6. Peri Kecil (ELF)

1500 Kata
Selama ini Fadia dan ayahnya memang nyaris tak pernah berbincang seperti anak dengan ayah pada umumnya. Seolah ada beberapa hal dasar yang menjadi patokan dalam hubungan mereka, mereka memang hanya berbincang jika dirasa perlu, itu pun dilakukan sesingkat mungkin, atau jika memang Fadia atau ayahnya dengan terpaksa mengatakan sesuatu maka harus ada orang lain dan melakukan hal itu mungkin masih bisa terhitung dengan jari. Selama ini Fadia selalu mengatakan keinginannya pada kakaknya, terutama pada Erlan yang menurutnya paling menyayanginya di rumah. Dulu ketika kecil dia menyampaikan pada pengasuhnya yang kemudian mengatakannya pada ibunya, tak ada orang di rumah yang bahkan berani menatap mata Warren Wibisono terkecuali keluarga inti, selain Fadia tentunya. Bahkan Erlan dan Lucky saja selalu gentar jika berhadapan dengan ayahnya, ada aura tak lazim yang melingkupi sang ayah, yang membuat siapa pun bertekuk lutut padanya dan menuruti semua ucapannya. Kini Fadia bisa menatap mata itu dan membangkang, hal yang mungkin merupakan sesuatu yang terakhir yang dipikirkan akan dia lakukan di dunia ini. Anehnya dia tak merasa gentar sekalipun. Namun, ketika dia masuk kamar dia bisa merasakan kakinya mendadak lemas, tubuhnya pun seperti jelly yang bersandar di daun pintu dan terjatuh duduk dengan pandangan muram. Dia bahkan harus merangkak menuju kasurnya, tangannya gemetar dan dia menggigil. Dia tak tahu setan apa yang merasukinya tadi? Mengapa dia bisa mengatakan kata-kata itu? Dengan sekuat tenaga dia naik ke ranjang hangatnya, menarik selimut menutupi tubuhnya. Dia menatap langit-langit kamar lalu menutupi wajahnya dengan selimut itu. Dia berusaha menghitung, hanya dengan gajinya apakah dia akan cukup memenuhi kebutuhan? Dia harus kost kan jika ayahnya mengusir? Bagaimana dengan makan? Transportasi? Atau jika ayahnya juga memecatnya dari kantor? Dan memblacklist namanya dari semua perusahaan? Fadia meringis, betapa bodohnya dia berkata seperti itu tadi. Pada akhirnya dia memilih menutup matanya, mungkin tidur bisa membuatnya sedikit lupa. Dia akan sengaja bangun siang agar tak ikut sarapan keluarga. *** Pintu kamar Fadia diketuk, wanita yang telah berpakaian rapih itu melirik ke arah pintu. Dia sudah mengenakan pakaian kerja yang dibelikan ibunya beberapa hari lalu itu. Memang sangat cocok dikenakannya, meskipun dia merasa berlebihan karena jabatannya yang hanya seorang staff administrasi biasa. “Siapa?” “I’m Keberuntungan,” ujar Lucky, Fadia bisa merasa bahwa kakaknya itu pasti sedang tertawa di balik pintu. “Masuk,” tutur Fadia yang kini menyisir rambutnya dan hendak menguncirnya tinggi. Lucky masuk sambil menenteng jas mahalnya. “Ayo sarapan,” ajak Lucky, Fadia menggeleng sambil meringis. Pria muda dan tampan itu hanya tertawa dan duduk di atas meja kamar adiknya. “Papa sudah pergi pagi buta, seminggu enggak pulang.” “Mama?” tanya Fadia. “Ikut serta,” ujar Lucky riang. “Ayo cepat makan, gaji kamu mungkin enggak cukup kalau untuk sarapan ditambah makan siang dan makan malam,” gurau Lucky membuat Fadia menghentikan aksi menguncirnya hingga rambutnya kembali jatuh. “Papa enggak akan kirim uang untukku lagi?” tanyanya dengan mata membulat besar membuat tawa Lucky kian keras. Dia mengangguk membuat Fadia merengut, wajahnya persis seperti kanebo yang dibasahkan, lembab dan tak berdaya! Lucky menutup mulut dengan punggung tangannya lalu mengacak rambut adiknya, “bodoh! Harusnya kamu tahu konsekuensinya jika membangkang seperti semalam,” dengusnya. “Mas,” rengek Fadia. Lucky yang sudah berjalan menuju pintu kamar pun kembali membalik tubuhnya, “tenang saja papa enggak lakukan itu, jadi ayo cepat sarapan, masmu ini sudah lapar, Mas Erlan enggak mau sarapan kalau kamu enggak ikut,” cebiknya. Fadia kemudian mengangguk sambil tersenyum. Sudahlah, nanti saja dia mengikat rambutnya di kantor. Dia kemudian menuruni anak tangga bersama Lucky. Erlan dan Lucky memiliki ketampanan yang berbeda, Erlan lebih tampak kharismatik sementara Lucky terkesan ramah. Sikap Erlan yang terkesan dingin dan sedikit pendiam jika dibandingkan Lucky memang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Dia menjadi tantangan bagi para wanita yang ingin memilikinya atau mungkin hanya bersamanya ketika berada di pesta. Yang jelas jika saja Erlan kedapatan bersama seorang wanita, maka wanita itu bisa dipastikan memiliki kualitas yang baik, itu sebabnya banyak wanita berlomba meraih hatinya. Sampai saat ini, Erlan belum menambatkan hatinya pada satu gadis meski usianya sudah berkepala tiga. Dia sangat fokus pada perusahaan yang akan diwariskan padanya. Fadia duduk di kursi seperti biasa, jika tak ada ayahnya, maka kursi kepala keluarga akan ditempati Erlan seperti saat ini. Sementara Lucky mengambil sisi di seberang Fadia. Para pelayan segera menyiapkan makanan untuk mereka bertiga. Sarapan yang sangat berlebihan dengan sajian western. Piring yang juga dihiasi bunga kecil dan saus yang dihias sedemikian rupa. “Kamu naik bus lagi?” tanya Erlan pada Fadia. Wanita itu mengangkat wajahnya setelah puas memperhatikan tampilan cantik di piring sarapannya. “Hmmm, belikan aku motor, Mas,” ujar Fadia membuat Lucky tertawa. “Naik sepeda saja enggak bisa, mau naik motor,” guraunya. Erlan tersenyum tipis, saat tersenyum seperti itu dia terlihat kian tampan. “Beli lah mobil, memangnya uang dari perusahaan enggak masuk rekening kamu?” tanya Erlan. “Masuk tapi kalau sewaktu-waktu papa mau ambil bagaimana?” rungut Fadia. “Nanti mas belikan yang sederhana saja ya,” ucap Erlan pada adik kecilnya. “Asik,” ucap Fadia sambil tersenyum lebar. Lucky mendengus, dasar anak kecil itu. “Hari ini bareng mas saja,” ujar Erlan membuat Fadia menggeleng keras dan menyilang tangan di d**a. “Ya sudah berangkat sama sopir saja, mas ada mobil satu lagi gunakan saja itu dulu,” tukas Erlan kentara sekali memperhatikan adiknya, Fadia selalu berkata bahwa pasti beruntung sekali wanita yang mendapatkan Erlan, dia sangat dewasa dan penyayang, terutama padanya. Fadia hanya mengangguk, dia sedang tak memiliki banyak energi untuk berangkat dengan bus, dia harus berdiri sepanjang perjalanan, terkadang badannya menjadi bau aneh karena keringat bercampur dengan polusi di jalan. Tiga mobil itu meluncur melewati gerbang besar rumah, meskipun mereka satu arah, namun pantang baginya berkendara dalam satu mobil, terutama bagi Lucky dan Erlan, mereka berdua sejak kecil selalu terpisah mobil. Jangan pikir jika mereka berkendara bersama maka keluarga itu berada dalam satu mobil. Karena jelas berbeda. Ayahnya selalu bersama sang ibu, sementara Fadia dengan Lucky atau Erlan. Pria kharismatik itu sudah memasuki ruang kerjanya, beberapa orang mengekornya untuk melaporkan beberapa hal. Erlan mengempaskan b****g di kursi itu, melihat seorang wanita yang perutnya membuncit karena usia kandungannya sudah hampir menginjak bulannya untuk melahirkan. Dia menjadi yang terakhir melaporkan sesuatu. “Sudah mendapat pengganti?” tanya Erlan karena asisten khusus urusan luar kantornya itu mengatakan akan resign setelah melahirkan, cukup lama dia menantikan buah hati dan dia tak mau menyiakan kesempatan ketika mendapat titipan ini. “Sudah Pak, sekarang orangnya sedang di kantor HRD,” tuturnya. “Baik setelah itu antar ke ruangan saya,” ujar Erlan, asistennya itu mengangguk sopan lalu mereka semua meninggalkan ruangan Erlan. Erlan menarik laci meja kerjanya untuk mengambil buku agenda khusus, dia selalu tersenyum melihat foto yang tersemat di paling depan buku agendanya. Foto ketika dirinya dan kedua adiknya masih sangat kecil, sebelum kecelakaan itu terjadi. Erlan membalik fotonya, dia menuliskan ELF, singkatan dari nama mereka bertiga, Erlan, Lucky dan Fadia. Juga gambar peri kecil di bagian bawahnya. Dalam mitologi Jerman, Peri atau Elf merupakan ras Dewa kesuburan, tinggal di tempat-tempat yang alami dan asri seperti: gunung, hutan, telaga, mata air, dan air terjun. Mereka dilukiskan sebagai manusia yang selalu tampak muda dan cerah (Wikipedia). Ketika mereka kecil, ibunya selalu bercerita bahwa dia sangat menyukai peri dan Fadia yang menjadi anak kesayangannya kala itu menurutnya terlihat seperti peri kecil yang ceria. Wajahnya yang imut dan kulitnya yang bersih membuatnya terlihat seperti peri yang rapuh. Namun, hari naas tak pernah ada di kalender, kasih sayang yang Fadia dapatkan pun berubah seketika. Erlan menutup buku agenda itu ketika pintu ruangannya diketuk dan asistennya yang tengah hamil itu masuk dan membawa seorang wanita di belakangnya. Wanita itu menengadahkan wajahnya lalu beberapa detik terlihat seperti mengagumi ketampanan Erlan sebelum kembali menunduk. Erlan tak mengubah wajahnya ketika melihat gadis yang tampak sangat mungil, mungkin tingginya tak sampai seratus enam puluh senti, hanya terbantu oleh heelsnya, ah dia nanti takkan bisa menggunakannya karena kecepatan langkah Erlan yang membuatnya harus berlari dengan tinggi tubuh itu. Wajahnya sangat kecil dan matanya besar, warna kulitnya kuning langsat khas wanita Indonesia. hidungnya tampak mancung dan bibirnya begitu tipis. Rambutnya pendek hanya di atas bahu dan sangat lurus. “Perkenalkan diri kamu,” ucap Erlan tak beranjak dari kursi kerjanya. “Selamat pagi, nama saya Feya Mahira, usia saya dua puluh tiga tahun sebelumnya saya pernah bekerja menjadi asisten di kementrian selama satu tahun,” ucap Feya yang terus mengatakan kelebihannya. “In English.” Ujaran dari Erlan membuat wanita itu membulatkan matanya dan dengan lancar dia memperkenalkan diri memakai bahasa inggris yang sangat fasih. Erlan hanya mengangguk kecil, ada sesuatu di mata wanita itu yang seolah mengingatkannya pada seseorang, namun dia lupa siapa? Hanya saja dia merasa begitu familiar dengan matanya. Feya pun meninggalkan ruangan itu bersama asisten Erlan, dia memegang jas kerjanya dengan erat sambil berjalan seolah menenangkan dirinya dia tak boleh gugup kan? Dia sudah merencanakan ini bahkan sejak dia masih kecil! Dia harus bisa masuk dalam keluarga ini dan membalaskan dendam keluarganya! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN