergantung di kapstok. Kemudian melilitkan pada pinggang untuk menutupi bagian tubuhku yang semestinya tidak dilihat orang lain, kecuali Tristan, istriku. "Mbak Ayu mau apa?" tanyaku sedikit kesal. Walau sudah berusaha santai namun belum sepenuhnya bisa menguasai diri. Kaget, malu, dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk dalam d**a dan kepalaku. Mbak Ayu pasti tahu apa yang sedang aku lakukan, terlebih lagi batang rudalku sedang dilumuri sabun. "Ma..maaf Fan, mbak kebelet mau pipis," jawabnya tanpa dosa sambil tersenyum, padahal sudah hampir membuat jantungku copot. "Ya udah. Saya keluar dulu, Mbak!” balasku sedikit ketus sambil melangkah mendekati pintu kamar mandi. Mbak Ayu masih tersenyum, tatapannya seolah tidak mau beranjak dari bagian depan tubuhku yang tampak menyembul dibalik handuk. “Gak usah keluar. Mbak juga sebentar, cuma mau pipis doang, kok!” cegahnya sambil menggeser tubuhnya, berdiri di atas closet dengan posisi menyamping. Deg! Jantungku seketika berdegup kencang, terhenyak dan sekujur tubuh bergetar saat istrinya Bang Ipul dengan santainya mengangkat rok panjangnya, lalu memelorotkan celana dalamnya. Dengan tanpa sungkan dia berjongkok di atas closet dalam posisi menyamping. Tak ayal lagi auratnya menjadi konsumsi segar kedua mataku. Wajah tegang dan kembali terkesiap. Suhu tubuh mendadak panas dingin, badan serasa kaku, dan kedua kakiku makin kuat terpatri pada lantai, tak sanggup bergerak untuk melangkah meninggalkan kamar mandi. Kedua tanganku pun refleks menyilang di depan selangkanganku untuk menutupi perubahan iklim. Entah berapa lama aku berada dalam posisi rikuh dengan tidak berusaha untuk pergi atau menolehkan wajah ke arah lain. Bahkan ketika Mbak Ayu membasuh saluran saluran pembuangan kencingnya, mataku bukannya terpejam, malah kian terbelalak. “Nah, sekarang udah beres, lega rasanya. Sebentar kan, Fan?” ucap Mbak Ayu sambil bangkit dari jongkoknya. Lalu berdiri menghadapku dengan wajah yang sedikit menunduk karena dagu dan dadanya dirapatkan untuk menjepit rok panjang yang diangkatnya. Mataku kembali terbelalak saat melihat bagian yang paling pribadi dari tubuhnya. Bulu-bulu hitamnya yang cukup lebat benar-benar telah menggelorakan darah mudaku hingga sesuatu di balik handukku kambli tidak bisa dikendalikan laju berdirinya. “Sorry ya, Fan, udah ngenganggu mandi dan ritual kamu, heheh,” ucapnya setelah selesai menarik dan memakai kembali celana dalamnya, serta menurunkan rok panjangnya. Setelah itu dia menatapku sambil tersenyum. “Makasih ya, Fan!” ucapnya lagi dengan sangat lembut dan sama sekali tidak mampu untuk kujawab. Sekian detik kemudian aku tersadar dan menolehkan wajah ke samping kanan membuang wajah agar tidak beradu pandangan. Malu dan jengah yang menyergap jiwaku tak bisa dihindarkan lagi. Kulit wajahku seketika terasa seperti disiram segalon air panas. Pastinya akn terlihat merah merona seperti udang bakar. “Oke, Fan, silakan terusin mandi dan aktifitas siangnya. Maaf udah ganggu,” bisik Mbak Ayu di telingaku, lengkap dengan sebelah tangannya yang tiba-tiba meraba perutku yang telanjang, Deg! Jantung kembali tersentak, perutku refleks tertarik ke belakang hingga badanku setengah membungkuk. Namun sialnya, justru telapak tangan Mbak Ayu bergeser ke bawah menyentuh handukku tepat di bagian yang paling menonjolnya. “Gede banget sih punya kamu, Fan,” desahnya tanpa rasa malu. Mbak Ayu tersenyum genit, bersamaan dengan telapak tangannya yang tanpa ragu mengelus lembut selangkanganku dari balik handuk. Mulutku seketika menganga dengan mata terbelalak. Benar-benar tak menduga dengan tingkah tetanggaku yang sangat nekad dan tak tahu malu ini. “Jangan dibuang sia-sia calon anakmu, Fan. Siapa tahu dia calon presiden Indonesia selanjutnya, hehehe,” canda Mbak Ayu sambil menarik tangannya dari selangkanganku. Dan dengan gerakan yang tanpa beban, dia pun keluar dari kamar mandi tanpa menutup kembali pintunya. ‘Oh my God!’ makiku dalam hati sambil mendorong daun pintu, kemudian menutup dan menguncinya. Setelah itu aku bersandar pada daun pintu seraya mendongak menatap asbes kamar mandi. ‘Gila, ini benar-benar edan!’ Aku masih tidak percaya dengan yang baru saja terjadi. ‘Syaiton apa yang sedang merasuki tetanggaku ini?’ pikirku. Semua rumah kontrakan tidak memiliki kamar mandi. Untuk urusan mandi, cuci dan kakus, pemilik kontrakan membuat sebuha MCK atau kamar mandi empat ruang yang bisa dipakai secara bergantian oleh semua penghuni, tanpa membedakan untuk pria atau wanita. Mana yang kososng itulah yang dipakai. Tadi saat masuk kamar mandi, aku lupa tidak mengunci pintunya. Sebenarnya insiden itu tidak perlu terjadi, karena biasanya siang-siang begini jarang ada yang menggunakan kamar mandi. Lagian ruangannya ada tiga, mengapa dia maksa masuk ke ruangan yang sedang kupakai, bahkan tanpa mengetuk lebih dulu. Setelah ketegangan jiwa sedikit mereda, aku pun segera menyiram seluruh tubuhku dengan air dingin yang menyegarkan, sambil menyesali kecerobohan atas kelupaanku tidak mengunci pintu. Namun aku tidak sepenuhnya bersalah. Walau sangat kebelet, semestinya Mbak Ayu segera keluar dan pindah ke ruang sebelah yang jelas-jelas sedang kosong. Bergayung-gayung air mendinginkan dan menyegarkan tubuhku. Pikiranku menjadi semakin positif, bisa menilai jika Mbak Ayu memang sengaja melakukan itu untuk menjalin keakraban antar tetangga, atau mungkin dia ingin memastikan keadaanku dalam kamar mandi itu baik-baik saja. Sungguh tetangga yang sangat peduli. Namun haruskah kepedulian itu sedemikian ekstrimnya? Entahlah. Setelah mengeringkan tubuh, aku pun segera memakai kembali kolor hitamku tanpa kaos. Sejak dari rumah memang hanya mengenakan kolor. Handuk kulilitkan di leher, tempat sabun kujinjing, lalu keluar sambil bersiul. “Hah!” Aku kembali berteriak kecil karena terkejut dengan pemandangan tak biasa yang ada di depan mataku. “Duh, sampe segitunya yang kaget, hehehe.” Mbak Ayu dan seorang tetangga lain berdiri berdampingan menyambutku. Mungkin lebih tepatnya menghadang. “A…a..ada apa Mbak?” tanyaku agak gugup dan takut dikeroyok oleh dua mama muda berpostur gemuk-gemuk ini. Bagaimana kalau mereka nekad berbuat tidak senonoh kepadaku. Masihkah aku sanggup untuk menolaknya? Aku sendiri meragukan itu. “Fan, tadi kenapa kamu ribut sama si Winda?” tanya Mbak Ayu mewakili temannya yang senyum-senyum gak jelas. Aku lupa nama tetanggaku yang berdiri dekat Mbak Ayu. Dia tampak lebih muda dan cantik, suaminya Bang Andi karyawan sebuah restauran yang sudah cukup akrab denganku. “Oh, itu bukan ribut Mbak, cuma meluruskan kesalah-pahaman,” jawabku agak tenang, setelah yakin dua mama muda ini bukan mau memperdayaku. Rupanya mereka menguping pertengkaran yang terjadi antara aku dengan Mbak Winda yang memang cukup berisik. “Tapi si Winda kok langsung mencak-mencak tuh di warung Uda Amir,” timpal temannya Mbak Ayu. “Hah!” Aku benar-benar terperanjat mendengarnya. Mataku sontak menatapnya, “Mencak-mencak di warung Uda Amir?” bibirku tak sadar berucap. “Iya, katanya gak ada hujan gak ada angin, dia dimaki-maki sama Mas Arfan. Padahal katanya dia sering ngasih makanan dan selalu berbuat baik sama Mbak Tristan juga,” terang temannya Mbak Ayu yang kian membuatku melongo. “Astagfirullah….” Hanya beristigfar yang selanjutnya bisa kulafazkan. “Tapi gak usah khawatir, Fan. Siapapun yang dengerin ocehan si j****y itu, gak bakal ada yang percaya. Kita semua udah tahu kok kualitasnya kek gimana!” Mbak Ayu sedikit menenangkan jantungku yang mendadak berdebar-debar dan isi kepalaku mulai kembali mendidih serasa ditantang. “Kayaknya dia emang lagi cari gara-gara sama kalian,” sambung Mbak Ayu kalem. “Hah, emangnya kenapa? Apa salah kami sama dia?” Aku semakin tak mengerti. “Jelasin In, jangan ada yang ditutup-tutupi,” titah Mbak Ayu pada Inara. Ya, aku baru ingat nama tetanggaku yang paling muda dan paling cantik itu Inara. Usianya mungkin dibawahku sedikit, namun sudah lebih dari dua tahun menikah. “Duh, gimana ya? Aku gak enak ngomongnya. Mbak Ayu aja deh yang jelasinnya.” Wajah Inara mendadak merona. Dan aku makin penasaran dengan teka-teki mereka. “Ada apa Mbak?” tanyaku sambil menatap Mbak Ayu. “Gini Fan, maaf ya, tapi kamu jangan tersinggung.” Mbak Ayu menatap wajahku dengan sangat intens, seolah yang akan disampaikannya butuh perhatian khusus dariku. Aku pun mengangguk tipis. “Si Winda itu sering ngomongin kalian di mana-mana. Katanya setiap malam dia merasa terganggu dengan ulah kalian,” terang Mbak Ayu dengan pelan-pelan. “Terganggu dengan ulah kami? Tiap malam saya hanya berdua dengan istri saya, bahkan kami tidak punya teve. Tidak pernah membuat ulah aneh atau kegaduhan. Justru Mbak Winda yang sering pasang musik keras-keras, kita semua juga tahu kan?” Aku tak terima dituduh seperti itu. “I..iya sih, katanya dia terganggu bukan oleh suara musik atau teve, tapi sama suara-suara berisik saat kalian sedang begituan.” Mbak Ayu bicara blak-blakan namun sedikit malu-malu. ‘What? berisik?’ tanyaku dalam hati. Wajahku terasa mendadak panas membara serasa disiram kopi panas segelas. Warnanya pun mungkin sudah semerah udang bakar. “Ma..ma.maaf Mbak, sa..saya harus masuk dulu ke rumah, lagi masiak nasi, maaf takut keburu kering. Terima kasih infonya,” ucapku sambil beregegas melangkah menuju pinttu dapur tanpa melanjutkan obrolan dengan kedua mama itu. Entah dimana harus kutaruh muka ini, malu semalu-malunya! Aku dan Tristan, memang pengantin remaja yang memiliki kreatifitas aksi ranjang yang ekspresif dan cenderung liar. Bahkan sering melakukannya di tempat yang kami pikir sangat menantang selain di tempat tidur. Tengah rumah, dapur bahkan kamar mandi menjadi tempat favorit kami. Sebenarnya kami juga terobsesi untuk melakukannya di tempat-tempat yang agak sedikit ekstrim, misal di alam terbuka atau di tempat yang tak biasa lainnya. Namun belum berani merealisasikannya. Takut ada netizen tak bertanggung jawab, merekam dan menyebarkannya. Sejauh ini aktivitas ranjang kami, aku pikir masih dalam taraf sangat wajar. Dilakukan dalam rumah kami. Memang tidak bisa dipungkiri, terkadang sedikit berisik. Tristan sering mendadak kalap dan liar saat sedang dilanda birahi tinggi. Benar-benar tak menduga, urusan ranjang sekalipun ternyata bisa menimbulkan kegaduhan antar tetangga. Sungguh luar biasa sensasi bertetangga ini. Bertetangga ternyata tak seindah janji Pak RT yang akan memasukan keluargaku dalam daftar penerima bantuan beras miskin untuk bulan-bulan berikutnya. Haruskan aku menaklukan para tetangga rese itu dengan cara-caraku? Oh no! Kini aku telah menjadi suaminya Tristan dan sedang berusaha menjadi suami yang bauk. Mau jadi anak soleh yang sudah insyaf. ^*^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN