8. Memori

1733 Kata
Afsheen kembali kerja pada malam ini, seperti biasa dia mengenakan kemeja hitam fit body, menyemprotkan parfum yang terbilang cukup mahal itu sebelum melangkah masuk ke ruang kerjanya. Matanya menelisik, beberapa wanita terlihat berkeliling bersama Harold untuk mencari pria yang akan menghabiskan malam atau sekedar bersenang-senang bersama mereka. Afsheen tersenyum pada salah satu wanita itu, mereka tampak sudah berusia di atas empat puluh tahun, namun tubuhnya jelas masih sangat kencang, tipe istri pejabat. Bahkan Afsheen mengenal salah satu selebgram yang juga sering datang, kini dia datang lagi. “Baby, wanna play with me?” tanya selebgram itu pada Afsheen, namun teman wanitanya terlihat menyunggingkan senyum sensual. “Please, give him to me,” ucap temannya itu membuat sang selebgram mengerucutkan bibirnya. “It’s ok, where’s Zevan?” tanya sang salebgram. “Sorry, Zevan sakit flu, tapi tenang baby aku punya stok lainnya yang enggak kalah hot!” ujar Harold. Sebenarnya Afsheen kurang prima malam ini, entah mengapa dia terus mencari Fadia? Dia khawatir jika dia pergi, gadis –maksudnya wanita itu kembali datang untuk mencarinya. Setelah menyelesaikan p********n, wanita yang merupakan teman selebgram itu mengajak Afsheen menuju kamar khusus, ya kamar yang pernah ditempati Afsheen dan Fadia, ketika dia membuka pintu itu, entah mengapa rasanya sangat berbeda? Afsheen merasa bahwa dia melihat Fadia. Dia masih mengingat jelas ketika mengajari wanita yang bibirnya beraroma stroberri itu berciuman, saling menyentuh dan menggoda di setiap titik sensitif tubuhnya. Dan dia berkhianat pada miss Pinky karena permintaan Fadia untuk tidur bersamanya. Seharusnya dia tak melakukan itu pada gadis polos seperti Fadia, merenggut kesuciannya. “Afsheen, are you ok?” tanya sang wanita yang terlihat sangat sensual, matanya begitu b*******h, jemarinya lincah melucuti kancing kemeja Afsheen. Afsheen harus segera tersadar bahwa dia sedang bekerja sekarang, dia harus profesional kan. “Yeah, i’m ok.” Afsheen tersenyum dan menangkup dagunya, lalu melesakkan lidahnya di mulut wanita itu untuk saling mencumbu dengan jemari yang lincah menari di tubuhnya, dia akan membawa wanita ini terbang ke langit tertinggi seperti wanita-wanita sebelumnya. *** Shena memasuki rumahnya yang mewah, pelayan menyambutnya dengan senyum terkembang. “Non, papa sudah pulang,” ujarnya. “Ha? Papa?” ucap Shena sambil tertawa riang dan berlari seperti anak kecil menuju ruang makan. “Duh, lari-larian,” kekeh ayahnya, pria yang agak gemuk dengan rambut yang botak plontos dan kaca mata membingkai matanya itu memeluk putrinya yang menghambur memeluknya erat. Ibunya hanya menggeleng geli, sementara kakak laki-lakinya yang juga baru tiba itu menatapnya lekat. “Kayak anak kecil,” ujar sang kakak. Shena menoleh. “Mas!!” ujarnya terperanjat. “Ya, dilewati begitu saja!” celetuk pria tinggi dengan badan kekar khas abdi negara itu. Dia bahkan masih memakai celana army. “Bukannya lagi jaga di perbatasan?” tanya Shena yang kemudian memeluk kakaknya erat. “Sudah selesai, lagi tunggu mandat selanjutnya,” ujar sang kakak yang bernama Ocean. “Ayo duduk dulu makan malam, bagaimana kerjaan hari ini?” tanya sang ibu berwajah lembut itu. “Hmmm lumayan seru, ada teman baru tadi, yah sebenarnya dia karyawan lama tapi baru mau gabung,” ujar Shena membalik piring di meja makan lalu menyendokkan makanan ke piringnya dan tak mau dibantu oleh salah satu pelayannya. Dia melarangnya sambil tersenyum ramah. “Kamu nih Dek, bukannya jalanin bisnis aja malah jadi karyawan biasa,” celetuk Ocean yang makan dengan lahap. “Mas juga, sudah nilai kuliah tertinggi, malah milih jadi abdi negara, gajinya enggak seberapa,” balas Shena sambil tersenyum mengejek. “Mas cinta negeri ini,” balas kakaknya membuat Shena tertawa. “Oiya Pa, ingat staff papa yang namanya Feya? Dia sudah resign kah?” tanya Shena pada ayahnya yang memang bekerja di kantor pemerintahan. Jabatannya cukup tinggi saat ini. “Feya, ah gadis mungil itu? Iya dia resign seminggu lalu, katanya dapat kerja di tempat lain,” ujar ayah Shena. “Tadi aku lihat dia di kantor, mungkin dia pindah kerja ke kantorku,” tutur Shena. “Oalah bisa jadi, soalnya dia enggak bilang juga saat farewell mau pindah ke mana? Bagus deh kalau kerja di tempat yang bagus,” tutur ayahnya berpikiran positif. Shena pun mengangguk-angguk perutnya masih terasa lapar padahal siang tadi dia makan banyak. Keluarganya memang terlihat seperti keluarga yang harmonis, dia pun merasakan itu, hanya saja satu hal yang sangat mahal menurutnya adalah waktu. Ayahnya sangat sibuk, begitu pun kakaknya yang menjadi abdi negara sangat jarang sekali pulang karena kesibukannya. Ibunya sering ikut ayahnya jika dinas ke luar kota. Karena itu ketika mereka bisa berkumpul seperti ini membuat Shena sangat senang bukan kepalang. *** Fadia merasa sangat gelisah malam ini, dia tak bisa tidur. Matanya sudah dipejamkan, namun kantuk tak jua datang hingga dia kembali membuka matanya itu. Dia kemudian memutuskan membuka aplikasi sosial medianya, melihat Pinkan atau seorang wanita yang memakai username Miss Pinky itu baru saja mengupload cerita. Fadia berpikir sejenak, lalu dia mengirim pesan pada sahabat dari ibunya itu. Tak berapa lama sapaannya di balas oleh Pinkan yang ingin melakukan panggilan dengannya. Fadia pun menerima panggilan itu. “Malam tante, kok belum tidur?” sapa Fadia. “Hmmm apa hanya perasaan tante saja ya? Tapi tante mendengar suara kamu lebih ceria?” ucap suara di seberang sana, sepertinya Pinkan tersenyum ketika mengatakan hal itu. “Biasa aja kok tante,” gumam Fadia. “Tante nih yang lagi enggak biasa, sebal banget. Tadi tante ke club, tapi ternyata Zevan sakit,” sungutnya. “Zevan? Ah yang sama tante itu ya?” ujar Fadia sambil mengganti posisi tubuh menjadi telungkup, kamar luas dengan fasilitas lengkap itu seolah sudah sangat menyatu dengannya. Dia bahkan kembali menyalakan lampu utama dengan remote khusus yang dimilikinya. “Iya,” ujarnya terdengar kecewa. Fadia mengatupkan bibirnya, apakah wajar jika dia bertanya tentang Afsheen? Dia bingung memulai dengan kata apa untuk menanyakan pria itu? Dia khawatir jika teman dari ibunya itu curiga bahwa dia telah melakukan hal yang lebih dalam dibanding hanya sekedar berkencan. “Tadinya mau sama Afsheen, ingat pria yang sama kamu kan?” tanya Pinkan membuat jantung Fadia berdebar lebih cepat dari biasanya. “Iya ingat, terus kenapa enggak jadi?” tanya Fadia menggigit ujung kuku jari tangannya. Matanya melirik ke kiri dan kanan karena gugup. “Dia sudah dibooking dengan perempuan lain, tante telat,” ujar Pinkan. “Oh,” tutur Fadia murung, memang itu adalah pekerjaannya. Pasti pria itu memperlakukan semua kliennya sama. Tak ada perasaan berbeda, dia begitu profesional. Fadia sedikit meringis, menyadari bahwa hanya dia yang tertarik dengan kedekatan mereka kala itu dan menganggap dirinya spesial. “Lho, Om kamu kok pulang? Ya sudah tante mau sama om dulu ya,” ujar Pinkan terdengar suara pintu terbuka. “Siapa?” tanya suaminya ketika masuk kamar, masih terdengar suara itu di telinga Fadia. “Fadia, anaknya Sophie,” ujar Pinkan, “bye Fadia.” “Bye tante,” sapa Fadia yang sepertinya panggilan itu memang di loud speaker. Fadia meletakkan ponsel itu di sampingnya dan dia berbaring terlentang menatap lampu di kamarnya, lampu yang didesign dengan sangat indah dan aestethic, tak menyilaukan sama sekali. Namun, hatinya kini gundah. Apa yang sedang dilakukan Afsheen? Apa dia sedang menciumi seluruh tubuh wanita itu? Sama seperti ketika bersamanya? Fadia lagi-lagi hanya dapat meringis, membayangkan itu saja sudah membuat bulu kuduk di tubuhnya meremang. Dia bahkan masih ingat semua perlakukan Afsheen terhadapnya, hal yang bahkan tak pernah dibayangkan Fadia sebelumnya. Fadia menarik bantal guling dan memeluknya, apakah dia harus kembali lagi? Dia sangat ingin bertemu dengannya. Namun, bagaimana cara mengajak Pinkan? Karena tak sembarang orang bisa masuk ke lantai tersebut. Fadia mendengar notifikasi pesan di ponselnya, terlihat nama Shena mengiriminya pesan, mereka memang sudah bertukar nomor ponsel. Wanita itu bertanya apakah Fadia sudah tidur? Fadia yang masih terjaga jelas berkata bahwa dia tak bisa tidur, hingga Shena mengajaknya ke luar, lalu Fadia tersenyum senang dan menyarankan untuk ke club. Fadia terpaksa meminta tolong sopir di rumahnya untuk mengantarnya ke salah satu minimarket tak jauh dari kompleks perumahan karena dia tak mau identitasnya terbongkar. Sebuah mobil berwarna putih berhenti di depan minimarket yang buka dua puluh empat jam itu. Shena keluar dari mobil itu dan menghampiri Fadia. “Ayo, tapi Masku ikut ya, soalnya enggak boleh keluar kalau enggak ajak dia,” ujar Shena mencibirkan bibirnya. “Iya enggak apa-apa,” ujar Fadia, dia tak punya hak melarangnya kan? Bahkan dia baru berteman beberapa jam dengan Shena. Entah apa yang membuat Shena mengajaknya keluar malam ini? Shena dan Fadia duduk di belakang, pria tampan dengan potongan rambut khas tentara itu menoleh ke arahnya. “Mau ke mana mbak-mbak?” guraunya yang mendapat pukulan gemas dari sang adik. “Mas kenalin ini Fadia,” ucap Shena. Pria macho bertubuh atletis itu mengulurkan tangannya. “Ocean,” ucapnya. Fadia pun menyebutkan namanya. “Kamu tahu club yang seru?” tanya Shena. “Hmmm ada sih tapi aku juga belum pernah masuk, tapi katanya seru kok,” bohong Fadia, jelas saja ketika ke tempat itu dia langsung ke lantai teratas. “Ingat ya, maksimal jam dua malam kita sudah pulang, enggak mabuk apalagi sampai berlebihan,” ucap Ocean memperingati. “Iya Mas, ingat juga Mas jangan kayak petugas keamanan keliling-keliling tempat itu, malah kalau bisa Mas tunggu di luar saja,” ujar Shena. “Mas memang enggak boleh masuk, kalau masuk bisa kena sanksi,” celetuk Ocean. “Bagus,” kekeh Shena. “Tapi Mas ada teman yang boleh masuk,” ujarnya. Shena mengerucutkan bibirnya sebal, sementara Fadia hanya tertawa, mungkin jika kakaknya tahu dia pergi ke club tanpa mereka pun dia bisa dimarahi. Mobil yang dikendarai Ocean sudah melaju menuju club yang disebutkan oleh Fadia, ketika mereka mengantri untuk parkir, Fadia melihat seorang pria yang sejak tadi dipikirkannya tengah merangkul seorang wanita berpakaian seksi yang terus bergelayut manja dan mempersilakannya masuk mobil. Mata Fadia memanas, Shena memegang bahunya. “Kamu nangis?” tanya Shena, Fadia menyeka air matanya, apakah boleh dia cemburu? Sungguh hatinya sakit melihat itu, betapa lembutnya perlakuan Afsheen pada wanita itu. “K-kalau kita enggak jadi ke club, boleh enggak?” tanya Fadia. Ocean melirik wanita itu dari kaca di atasnya. “Ide bagus, sebaiknya kita ke cafe saja,” ujar Ocean. “Iya mas, ke cafe saja,” celetuk Shena. Ocean kemudian menyalakan sein kanan mendahului mobil di depannya untuk keluar dari areal tersebut, Fadia masih bisa melihat ketika wanita itu tak mau melepas rangkulan Afsheen dan justru mencium bibirnya. Tidak! Bibir itu seharusnya hanya untuk mengecup Fadia! Bukan wanita lain! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN