Kal El mengernyit merasakan terang sinar menerpa wajah, membuatnya tak nyaman untuk melanjutkan tidur lagi. Sayang, sebuah ketidaknyamanan yang lebih hakiki, menyambutnya tepat setelah membuka mata. Kal El sempat lupa bahwa ia memiliki tamu.
“Nas!” Kal El menggoyangkan lengan Yonas yang berada di atas dadanya. Seenaknya saja peluk-peluk.
Kal El teringat dengan obrolan mereka semalam.
“Pulang sana!” Kal El lagi-lagi mengusir Yonas.
“Gue mau tidur di sini!”
“Nggak boleh!”
“Makasih, Kal!” Yonas tersenyum lebar. Dengan seenak jidat pemuda itu mulai berbaring di atas ranjang Kal El yang sempit. Untuk Kal El tidur sendiri saja kurang nyaman, apalagi berdua.
“Turun lo!” hardik Kal El.
Tak ada respon berarti dari Yonas. Ia memejamkan mata seolah-olah sudah terlelap. Meskipun sebenarnya belum.
Yonas sering tiba-tiba muncul mencari Kal El malam-malam begini. Biasanya saat sedang seperti ini, ia sedang memiliki masalah. Entah dengan keluarganya. Entah dengan para anggota Elements.
“Nas!” Kal El berseru sekali lagi agar Yonas segera bangun.
Tapi … seperti ada sesuatu yang Kal El lupakan pagi ini. Tapi … apa?
Kedua mata Kal El membulat begitu mengingat apa itu. Sial! Jam berapa ini?
SIAL! Jam setengah tujuh!
“Nas!” Kal El memukul lengan Yonas dengan brutal. “YONAS!”
“Eung ….” Yonas hanya melenguh tidak jelas.
Kal El sudah tidak tahan lagi. Ia pun meluapkan segala emosi dalam hati dan jiwa. “YONAAAAAS!”
Seketika Yonas terlonjak. Ia kaget setengah mati dengan teriakan Kal El. “B-buset! Sopan banget banguninnya, Kal” sindir Yonas.
Kal El tak mempedulikan apapun lagi. Ia melompat dari ranjang, mandi sekedarnya, berdandan sekedarnya. Terakhir, ia mengenakan jaket dan sebuah topi.
“Mau ke mana, sih, lo?” tanya Yonas yang baru saja memasuki kamar setelah mandi. Lelaki itu memakai celana Kal El, baju Kal El, dan juga handuk Kal El yang sedang ia gunakan untuk mengusap-usap rambut.
“Gara-gara lo gue jadi telat!” ketus Kal El.
“Mau ke mana?” Yonas mengulang pertanyaannya sekali lagi.
“Kan gue udah cerita. Sekarang gue jualan cilok.”
Yonas tertawa. Masih belum percaya dengan apa yang Kal El katakan.
Kal El tak ingin mengulur waktu lagi. Ia mengambil tas pinggang, memasukkan handphone ke sana, bersiap pergi.
“Misal nanti lo pergi, jangan lupa kamar gue dikunci! Selipin kuncinya di bawah pot di depan!”
Yonas menghentikan aktivitas mengusap rambut dengan handuk. Ia mulai curiga bahwa apa yan dikatakan oleh Kal El benar adanya. Tapi … mana mungkin?
Untuk memastikan kebenarannya … Yonas harus ikut dengan Kal El.
“Kal, tunggu!” Yonas menyisir rambut sekenanya, memakai jaket dan topinya sendiri untuk menyusul Kal El.
***
Kedua tangan gadis itu mengucek matanya yang terasa pedih. Tidur dini hari ternyata bukan pilihan bagus. Jadilah ia masih mengantuk luar biasa sekarang. Padahal sudah mandi, sudah siap berangkat sekolah.
Daritadi, ia tidak fokus dalam melakukan apapun. Bahkan saat berjalan ke meja makan, ia sempat menabrak beberapa barang. Seakan-akan nyawanya belum terkumpul semua.
Semoga saja setelah sarapan, ia segera mendapatkan semua jiwanya, dan kembali menjadi seorang Namira seutuhnya.
Namira duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. “Pagi, Bun!” sapanya pada Bu Alila yang sedang mencuci piring dan beberapa bekakas lain yang kotor.
Bu Alila saja masih cuci piring, pastilah ia belum menyiapkan makanan apapun untuk sarapan. Namira memutuskan untuk mengambil piring nanti saja, saat Bu Alila sudah selesai, dan saat semua orang sudah datang. Namira ingin membantu sang Bunda sebenarnya. Sayang, pagi ini ia benar-benar terlalu mengantuk.
“Pagi, Sayang!” sapa Bu Alila balik. Wanita itu tersenyum penuh arti. Seakan-akan ada suatu hal yang akan segera terjadi setelah ini. Suatu hal yang baik.
Tak selang berapa lama, Namira melihat Chico berjalan menuju ke mari. Namira tak menduga apapun yang akan Chico lakukan, sebelum lelaki itu benar-benar melakukannya.
Sampai di sini, Chico bukannya mengambil duduk, melainkan mengambil sebuah piring dari rak, meletakkannya di hadapan Namira.
Namira menatap Chico heran. Belum selesai keheranannya, Namira kembali dikejutkan dengan kedatangan Elang. Kali ini Namira benar-benar kaget, karena Elang muncul sambil membawa wajan besar. Aroma sedap khas nasi goreng buatan Bunda, menguar dari wajan itu.
Elang sudah berada di hadapan Namira sekarang. Lelaki itu menambil dua centong nasi goreng dari wajan, meletakkannya pada piring di hadapan Namira. Selesai, Elang mengambil posisi berdiri di sebelah Chico.
Terakhir, Namira paling kesal dengan kedatangannya. Ia datang dengan memakai apron. Di tangannya ada sebuah piring saji. Saat ia sudah lebih dekat, Namira baru tahu apa isinya. Ada telur ceplok, dan tahu bulat. Dilihat dari bentuknya, sih, itu juga khas buatan Bundanya.
Namira mencebik saat Theo sudah sampai di hadapannya, melatakkan sebuah telur ceplok di atas Nasi goreng, dan dua butir tahu bulat di sisi piring yang masih kosong.
Theo mengambil posisi berdiri di sebelah orang. Trio TABANAS kini berdiri berjejer, sudah mirip petugas pengibar bendera saat upacara rutin hari Senin.
Oh, ternyata kejutan mereka belum selesai, Saudara-Saudara!
Mereka rupanya memiliki sesuatu yang mereka simpan sedari tadi. Mereka mulai mengeluarkannya satu per satu. Lagi-lagi dimulai dari Chico. Chico mengeluarkan sebuah kertas A4 bertuliskan kami.
Elang mengeluarkan A4 lain bertuliskan minta.
Theo pun memiliki kertas A4 yang sama, bertuliskan maaf.
Namira tidak bisa menahan tawanya melihat apa yang dilakukan para Oom padanya pagi-pagi begini. Gadis itu terharu sebenarnya. Tapi sebisa mungkin ia tak memperlihatkan sisi harunya.
Namira buru-buru membongkar isi tas. Niatnya ingin mencari kertas A4 yang sama dengan milik Trio TABANAS. Tapi tidak ada. Adanya hanya folio bergaris. Ya sudah, itu saja.
Namira mulai menulis di atas kertas itu. Ia menulis dengan tulisan yang tak kalah besar dari tulisan-tulisan yang sudah dibuat oleh para Oom. Karena folio bergaris berukuran lebih lebar dan luas, ia bisa lebih leluasa menulis lebih banyak kata.
Nami juga minta maaf. Nami juga salah.
Trio TABANAS mengacungkan jempol setelah membaca tulisan Namira. Namira lagi-lagi tertawa. Gadis itu mengabadikan momen langka ini dengan kamera handphone. Trio TABANAS segera mengambil duduk masing-masing setelahnya.
Selesai, barulah anggota keluarga lain berdatangan. Manisnya mereka memberi ruang untuk para pemain drama saling bermaaf-maafan.
***
Pergerakan Yonas diperlambat dengan dirinya yang harus menutup dan mengunci kamar kost milik Kal El terlebih dahulu. Terlebih kunci pintu kamar ini termasuk sangat kuno. Lubang dan kuncinya sendiri sudah karatan, sehingga cukup sulit untuk memutarnya.
Yonas memasukan kunci itu ke dalam saku, bersiap menyusul Kal El. Tapi Yonas pikir, sahabatnya itu tak akan mau jika ia ikut. Maka Yonas memutuskan untuk mengikutinya secara diam-diam.
Yonas membuntuti Kal El menelusuri gang-gang tikus. Jalannya berbelok-belok. Jika Yonas diminta untuk berjalan lagi di sini—sendirian pada jalan yang sama—mungkin ia akan kesasar. Rutenya terlalu berbelit-belit.
Kal El akhirnya berhenti di salah satu rumah penduduk. Yonas bersembunyi di balik pagar yang mengelilingi rumah ini, merasa bersalah karena saat ini Kal El sedang menunduk pasrah. Kal El sedang dimarahi oleh bosnya. Pasti karena ia terlambat hari ini. Dan semua itu karena Yonas.
Jadi, Kal El benar-benar jualan cilok?
Benar-benar tidak bisa dipercaya. Bagaimana reaksi orangtuanya jika mengetahui Kal El melakukan pekerjaan seperti itu? Dan … bagaimana dengan kondisi kesehatannya?
Kal El terkejut mendapati Yonas tersenyum padanya, begitu ia keluar dari area rumah sang Bos. Kal El menuntun sebuah gerobak cilok keliling. “Ngapain lo di sini?”
“Ternyata lo beneran jualan cilok.”
Kal El hanya berdecak. “Kamar nggak lupa lo kunci, kan?”
Yonas merogoh saku, memperlihatkan kunci kamar pada Kal El. “Lain kali jangan pernah naruh kunci di bawah pot lagi! Tempat naruh kunci yang nggak kreatif! Waspada, maling ada di mana-mana!”
Kal El berdecak lagi. “Apa yang mau dimaling dari kamar gue coba?”
Yonas terkekeh mendengar pertanyaan Kal El. Sebuah pertanyaan yang miris sebenarnya. Kal El punya apapun di rumahnya sana. Tapi malah memilih pergi, dan menjalani kehidupan seperti ini.
Tapi Yonas tidak bisa sepenuhnya menyalahkan keputusan Kal El. Jika ia jadi Kal El, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Mana ada anak yang nyaman hidup dengan orang tua seperti itu?
Kal El mulai mendorong gerobaknya menjauh dari area rumah sang Bos. Yonas mengikutinya, dan Kal El tidak suka. “Pulang aja sana! Siniin kunci kamar gue!” Kal El mengulurkan tangan kanannya.
Yonas menggeleng cepat. “Gue nggak akan ke mana-mana. Hari ini gue ikut lo jualan cilok. Titik!”
***
TBC