Beliau Sedang Rapat

2324 Kata
Syukurlah, keduanya sudah tiba di sekolah sebelum pukul tujuh pagi di mana pintu gerbang belum ditutup oleh Pak Satpam. Seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya, sekolah ini memang menerapkan aturan yang sama, di mana siapapun tidak dapat masuk ke dalam sekolah setelah pukul tujuh pagi dan sebelum pukul setengah delapan pagi. Jadi, entah itu murid atau guru atau pihak lain, tetap harus menunggu sampai gerbang kembali dibuka untuk dapat masuk ke dalam sekolah atau sekalian saja tidak usah masuk. Bukan hanya itu, setelah pintu gerbang dibuka kembali, mereka semua wajib lapor tentang alasan mengapa terlambat khusus murid dan guru. Dan untuk pihak lainnya, mereka harus memberikan surat keterangan keperluan datang ke sini. Sekolah ini memang dikenal cukup ketat. Jika saja Lukas tidak mempunyai kenalan orang dalam, mungkin saja dirinya akan kesusahan untuk meminta izin guna melakukan observasi bersama dengan Luna. Syukurlah, perjalanan mereka hingga sampai di lobby sekolah ini sangat dipermudah. "Mbak, mau nanya Ibu Kharismanya apa sedang mengajar ya?" tanya Lukas pada seorang receptionist. "Sebentar, saya cek jadwal untuk Ibu Kharisma dulu ya, Mas." Sembari receptionist tersebut mengecek jadwal guru yang dimaksud Lukas melalui komputer, Lukas dan Luna berkeliling di sekitaran lobby untuk melihat betapa banyaknya piala yang terpajang di almari etalase. Ada banyak sekali mulai yang dari tingkat kecamatan, bahkan sampai tingkat nasional. "Lukas, sekolah ini kayaknya keren banget deh," ucap Luna dengan penuh kekaguman. "Ini sekolah kamu dulu?" "Nggak lah, Lun. Aku nggak daftar di sini," jawab Lukas. "Lho, kenapa?" "Walau aku lumayan pinter, tapi kayaknya aku nggak bakal sanggup bersaing di sini. Sistemnya ketat banget, kompetisinya tinggi. Ya wajar lah, Lun. Namanya juga international school." "Eh udah, Lukas," kata Luna pada Lukas mengajaknya untuk kembali ke receptionist. "Gimana, Mbak?" tanya Lukas. "Ternyata jadwal hari ini Ibu Kharismanya sedang rapat bersama di Dinas Pendidikan. Apakah mau meninggalkan pesan atau mungkin Masnya udah punya nomor kontak Ibu Kharisma?" Nampak sedikit raut wajah kekecewaan dari Lukas dan Luna. "Tadi belum kamu tanyain ya, Lukas, Ibu Kharismanya?" tanya Luna pada laki-laki itu. "Udah kemarin sih, Lun." "Iya, sepertinya rapat ini cukup mendadak, Mas," ucap sang receptionist. "Yaudah deh, Mbak. Saya sama teman saya pamit dulu. Makasih ya, Mbak." Keduanya berjalan keluar lobby. Rupanya jalan mereka tidak semulus yang dibayangkan. Jika sudah seperti ini, berarti Lukas dan Luna harus menunggu hari lain untuk melakukan observasi dan yang pasti sebelum mereka sampai di sekolah mereka berdua harus benar-benar mengonfirmasi kepada Ibu Kharisma terlebih dahulu. "Terus gimana, Lukas?" tanya Luna tidak tahu harus apa. "Terus gimana, Lukas?" tanya Luna. Lukas menggeleng. "Habis ini aku coba chat Bu Kharisma, aku pastiin apa hari ini masih bisa buat kita observasi. Kalau nggak bisa, ya terpaksa hari lain aja," katanya yang langsung membuat Luna mengembuskan napas panjang. Saat ini keduanya sudah kembali masuk ke dalam mobil. Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri Lukas masih menunjukkan pukul setengah delapan, masih cukup pagi bagi keduanya untuk kembali ke rumah.  Sudah pasti Lukas tidak akan membawa Luna untuk kembali ke rumahnya karena dirinya pun tidak senang untuk berada lama-lama di rumah. Di saat liburan, Lukas juga tidak pernah banyak menghabiskan waktunya di rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu untuk menongkrong bersama dengan teman-temannya walau ia tahu jika teman-temannya yang sering ia ajak nongkrong bukanlah temna yang sesungguhnya atau Lukas juga paham jika teman-temannya tidak benar-benar menganggapnya sebagai teman. Tetapi itu tidak apa, jauh lebih baik dari pada dirinya harus tinggal di rumah dan bertemu dengan ibunya.  "Sekarang kita mau kemana, Lun?" tanya Lukas pada Luna.  "Katanya mau konfirmasi ke Bu Kharisma dulu," kata Luna mengingatkan rencana Lukas yang tadi. "Oiya." Lukas langsung mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Ibu Kharisma di sana. Setelah menanyakan beberapa hal seperti apakah Ibu Kharisma dapat menemani mereka melakukan observasi di kelas hari ini atau tidak, dan Lukas juga meminta kepastian untuk hari pengganti jika memang hari ini Ibu Kharisma benar-benar tidak dapat menemani mereka untuk melakukan observasi di dalam kelas.  Sembari menunggu balasan pesan dari Ibu Kharisma, Lukas memutuskan untuk menyalakan mesin mobilnya.  "Jadi kita mau kemana, Lun?" tanya Lukas lagi karena memang kali ini Lukas tidak memiliki tujuan atau bahkan ia juga tidak kepikiran untuk mengajak Luna jalan-jalan keliling Kota Solo.  Luna yang sedari tadi berfokus memainkan ponselnya, sedikit membuat Lukas kesal karena dirinya sudah dua kali mengulangi pertanyaa yang sama. "Luna, kamu mau kemana? Kita mau kemana?" tanya Lukas lagi tetapi belum juga digubris oleh Luna. Lukas mengembuskan napasnya panjang-panjang. Ia kemudian mengetuk-ngetuk ujung ponsel Luna untuk menyadarkan Luna jika di sini sedang ada Lukas yang sedari tadi bertanya kepanyanya. "hah, iya apa, Lukas?" tanya Luna ketika sadar bahwa sedari tadi dirnya memang asyik bermain ponsel. "Jadi kamu mau kemana, Lun?"Lukas mengulangi perkataannya. Luna berpikir sejenak, lalu ada sebuah ide muncul di otaknya. "Ke Mekdi yuk," ajak Luna yang langsung membuat Lukas mengangkat sebelah alisnya. "Lho, kamu udah laper lagi, Lun?" tanya laki-laki itu kebingungan. Pasalnya tadi pagi mereka berdua sudah sarapan soto  sebelum berangkat ke sekolah. Ditanya seperti itu, Luna hanya bisa menyengir saja sambil mengkode jika dirinya memang benar-benar pergi ke restoran cepat saji tersebut. "Ayolah, Lukas. Kita beli kentang sama nuggetnya aja," kata Luna dengan mata yang ia buat berbinar. Lukas hanya mengangguk sekali, tetapi bisa membuat Luna sampai girang. Perempuan itu merasa senang seklai ketika Lukas menyetujui untuk pergi bersamanya ke restoran cepat saji tersebut. Lukas pikir, mungkin saja Luna sedang ingin camilan. Mumpung restoran itu tidak jauh dari sekolah ini, tidak ada salahnya juga untuk menuruti permintaan Luna. Mobil mulai melaju ke restoran cepat saji tersebut. Perjalanan menuju ke sana ramai lancar dan tidak ada kemacetan yang berarti karena memang sudah melewati jam masuk kantor. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di sana karena jaraknya pun hanya sekitar satu kilo meter saja.  "Drive thru aja ya, Lukas," kata Luna sebelum mereka sampai di sana. Karena memang Luna tidak ingin makan di tempat. "Lho, kenapa? Aku pikir biar kita sambil ngadem juga di sana, Lun." Lukas sedikit mempertanyakan hal tersebut. Tetapi tidak masalah juga bagi Luna jika memang perempuan itu menginginkan drive thru saja. Toh baginya juga tidak masalah.  Sesampainya di sana, Lukas langsung terkejut bukan main karena antrian yang sangat panjang sekali. Begitupula dengan Luna, ia juga tidak menyangka jika antriannya sepanjang ini.  "Kok rame banget sih, apa lagi ada diskon gede-gedean?" tanya Lukas pada siapa saja dan yang pasti adalah pada Luna. Ia kemudian menoleh kepada Luna. "Yakin, Lun?" tanya Lukas. Luna hanya meringis dan mengangguk. "Yakin." Lukas pun hanya bisa mengiyakan. Toh dirinya juga sudah tidak bisa putar balik atau mendahului untuk keluar dari sini, karena memang kondisi yang sangat padat apa lagi ia juga bisa melihat di depan sana ada driver ojek online yang sedang mengantre dengan jumlah yang tidak sedikit, antreannya sampai ke jalan raya. "Ada apa sih sebenarnya, Lun?" tanya Lukas lagi. "Lagi ada yang spesial, Lukas. Jadi Mekdi lagi kolaborasi sama grup artis Korea gitu. Nanti packagingnya warna ungun bagus banget!" Luna menjawab dengan excited. Bagaimana tidak, momen ini sudah sangat ia nantikan semenjak seminggu yang lalu. Hanya saja dirinay selalu kehabisan dan restoran ini keburu tutup sehingga tidak bisa dipesan melalui aplikasi ojek online. Sedangkan Luna, perempuan itu sangat mager seklai untuk datang langsung ke restoran tersebut. Nisa dan Desi pun sama, tetapi ia lebih suka membeli ayam geprek di warung dari pada nuget dan kentang goreng yang katanya ada tambahan saus spesial.  "Lukas sabar ya, biar ganteng." Luna menyempatkan untuk menoel pipi Lukas. Suasan hati Lukas yang mulai memburuk karena antrean yang panjang langsung membaik ketika pipinya ditoel oleh Luna. Dirinya langsung tersenyum menatap perempuan itu, membuatnya ingin mengacak puncak kepala Luna dan seperti biasanya seperti sudah menjadi kebiasaan juga, ia langsung mengacak puncak kepala Luna. "Bisa aja kamu kalo ngomong." "Aku tau kalo cowok itu suka banget dipuji," jawab Luna. Lukas melirik ke kanan dan ke kiri, berlaga sedang berpikir keras. "Tapi ya, Lun, kayaknya kamu tadi bukan lagi muji aku deh. Tapi kamu emang lagi ngomong yang sesungguhnya kan kalau aku itu emang ganteng." Wajah sombong Lukas sudah terpampang nyata di depan Luna, membuatnya ingin menampol saja laki-laki itu. Menyebalkan sekali. Beruntung Lukas memang benar-benar tampan.  "Lukas stop sok ganteng kayak gitu deh!" kata Luna dengan sebal ketika Lukas menatapnya dengan alis yang naik turun. "Kan aku emang ganteng, Lun!" kata Lukas dengan penuh percaya diri. Luna masih belum bisa habis pikir ketika lagi-lagi menyadari bahwa Lukas sekatif ini. Ia masih belum bisa membayangkan bagaimana Lukas bisa menjadi cowok yang dingin dan tidak banyak bicara ketika ada di dalam kelas. Luna pu berhasil menapol pipi Lukas yang juga membuat laki-laki itu memundurkan tubuhnya dan lebih menjaga jaran lagi dengan Luna. "Kamu kok hobi banget nampol sih, Lun!" kata Lukas dengan sedikit nada sebal. Luna yang hanya berniat bercanda saja dan sedang tertawa tiba-tiba menghentikan tawanya. Ia kembali memajukan tubuhnya dan memegang pipi Lukas dengan perasaan khawatir. "Sakit ya?" tanyanya sambil mengamati apakah akan tanda merah yang membekas di sana. Barang kali tadi tampolan Luna memang cukup keras. Terkadang Luna memang tidak menyadari hal tersebut. "Aduh ... sakit." Tiba-tiba saja Lukas mengaduh. Ia nampak kesakitan ketika Luna memegang pipi kirinya. Sontak saja hal tersebut membuat Luna khawatir karena memnag dirinya lah yang membuat Lukas sampai kesakitan seperti ini. "Aduh, Lukas, sakit beneran ya?" tanya Luna khawatir. Perempuan itu pun juga kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan. "Sakit banget apa gimana? Apa kita keluar aja cari kompresan buat pipi kamu? Maafin aku Lukas, aku nggak pernah bermaksud buat sekeras ini nampol kamu."  Ketika tangan Luna masih memegang pipi Lukas, perlahan tangan Lukas juga naik untuk memegang tangan yang cukup mungil itu, membuat Luna beralih menatap kedua manik milik Lukas. Keduanya kini terdiam, yang ada hanyalah dua insan yang sedang saling menatap dua bola mata satu sama lain. "Lun," kata Luna memecah keheningan yang ada. Perlahan ia memajukan wajahnya sehingga lebih dekat dengan wajah Luna. Perempuan itu masih diam saja. Bukannya ia tidak paham dengan situasi ini dan apa yang akan dilakukan Lukas selanjutnya pun Luna bisa menebak. Tetapi perempuan itu membiarkan saja Lukas yang semakin mendekatkan wajahnya hingga hampir tidak ada jarak diantara keduanya. Keduan mata Lukas mulai terpejam, namun tidak dengan Luna. Perempuan itu masih santai saja bahkan ketika hidung Lukas sudah menempel di pipinya ketika Lukas memiringkan kepalanya. Deru napas mereka pun dapat mereka rasakan satu sama lain.  Sepersekian mili meter lagi dua bibir anak manusia itu akan bertemu dalam sebuah kecupan. Hanya saja sepertinya semesta sedang tidak mengizinkan Lukas khilaf untuk yang kedua kalinya. Tiba-tiba saja Luna berdeham. Sontak saja membuat Lukas langsung membuka matanya. Menyadari bahwa jaraknya dengan Luna sudah sedekat ini, memebuatnya memundurkan kepala.  Lukas jadi kikuk dan merasa tidak enak dengan semua ini. Namun ia hanya bisa menggaruk tengguknya yang tidak gatal. Sedangkan Luna, ia masih menatap Lukas dengan tatapan datar dan wajahnya yang datar pula. "Ng ... maaf, Lun. Hampir kelepasan. Kamu cantik, aku jadi suka," kata Lukas malu-malu dengan kepalanya yang menunduk. "Kalo aku nggak cantik, kamu nggak suka sama aku?" Bukannya merasa deg-degan atau perasaan lainnya yang wajar dirasakan ketika seorang perempuan mendengar laki-laki menyukainya, Luna masih bersikap biasa saja. Ia masih terbawa kesal dengan janji mereka berdua bahwa Lukas tidak akan mencium Luna lagi tanpa persetujuan dari perempuan itu. Tetapi, baru saja Lukas hampir saja melanggar janjinya. "Bukan gitu, Luna ...," jawab Lukas dengan nada yang melemah. Entah apa yang dipikirkan Luna, bisa-bisanya perempuan itu malah membahas perkataan Lukas, bukan perbuatannya yang hampir saja mencium bibirnya lagi. Luna sudah menyenderkan tubuhnya dan melipat kedua tangan di depan d**a. Tatapannya tajam ke depan, di mana sudah tidak ada lagi mobil di depan mereka dan sudah saaatnya mereka berdua untuk memesan.  "Luna jangan marah ya," kata Lukas memohon supaya Luna tidak marah. Perkataan Luaks tidak pernah ia buat-buat. Dari hati yang paling dalam, Lukas benar-benar tidak mau jika Luna marah. Dengan sikap Luna yang seperti ini pun tidak membuat dirinya kesal karena memang ia sadar jika dirinya yang memebuat Luna sampai marah seperti ini. "Aku bakal marah kalo kita kehabisan," jawab Luna yang memberikan kode, sehingga Lukas langsung menydari bahwa saat ini sudah waktunya mereka untuk memesan.  Tidak lama, keduanya berhasil mendapatakan menu yang Luna mau. Perempuan itu sangat sumringah sekali karena telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Satu kantong makanan cepat saji dengan bungkus yang unik itu duduk manis di pangkuan Luna yang sedang sibuk memotret makanan itu. "Lukas, makasih banget! Akhirnya aku kebagian juga!" Ia benar-benar berterima kasih pada Lukas. Rasa kesalnya pada Lukas pun sudah hilang sejak ia sadar sudah giliran mereka memesan. Luna tidak terlalu peduli dengan isinya. Karena Luna sudah paham jika isinya tidak berbeda dengan yang biasanya. Ada nugget dan kentang goreng. Yang membedakan hanyalah terdapat dua saus yaitu saus keju dan sejenis saus asam manis.  "Lukas, aku boleh makan di sini?" tanya Luna kepada Lukas.  Lukas tidak menduga jika Luna akan bertanya terlebih dahulu sebelum memakan makanannya di dalam mobil.  "Boleh aja. Silakan dimakan, Lun," kata Lukas yang fokus dengan kemudinya.  " Lukas, aaa ...." Luna sudah menyodori Lukas dengan nugget tanpa saus di depan mulutnya.  Laki-laki itu langsung melahap saja tanpa perlu basa-basi lagi. "Enak kan?" tanya Luna. Padahal, rasanya memang sama seperti biasanya. "Mana nih rasa Sehunnya, yang berasa cuma daging ayam kayak biasanya," ucap Lukas dengan mulut yang masih mengunyah. "Kalau masih ada makanan di mulut tuh ya jangan ngomong dulu. Lagian artis yang kolaborasi bukan Sehun, ada yang lain." Luna mencoba menjelaskan pada Lukas. "Pasti terkenal banget deh, wong antreannya aja sampai penuh gitu," kata Lukas menduga-duga. Tiba-tiba saja ponsel Lukas bergetar. Laki-laki itu langsung meminta tolong Luna untuk melihat siapa yang mengirim pesan karena takut jika orang tersebut adalah Ibu Kharisma. "Luna, tolong bukain siapa yang barusan ngechat dong," pinta Lukas sambil menunjuk ponselnya yang ada di dashboard. Luna menurut saja dan memang benar yang mengirim pesan barusan adalah Ibu kharisma. Luna langsung membacanya dengan keras supaya terdengar juga oleh Lukas. Setelahnya, Lukas langsung melaju kembali ke sekolah saja karena Ibu Kharisma sudah dapat ditemui di sana tetapi tidak bisa lama-lama karena setelah ini akan ada rapat lain lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN