4. VIP Room

1239 Kata
Fadia melangkah memasuki lift, Afsheen menempelkan kartu akses itu di dekat tombol lift sebelum menekan lantai ke paling atas. “Usia kamu berapa?” tanya Afsheen ramah. “Dua puluh empat tahun,” jawab Fadia, “kamu?” tanyanya balik. “Tiga puluh,” jawab Afsheen, senyum lebar yang membingkai wajahnya membuatnya tampak semakin menarik, giginya yang tertata rapih dan aroma mulutnya yang harum ketika mempersilakan Fadia keluar dari lift lebih dulu. “Aku baru tahu ada hotel di gedung ini?” tanya Fadia melihat koridor yang sisi kiri dan kanannya tampak kamar-kamar dengan angka di pintunya. “Hotel khusus pelanggan kami, enggak disewakan untuk umum,” tutur Afsheen. Fadia hanya mengatakan oh sambil berdiri di depan salah satu pintu yang paling ujung. Afsheen membuka pintu dengan kartu akses berbentuk persegi panjang warna putih itu, terdengar suara denting ketika pintu itu terbuka. “Silakan,” ucap Afsheen lagi-lagi mempersilakan Fadia masuk ke dalam kamar VIP tersebut. Sebagai anak pemilik usaha hotel dia tentu sering keluar masuk hotel, terkadang dia ikut kakaknya meninjau hotel saat weekend. Kamar ini sangat berbeda, ada kursi aneh yang bentuknya menjulang dan seperti undakan. Ranjang dengan tiang di empat sisinya. Lemari yang berisi pakaian ganti, selimut dan seprai berwarna abu muda. Ada televisi besar di kamar itu dan juga sofa biasa yang berukuran besar dengan karpet tebal yang sangat nyaman. “Mau kopi atau teh? Mungkin coklat hangat?” tanya Afsheen. “Cokelat, tapi dingin, apa bisa?” tanya Fadia. “Tentu,” jawab Afsheen, Fadia duduk di ranjangnya. Meski ranjang itu menurutnya tak seperti ranjang hotel kebanyakan, namun cukup nyaman dan empuk. Dia kemudian melangkah menuju jendela, menyibak tirainya, ada pintu menuju balkon dan dia membuka pintu itu membiarkan angin membelai rambutnya. Pemandangan dari lantai tinggi ini membuat Fadia terpukau, lampu-lampu yang menyinari gedung-gedung terlihat sangat indah. Fadia mendengar suara aneh, desahan dan jeritan juga lenguhan dari kamar sebelah yang rupanya jendelanya juga terbuka membuatnya bergidik ngeri. Sepertinya hujan akan turun malam ini, udara dinginnya menusuk kulit. Fadia pun kembali ke dalam dan duduk di sofa panjang. Afsheen terlihat membuat cokelat hangat lalu meletakkan es cube dari lemari pendingin yang ada di kamar itu. Fadia kemudian menelisik ke arah meja, banyak sekali terdapat alat kontrasepsi yang masih terbungkus rapih, berbagai aneka dan bentuk. Dia melihat yang berwarna pink, membaca tulisannya. “Kamu suka yang mana?” tanya Afsheen, Fadia menjatuhkan alat kontrasepsi itu dan meletakkan kembali di meja. “Be-belum pernah,” ujarnya tergagap. Afsheen tersenyum lebar. Saat terkejut memang Fadia sering tergagap, begitu pula saat takut atau marah. Dia tak bisa berbicara dengan benar ketika terserang panik. “Santai saja, kita teman kan?” ucapnya. Fadia kemudian mengangguk. “Ini cokelat dinginnya, semoga suka,” tutur Afsheen menyerahkan gelas berisi cokelat dengan ice cube itu. Fadia meneguknya hingga setengah gelas seolah menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya lalu meletakkan gelas itu di meja. “Jadi mau belajar tentang apa? Organ reproduksi? Atau cara bereproduksi?” kekeh Afsheen membuat Fadia tersenyum tipis. “Hmmm apa ya? Mungkin tips agar punya pacar?” tutur Fadia. “Laki-laki itu simple, kasih makan egonya aja, dan sedikit, yaa nakal,” tutur Afsheen. Dia memegang tangan Fadia yang terasa dingin, mengusap dengan kedua tangannya membuat Fadia menatapnya. “Suhu ACnya terlalu dingin?” tanya Afsheen. Fadia menggeleng dan hendak menarik tangan itu hingga Afsheen tetap menggenggamnya. “Bicara sambil pegangan tangan saja, agar terbiasa.” “Gitu ya?” tanya Fadia. Memperhatikan tangannya dalam genggaman seorang pria asing yang baru dikenalnya membuatnya merasa aneh. “Kamu mau cerita tentang diri kamu?” tanya Afsheen. “Enggak ada yang menarik dari kisah hidupku,” jawab Fadia. “Hal yang menurutmu enggak menarik mungkin sangat menarik bagi orang lain,” tutur Afsheen, lalu sebelah tangannya terulur membetulkan poni Fadia yang sedikit menutupi matanya, ah sepertinya poninya sudah kepanjangan. Fadia kemudian menceritakan tentang dirinya, tentangnya yang dibenci oleh orang tuanya, termasuk dia yang merupakan anak pemilik WW Group yang sayangnya membuat wajah Afsheen biasa saja, tak menanggapi dengan berlebihan. Seolah WW group bukanlah perusahaan yang besar, padahal namanya bersliweran di mana-mana. Fadia kembali meneguk cokelatnya hingga tandas karena terlalu banyak bercerita, sepertinya ini kali pertama dia cerita dengan cukup panjang dan nyaris tanpa jeda, Afsheen menatap mata dan bibirnya lekat, membentuk segitiga, mata kanan, kiri lalu bibir, begitu beberapa kali. Membuat Fadia merasa sangat diperhatikan, dia pun menanggapi beberapa hal dan bertanya yang menurutnya kurang jelas. Hingga dia menyentuh bibir Fadia. “Kamu pernah ciuman?” tanya Afsheen. Fadia menggeleng lalu mengangguk. “Pernah tapi sebentar, aku enggak jago,” ujar Fadia. “Mau kuajari?” tanya Afsheen membuat Fadia membeku! *** Pinkan membereskan pakaiannya setelah pergulatan panas itu yang membuatnya merasa sangat bahagia, dia tak pernah mendapatkannya dari suaminya. Tak memiliki anak mungkin yang membuat suaminya memutuskan menikah lagi, di rumah istri keduanya dia memiliki anak dan keluarga yang harmonis. Pinkan iri, tentu saja dia juga mendambakan buah hati, namun sampai dirinya monopouse beberapa tahun lalu membuatnya sadar bahwa memang tak semua wanita diberikan anugerah seperti itu. Dia selalu berusaha untuk mengalihkan pikiran ke hal lain. Pinkan mengeluarkan uang cash dan meletakkan di saku celana Zevan, tip darinya. “Kira-kira Fadia sudah selesai belum ya?” tanya Pinkan. Dia mengirim pesan pada Fadia namun pesannya tidak dibacanya. Zevan pun menelepon Afsheen yang terdengar menerimanya dan membuka pintu menuju balkon. Afsheen menyalakan rokok mintnya dan menutup pintu itu, membiarkan dirinya bertelanjang d**a sambil mendongak menatap langit yang sangat kelam. “Fadia sudah selesai? Miss Pinky mau pulang,” tutur Zevan. “Dia ... dia tertidur,” jawab Afsheen seraya menggaruk alisnya, lalu dia menunduk, satu butir air mata menetes. Mengapa dia melakukan itu padanya? Bukankah wanita polos itu hanya meminta diajari mencari kekasih? Bukannya meminta diperawani! “Kamu baik-baik aja? Terdengar enggak baik?” ujar Zevan. “Bilang saja sama miss Pinky kalau Fadia tertidur pulas, nanti akan diantar pulang atau suruh sopir miss Pinky standby setelah mengantarnya,” ujar Afsheen. “Serius enggak apa-apa?” tanya Zevan. Afsheen mengiyakan sambil memutuskan panggilan itu. Dia menghirup rokok itu dalam-dalam lalu mendongak, membiarkan asapnya mengepul di udara. Rintik hujan mulai turun. Zevan memunguti pakaiannya dan mengecup Pinkan, “Fadia tertidur, sepertinya dia mengantuk setelah berbicara dengan Afsheen, Miss tenang saja nanti minta sopir jemput dia saja,” tutur Zevan. “Tapi Fadia enggak diapa-apain Afsheen kan?” tanya Pinkan khawatir. “Afsheen itu paling bisa mengontrol dirinya jadi dia pasti enggak akan melakukan apa-apa,” ucap Zevan yang sebenarnya tak terlalu yakin, mendengar suara serak dan berat Afsheen membuatnya sedikit khawatir. “Syukurlah kalau enggak ngapa-ngapain miss jadi lebih tenang,” ucap Pinkan seraya berjalan menuju pintu. Setelah berpakaian Zevan pun mengantar Miss Pinky untuk melakukan p*****t di lantai tadi, Harold menyambutnya dengan suka cita. “Lho Fadia mana?” tanya Harold. “Afsheen bilang dia tidur, biarkan saja jangan dibangunkan, dia sangat jarang tidur pulas,” ucap Pinkan, membayar untuk Fadia sekaligus. Untuk tip biarlah nanti dia akan memberinya pada Afsheen di lain kesempatan. “Oh gitu, baiklah hati-hati di jalan ya, jangan khawatirkan Fadia, dia akan aman bersama Afsheen,” ungkap Harold dengan senyum lebarnya. Sepeninggal Pinkan, Zevan meringis sementara Harold menutup hidungnya. “Cuci muka dengan antiseptik sana, bau aneh banget muka kamu!!” gertaknya. “Saya juga merasa gitu,” seloroh Zevan, jika bukan karena Pinkan adalah pelanggan tetap dan sering memberinya tip yang banyak, tentu saja Zevan takkan mau, akan tetapi dia tak bisa memilih pelanggan kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN