Selamat Pagi, Luna, Lukas!

1409 Kata
Sampai subuh ini, Luna dan Lukas benar-benar tidur di balkon dengan alas kasur lantai. Walau cuaca semakin sejuk dan dingin tidak berarti mengganggu tidur mereka yang belum ada satu jam. Keduanya saling meringkuk berhadapan, bahkan hampir tidak ada jarak diantara mereka. Napas keduanya yang berembus pun dapat mereka rasakan satu sama lain di mana menjadi penghangat serta alasan mengapa keduanya tetap tidur nyenyak walau udara dingin. Ponsel di atas kepala Luna menyala menampilan gambar wallpaper foto seorang artis Korea dan jam yang ada di sana menunjukkan pukul empat lebih lima menit. Tidak sampai lima detik, suara alarm dari ponsel tersebut berdering cukup bising. Bukannya langsung bangun, justru Luna hanya meraba ponselnya dan langsung ia tekan pada tombol power untuk mematikan alarm. Kemudian dirinya kembali memejamkan mata tanpa pernah sadar jika jarak yang ada antara dirinya dan Lukas sangatlah dekat yaitu tidak sampai lima senti meter. Luna pun kembali larut dalam tidurnya dan bisa kembali melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Namun, tetap saja. Luna hanya bisa melanjutkan mimpinya yang tertunda selama lima menit. Karena lima menit kemudian, ponselnya kembali menyala dan berdering untuk alarm kloter kedua dan jika Luna masih bersikeras untuk kembali tidur, akan ada beberapa kali alarm yang berdering otomatis di ponselnya yang sengaja Luna setting seperti itu untuk berjaga-jaga jika ia malas bangun tidur. Sebelum mematikan alarmnya, Luna membuka matanya. Kali ini ia baru sadar jika memang jaraknya dengan Lukas sedekat ini. Tetapi, Luna tidak terkejut atau langsung memundurkan wajahnya. Perempuan itu tidak merasakan keanehan apapun atau merasa canggung karena menganggap hal ini adalah wajar dan biasa saj. Luna justru menoel pipi Lukas dengan jarak sedekat ini, di mana Luna pun mampu melihat pori-pori wajah Lukas yang ternyata sangat samar sekali. "Lukas, bangun. Udah subuh," ucap Luna perlahan. Ia masih menoel sesekali pipi laki-laki yang masih nyenyak dalam tidurnya itu. "Lukas, bangun ayo." Luna masih berusaha membangunkan Lukas. Rupanya laki-laki itu cukup sulit untuk dibangunkan. Walau belum memasuki adzan subuh, tetapi Luna memang terbiasa bangun sebelum adzan subuh. Untuk selanjutnya dirinya tidak langsung bangkit dari tidurnya, tetapi ia memerlukan beberapa menit waktu untuk melamun dan memulihkan kesadarannya dari mimpi-mimpi yang ia alami selama tidur. "Lukas, bangun." Kini Luna mengusap kepala laki-laki itu. Melihat Lukas tidur dengan nyaman seperti ini membuatnya tidak tega untuk tetap membangunkannya. Tetapi, ia tetap harus membangunkan Lukas karena memang sudah saatnya bangun dan memulai aktivitas. "Lukas bandel banget kalo disuruh bangun," kata Luna yang diakhiri dengan kekehan. Ia kembali menoel-noel pipi laki-laki itu. "Ayo, bangun." Akhirnya, perlahan Lukas membuka matanya dan langsung menyadari jika jarak diantara mereka sedekat ini, membuatnya langsung kehilangan rasa kantuk. Lukas sedikit memundurkan wajahnya. Kemudian Luna terkekeh setelah berhasil membangunkan Luna. "Selamat pagi, Lukas," katanya dengan senyuman. "Nggg ... Luna." Luna menepuk-nepuk pipi Lukas. "Ayo, bangun. Udah siang!" Bukannya bangun, Lukas malah menggenggam tangan Luna yang menepuk-nepuk pipinya. Ia membiarkan tangan Luna tetap berada di atas pipinya, sementara rasa kantuk yang tadi sirna kini tiba-tiba saja datang kembali. Lukas kembali menutup matanya. Pipinya yang terasa dingin karena udara pagi ini, terasa hangat ketika ditangkup oleh telapak tangan Luna. "Kok tidur lagi sih, Lukas? Ayo bangun!" "Bentar, Lun. Sampai adzan aja deh," kata Lukas dengan matanya yang terpejam. Belum ada tanda-tanda sinar mentari yang menghiasi langit. Bahkan kerlipan jutaan bintang-bintang masih asyik bertengger di atap semesta. Melihat Lukas yang kembali tidur membuat Luna kedatangan rasa kantuknya. Ia memilih untuk kembali memejamkan matanya sampai alarm selanjutnya berdering. Namun, belum ada satu menit Luna kembali masuk ke dalam alam mimpi, alarm pada ponselnya berdering dengan cukup nyaring. "Lukassss, bangunnnnn!" Ia pun kembali membangunkan Lukas. Lukas membuka matanya dengan santai. Sepertinya laki-laki itu tidak benar-benar tidur. Ia hanya sekadar menutup matanya saja. "Lun," panggil Lukas setelah Luna mematikan alarm ponselnya dan memastikan alarm selanjutnya tidak akan berdering lagi. "Hm?" Mereka berdua masih saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat, bahkan deru napas keduanya sangat dapat mereka raskaan. "Apa kamu nggak risih?" tanya Lukas memandang bola mata berwarna gelap itu. "Hm? Risih apa?" Luna balik bertanya, karena memang ia tidak paham dengan yang dimaksud Lukas. Tangan perempuan itu masih ada di atas pipi Lukas. "Apa sekarang ini posisi kita nggak terlalu dekat?" Setelah mendengar ucapan Lukas, Luna justru terkekeh. "Emang kenapa, Lukas?" katanya polos sambil memainkan alis Lukas. Lukas pun ikut terkekeh.  "Apa kamu nggak kepikiran sesuatu?" "Sesuatu apa, Lukas? Kalo ngomong mah to the point aja." Perlahan, Lukas memajukan wajahnya untuk semakin dekat dengan wajah Luna. Tidak perlu banyak waktu, hanya sepersekian detik, setelah sedikit memiringkan kepalanya, bibir laki-laki itu tepat menempel pada bibir Luna. Luna yang terkejut hanya bisa membulatkan matanya, sedangkan Lukas menikmatinya dengan mata yang terpejam. Beberapa detik deru napas mereka sangat terasa dengan bibir keduanya yang saling menempel dan juga degub jantung Luna yang sangat bisa didengar oleh siapa saja. -- Tok tok tok "Luna." Tok too tok Luna membuka pintu kamarnya. Di sana sudah ada Lukas dengan wajahnya yang merasa bersalah. Sedangkan Luna, perempuan itu merasa sangat sebal pada Lukas karena sudah berani-beraninya mencium dirinya tanpa permisi ketika subuh tadi. "Luna, maafin aku ya," kata Lukas penuh penyesalan. "Udah minta ampun sama Tuhan apa belum kamu?" tanyanya dengan ketus. Lukas mengangguk. "Udah, Lun." "Gimana caranya?" Luna menantang Lukas. Jika sudah begini, Lukas rasanya gemas sekali ingin mencubit dua pipi Luna. Tetapi jika laki-laki itu nekat melakukannya, alamat Luna akan semakin marah padanya. "Ya aku berdoa tadi sehabis sholat." "Gimana doanya?" Lukas mengembuskan napas panjang. Ia akan mempraktikkan doa minta ampun yang sempat ia panjatkan. Laki-laki itu sudah mengangkat tangannya. Kemudian ia mendongak menatap udara. "Ya Allah, maafkan hamba Ya Allah. Hamba nggak sadar udah nyium Luna tanpa permisi. Hamba khilaf." Kemudian Lukas mengusap kedua tangannya ke wajah. "Gitu, Lun." Ia kembali menatap Luna yang masih setia dengan wajah sebalnya. "Aku itu deg-degan banget tau nggak sih, Lukas? Bayangin aja kamu bangun tidur terus tiba-tiba dicium. Apa nggak jantungan?" Luna kembali mengomel. "Aku nggak habis pikir deh. Kok bisa-bisanya kamu nyium anak orang pas baru aja bangun tidur?" Luna pun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Maaf, Lun. Aku khilaf." "Nggak asik banget first kiss aku dicuri sama kamu!" Mendengar hal itu, Lukas malah terkekeh. "Malah ketawa!" "Lun, tapi jarak kita tadi terlalu dekat. Apa kamu nggak kepikiran ke arah situ juga?" Kini Lukas benar-benar penasaran dengan jalan pikiran Luna. Ketika Luna menggeleng, Lukas spontan membuka mulutnya tidak percaya. "Kamu itu emang nggak mikir ke arah situ apa emang nggak peduli kalo hal-hal kayak tadi, maksud aku yang aku nyium kamu bakal terjadi atau bahkan lebih parah lagi?" "Ya aku nggak mikir ke arah situ. Lagian ngapain juga sih aku mikirin itu ketika pikiran aku penuh sama hal-hal lain yang lebih penting. Aku rasa its fine juga kok. Nggak ada yang salah sama jarak kita yang terlalu dekat atau bahkan dekat banget nggak sampai satu senti sekalipun. Kalo pikiran kamu nggak kemana-mana mah semuanya nggak bakal terjadi, Lukas." "Ya gimana ya, Lun. Namanya juga manusia. Pasti punya nafsu." Lukas mengembuskan napasnya panjang. "Aku nggak mau ngelak kalo aku ini cowok yang juga punya nafsu, Lun. Sekali lagi maafin aku ya, Lun." Luna mengangkat kelingkingnya. "Janji ya, Lukas. Nggak boleh cium-cium lagi apalagi nggak izin dulu sama aku! Kamu tau nggak sih, impian aku itu first kiss cuma buat my husband Sehun ganteng!" Lukas menyempatkan untuk memutar bola matanya. "Hm." Kemudian kelingkingnya dan kelingking Luna saling terkait. "Apa jangan-jangan kamu udah biasa ya ciuman sama pacar-pacar kamu?" Luna memincingkan matanya sambil menunjuk Lukas. Lukas pun mengangkat dua jarinya. "Sumpah, Lun. Aku belum pernah ciuman sebelum ini. Seriusan," kata Lukas dengan serius. Luna terkekeh. "Yaudah sih ya, nggak penting juga buat aku." Ia kembali terkekeh. "Jadi gimana, Lun?" "Gimana apanya, Lukas?" Lukas sempat berpikir sejenak, menimang-nimang apakah ia perlu mengatakannya atau tidak. "Ada apa sih, Lukas?" kata Luna yang sudah tidak sabar saja mendengar perkataan Lukas. Lukas menggeleng. "Nggak jadi ding, Lun." "Apa sih? Apanya yang nggak jadi?" tanya Luna memaksa. "Tadinya pengen kamu jadi pacar aku. Tapi aku baru inget kalo kamu udah punya suami si Sehun Sehun itu." Lukas pun memanyunkan bibirnya. "Nah itu tahu. Nanti deh aku undang kamu buat di acara pernikahan aku sama Sehun." Luna menepuk bahu Lukas. "Loh, katanya dia suami kamu? Kok baru mau nikah?" Luna pun meringis menatap Lukas. Ia kemudian menampol bahu Lukas. "Kamu itu kayak nggak paham aja sama halunya aku!" "Hah, kamu polos-polos gini tapi halunya bahaya banget ya!" Lukas mengacak puncak kepala Luna. "Wajar lah, Lukas. Namanya juga manusia." Luna masih meringis saja. "Namanya juga manusia." Lukas mengulangi perkataan Luna dengan nada mengejek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN