Tepat jam 1 siang, Roy, Bang Erik, dan aku berangkat menuju tempat meeting di kantor Hando. Sepanjang perjalanan, aku sibuk melakukan beberapa perbaikan pada draft kasar penawaran untuk iklan motor baru Hando ini.
Aku ingin melakukan yang terbaik, karena Roy pun kunilai sudah berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tidak hanya dia mempercayakan aku untuk membuat draft kasar penawaran, buktinya kali ini dia juga membawa Bang Erik untuk ikut meeting.
Tidak sedikit yang sudah menyadari bahwa Roy terkesan mengucilkan Bang Erik dan Mbak Yosi. Apapun pekerjaan yang dilakukan keduanya, selalu dinilai kurang dan menjadi penyebab kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh Tim Kreatif ini.
Namun barusan, tepat sebelum berangkat, Roy menghampiri meja Bang Erik dan mengajaknya untuk ikut meeting bersama.
Mbak Yosi pun tak kuasa menahan untuk tidak berceletuk “Tumbeeeen!” dan hanya ditanggapi senyuman olehnya.
“Ngerjain apa sih Yas?” tanya Bang Erik sambil menoleh padaku yang duduk di bangku belakang.
“Draft awal penawaran Bang!” jawabku.
“Lhoooo tumbeeen!” lagi kata-kata tumben keluar dari semua perilaku Roy hari ini.
Wajah Bang Erik yang menoleh kebelakang kini dilengkapi juga dengan mata membulat sempurna mengirimkan pertanyaan padaku. Aku pun hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala, angkatan bahu, dan senyum kikuk.
*****
Sepanjang perjalanan yang kuhabiskan untuk merevisi desain pun tidak sia-sia. Hasil draft yang cukup memuaskan tepat selesai ketika Roy memarkirkan mobilnya di gedung basement kantor Hando.
Kami bertiga kemudian berjalan bersama menuju lift terdekat, sambil berbincang-bincang mengenai kekuatan yang harus ditonjolkan oleh tim kata pada calon klien ini. Saat mendekati lift, mendadak Bang Erik sakit perut.
“Eh gue mules nih! Lo berdua naik duluan deh, gue ke toilet dulu!” ucapnya sambil berlari menuju toilet yang tepat berada di depan lift ini. Suasana mendadak ditinggal berdua, membuatku akhirnya kikuk kembali.
Entah mengapa kejadian semalam malah jadi teringat di saat genting menuju meeting seperti ini. Sepertinya, Roy pun merasakan hal yang sama. Tepat setelah kami memasuki lift dan pintu lift tertutup akhirnya Roy membuka pembicaraan.
“Semalem pulang naik apa?” tanyanya.
Mendengar pertanyaannya, aku pun kesal. Harusnya bukan itu yang dikatakannya pertama kali, setelah apa yang dilakukannya semalam padaku. Apa dia lupa bahwa semalam dia baru saja memaksaku dan menyeretku untuk memasuki sebuah hotel?
“Roy seriously? Itu perkataan pertama kamu mengenai kejadian kemarin? Bukannya kamu harusnya mulai dari minta maaf dulu ya sama aku?” ketusku.
“Aku lagi nggak mau ribut Yas. Lagi aku juga nggak salah kok, ngapain minta maaf?” ucapnya dan hampir aku akan menjawab dengan penuh amarah sayangnya pintu lift terbuka.
Lantai Ground. Cukup banyak orang yang masuk ke lift di lantai ini. Bahkan aku mengenali sorot mata salah satu diantaranya.
“Ken,” gumamku pelan tanpa kusadari karena cukup terkejut mendapati pertemuan dengannya lagi secepat ini.
“Apa?” tanya Roy yang sepertinya mendengar gumamanku.
“Nggak,” bantahku tidak ingin mengulangi bahwa aku baru saja menggumamkan nama sosok yang kini sudah berdiri tepat membelakangi aku dan Roy.
Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku, pikirku. Sayangnya, Roy yang selalu kelewat ramah dan ingin membangun percakapan dengan banyak orang malah berinisiatif menyapanya.
“Hai! Breeze Crew ‘kan?” ucapnya sambil menepuk pelan bahu tegap dan lebar dihadapanku kini.
“Oh hai! Roy dan Yasha ‘kan?” sapanya sambil berbalik badan dan mengarahkan tatapannya pada Roy dan aku secara bergantian.
“Wow lo ingat nama kita? Sorry gue lupa nama lo. Siapa ya? Kali ini gue nggak bakal lupa lagi deh! Hahaha,” gurau Roy sambil tertawa semangat.
“It’s okay! Nama gue Ken, ini rekan gue Aga. Mau ikut meeting penawaran iklan Hando juga ‘kan?” tanyanya berikutnya.
“Iya nih. Lo juga?” tanya Roy balik.
“Yup! Sukses yasss!” ucap suara teduh itu yang membuatku yang sedari berusaha tidak terlibat pembicaraan malah mendongakkan kepala.
Apa maksudnya mengucapkan “sukses yas” alih-alih “sukses ya”? Apa dia sengaja supaya aku merasa dia memberikan semangat itu untukku? Akibat dongakan kepalaku, mata kami pun bertemu dan dugaanku benar. Mata yang menyejukkan itu memang menyorot padaku.
*****
Rapat dipimpin oleh perwakilan Hando yang ternyata adalah seorang wanita. Alya, Kepala Bagian Pemasaran Hando ini pun ternyata kenal dengan Roy. Entah, tapi aku belum pernah mendengar Roy bercerita tentang temannya ini sebelumnya.
Setelah prosesi rapat selesai, saat sesi diskusi sama seperti pertemuan sebelumnya pihak Breeze Crew Inc. kembali membawa draft desain awal. Namun kali ini, kami dari Wind Creative Inc. pun membawa draft desain awal milik kami.
Diskusi berlangsung cukup hangat, baik oleh pemaparan Ken dari Breeze Crew Inc. ataupun aku yang mewakili Wind Creative Inc. untuk menjelaskan. Secara umum sudah dapat terlihat bahwa Alya menunjukkan ketertarikan lebih pada draft desain milikku.
Hal ini membuat suasana hati baik terus ditunjukkan oleh Roy di tim kami. Hingga akhirnya rapat pun selesai dengan harapan kami menang cukup besar, walau masih ada beberapa tahapan lagi nantinya. Sambil merapikan barang-barang untuk segera kembali ke kantor, Roy mendadak izin untuk ke toilet terlebih dahulu.
Aku dan Bang Erik pun melanjutkan membereskan barang-barang sambil berdiskusi terkait meeting yang baru selesai.
“Aneh nggak sih Yas?” tanya Bang Erik dengan suara yang benar-benar sangat pelan seakan berbisik.
“Aneh apa?” tanyaku dengan suara yang tidak kalah pelannya.
“Itu aneh deh emang sih draft awal kita juga oke, tapi menurut gue draft pihak Breeze Crew lebih well-prepared. Cuma si Alya itu menekankan nilai positif kita tapi ngorek-ngorek nilai negatifnya Breeze Crew yang padahal nggak seberapa,” jelas Bang Erik padaku.
Sebenarnya, aku juga mengakui hal ini. Walau aku sudah berusaha mengerjakan draft awal sebaik mungkin dalam waktu yang singkat tadi, tetap saja jika dibandingkan dengan apa yang dipresentasikan oleh Ken tidak sebanding.
“Mungkin rezeki kantor kita aja kali Bang,” jawabku mencoba tidak ikut terpengaruh merasakan kecurigaan yang tidak beralasan ini.
“Iya bisa sih emang rezekinya kantor kita, tapi gue agak minder aja ngadepin tim lawan takutnya dikira gara-gara si Roy kenal sama Alya, Yas,” kembali Bang Erik mengutarakan keluh kesahnya.
“Jangan pikirin negatifnya, Bang! Ayo kita pikiran positifnya aja yaaaa, misalkan kita bakal diajak dinner ke mana nih karena udah performa bagus sampai maghrib hahaha,” ajakku mencoba mengalihkan pikiran buruk Bang Erik.
“Hai Yas!” sapaan dari suara yang memanjakan telingaku menghentikan tawaku seketika.
“Eh ... hai Ken!” sapaku balik sambil melambaikan tangan.
“Selamat ya! Kayaknya Hando bakal pilih ide kalian deh,” ucap Ken berikutnya dan yang mengagetkan adalah dia menarik tanganku yang melambai barusan menjadi bersalaman dengannya.
“Oh? Oh iya ya?” tanyaku kikuk dan terkekeh tak kalah canggung.
Tidak seharusnya aku salah tingkah karena mendapati laki-laki ini menggenggam tanganku erat untuk mengucapkan selamat. Ini hanya ucapan selamat, Yas. Bisa- bisanya aku segrogi ini menghadapi laki-laki yang baru beberapa hari ini kukenal.
“Iya selamat ya! Keren banget tadi draft ide kalian,” ucapnya lagi dan tetap masih menggenggam erat tangan kami yang bersalaman, bahkan kali ini menggabungkan genggaman tangan satunya menyelimuti tanganku yang kecil.
Genggaman dua tangannya yang besar di satu tanganku yang kecil, membuat aku kesulitan memastikan apakah tanganku benar-benar ada didalam genggamannya. Namun debaran jantungku yang tidak karuan karena sentuhan kulit yang mendadak ini sudah cukup membuktikan, tanganku benar-benar ada dalam genggaman eratnya.
“Ehem,” dehaman berat dilakukan oleh Bang Erik yang sejak tadi menyaksikan interaksiku dengan Ken.
“Hai kenalin gue Ken, kita belum ketemu sebelumnya? Kemarin Wind Creative cuma Roy sama Yasha doang,” ucap Ken sambil mengulurkan tangannya ke arah Bang Erik dan akhirnya melepas genggamannya padaku sejak tadi.
“Erik,” ucap Bang Erik sambil membalas jabatan tangannya. Namun jabatan tangan antara keduanya langsung terlepas setelah itu. Kenapa tidak lama juga seperti yang dilakukannya padaku tadi ya?
“Draft ide kalian lebih keren kok!” ucap Bang Erik setelah jeda sesaat pada Ken.
“Hehe thank you! Tapi asli ide kalian fresh banget kok, Yasha juga charming banget pas jelasinnya,” komentar Ken dan secara bersamaan membuatku dan Bang Erik membelalakan mata.
“Charming?” pekik Bang Erik cukup kencang.
“Jarang banget lho, orang mendeskripsikan kemampuan presentasi seseorang dengan kata charming hahaha harusnya jelas banget, detail banget, menyeluruh banget, komunikatif banget, lah lo bilang si Yasha ngejelasinnya charming banget? Personal opinion ini sih hahaha bunyi dari hati ya?” tanya Bang Erik langsung setelah meledek Ken panjang lebar.
“Hehehe ya bisa jadi sih bunyi dari hati,” jawaban Ken sambil mengusap tengkuk lehernya pun semakin membuatku kaget dan menoleh ke Bang Erik. Aku memberinya kode untuk menghentikan percakapan yang canggung ini.
“Haha ada ajalah ya yang begini-begini di kerjaan. Anyway, si Roy lama banget ke toilet. Gue susulin dulu ya, lo sini aja dulu Yas. Eh Ken, titip ya bentar!” ucap Bang Erik asal dengan senyum menggoda sebelum pergi meninggalkanku bersama Ken, saja?
Ya, benar kenapa hanya tinggal Ken saja di ruangan ini? Ke mana perginya semua orang yang mengikuti rapat tadi? Kembali, aku yang canggung dan kikuk pun tidak tahu harus bagaimana. Aku kembali memilih untuk duduk saja.
Laki-laki itu? Dia tetap berdiri di hadapanku dengan kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana.
“Nggak duduk?” tanyaku akhirnya.
Baru Ken akan menjawab, namun mendadak suara panggilan Bang Erik terdengar dengan kepalanya yang muncul di pintu ruang rapat.
“Eh sorry Ken, pisah dulu ya sama Yasha. Kita mau balik dulu nih, Roy ternyata udah nunggu di mobil dari tadi miskomunikasi kita,” ucap Bang Erik dan membuatku segera bergegas untuk beranjak.
Sebelum keluar dari pintu sepenuhnya, aku masih sempat mendengar Ken berkata “see you again Yasha!” dan membuatku pun mengaminkan hal yang sama. Entah mengapa, aku juga ingin bisa kembali bertemu dengannya.
Ken, si sosok menenangkan layaknya angin.
*****
“Kita bakal menangin iklan ini. Jadi gue harap, lo Erik sama Yasha dan Yosi selanjutnya ngembangin draft ide awal kita ini sebaik mungkin ya. Ini udah oke, tapi gue expect lebih baik dari ini. Please banget ya kita harus perbaiki kinerja tim kita melalui proyek kali ini,” ucap Roy sesaat setelah kami melalui perjalanan keluar dari gedung Hando ini.
“Yakin banget menang lo? Bisa aja nanti pas penawaran ide akhirnya, Breeze Crew lebih oke. Jangan merasa di atas angin dulu!” ucap Bang Erik mengingatkan.
“Yha makanya gue bilang kalian harus kembangin draft itu lebih baik lagi! Bisa kan?” tanya Roy meyakinkan kami.
“Bisalah nanti diusahakan!” ucap Bang Erik dan aku memilih diam.
Keesokan paginya di kantor, Mbak Yosi terus mengorek informasi dariku dan Bang Erik mengenai rapat dengan Hando kemarin.
“Serius ide kita dinilai lebih oke dari Breeze Crew? Asli ini tumben setumben-tumbeeeennya!” pekik Mbak Yosi.
“Tapi smell fishy sih Yos,” jawab Bang Erik.
“Hah? Gimana?” Mbak Yosi makin penasaran setelah mendengar jawaban Bang Erik yang seperti tidak yakin itu.
Bang Erik pun menjelaskan teori-teori kecurigaannya pada Mbak Yosi, aku pun hanya mendengarkan sekilas-sekilas saja, karena sedang fokus merevisi desain. Namun perhatianku kembali tertuju ke pada pembicaraan mereka, karena pekikan mendadak Mbak Yosi.
“Ah elah! Ini mah perkara menjilat lagi, Rik!” pekik Mbak Yosi.
“Berapa lama kalian nunggu si Roy balik dari toilet?” tanya Mbak Yosi kemudian dan membuatku semakin penasaran. Apa hubungannya ke toilet, menjilat, dengan memenangkan proyek?
“45 menit ada kali. Tapi kita nggak tahu sih tepatnya dia ke toilet itu berapa lama, karena pas gue cari di toilet nggak ada dan gue telpon katanya dia udah nunggu kita dari tadi di parkiran,” jelas Bang Erik.
“Hem 45 menit ya. Cukup sih! Fix ini bisnis menjilat sih anjing masih laku juga ya. Tuh juga cewek siapa namanya? Alya? Tsk Tsk ... Bego banget mau nerima bisnis menjilat murahan gitu. Nggak nyangka gue sekualitas Hando lho!” ucap Mbak Yosi kemudian dan aku pun tidak kuasa lagi menahan tanya.
“Mbak, aku serius nggak ngerti bisnis menjilat itu apa? Maksudnya Pak Roy bisnis menjilat itu ngapain ke Bu Alya?”
Bersambung