#1
Rindu... Rindu. Lihat ini ada pekerjaan untuk kau," pekik Nur, sahabat Rindu.
"Mana, Nur?!" sahut Rindu semangat. Matanya menatap setiap deretan kata pada selembaran kecil itu.
"Tapi jauh, ini adanya di ibu kota," balas Rindu lemah. Ia menatap dalam Nur mencoba berfikir. Pandangannya berlalu ke sekelilingnya. Tak ada yang bisa ia harapkan dari Desanya.
Desa yang baru saja tertimpa musibah itu kini hancur tak bersisa. Bahkan Rindu dan Nur bersama keluarga mereka harus hidup dalam tempat penampungan yang entah sampai kapan dapat bertahan. Rindu mengenggam selembaran itu begitu kencang, dalam hati ia bertekad akan melakukan apapun asal kedua orangtua yang begitu ia sayangi terbebas dari segala derita.
Tapi sekali lagi hatinya ragu, banyak orang bilang ibu kota kejam. Apalagi wanita itu belum pernah menginjakkan kaki di sana, bahkan saudara pun Rindu tak punya.
"Jadi gimana,Rindu?!" tanya Nur meminta kepastian. Ia tahu hanya Rindu yang mampu pergi, dalam selembaran dibutuhkan yang lulusan SMA. Dan di sini hanya Rindu yang telah menamatkan sekolahnya, sementara Nur, ia putus sekolah sejak kelas 2 SMP.
"Aku ijin kek Inaqku dulu," sahut Rindu lemah.
Sampai malam hari pun, ia belum juga bicara dengan Sulastri, ibunya yang keturunan Jawa, Jogja. Sementara ayahnya asli orang Lombok keturunan suku Sasak.
"Kenapa kau lihat Inaq begitu?" ucap Sulastri yang sudah paham dengan tingkah laku Rindu, wanita bermata jeli itu hanya tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
"Inaq capekkah. Nak pijit?" tawar Rindu. Tangannya sudah menjalar ke tulang kering Sulastri dengan lihai Rindu memijit kaki ibunya.
"Naq... Rindu mau kerja?" pinta Rindu dengan suara memelas.
"Kerja. Dimana?" Setahu Sulastri anak-anak seusia Rindu hanya akan bekerja di rumah warga sebagai buruh cuci dan Sulastri sudah melarang Rindu bekerja sebagai buruh kasar saja. Sebagai seorang ibu, mimpinya untuk anak gadisnya begitu tinggi dan mulia.
"Ibu kota Inaq, Jakarta..." balas Rindu ragu, Sulastri yang mendengar langsung menyingkirkan tangan Rindu dari kakinya. Ia menurunkan kakinya yang tadi ada diatas dipan.
"Kau becanda kah ? Jakarta itu jauh. Ratusan kilometer dari sini, mau kerja apa kau di sana?" tanya Sulastri penuh penekanan. Matanya membola karena marah.
"Aku mau kerja seperti yang ada di selembaran Inaq. Banyak pekerjaan di sana. Ada SPG, Cleaning Service, Office girl, gajinya pun besar, Naq. 4 juta," sahut Rindu sedikit menggebu.
"Hah! Enggak Inaq gak akan setuju. Kau di sini sama Inaq sama Amaq. Biar Inaq susah, biar Inaq gak makan, yang penting kita berdua bisa jumpa sama kau tiap hari. Itu sudah cukup bagi Inaq, Nak," sahut Sulastri. Tak terasa air matanya berlinang di kedua pipinya, merasakan begitu sakitnya mendengar penuturan Rindu.
"Inaq, jangan bilang begitu. Rindu hanya berencana setahun di ibu kota, Rindu pun tak maulah terlalu lama di ibukota, Rindu cuma ingin bahagiakan Inaq." Kali ini suara Rindu begitu memohon. Ia duduk berlutut di kedua paha ibunya, memohon sedikit pengertian ibundanya.
Tanpa Rindu tahu ada sepasang mata yang mencoba menahan tangis mendengar percakapan ibu dan anak itu, seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kebahagian mereka. Lelaki itu tak lain yaitu Nursam, ayah Rindu. Yang biasa dipanggilnya Amaq
---
Sampai terik matahari tiba Sulastri masih enggan menjawab renggekkan Rindu. Sesekali matanya menatap Nursam yang tadi sibuk mengarit got jalanan mencoba mencari sisa-sisa koin atau pun barang lainnya yang terjatuh di sana. Dari matanya Sulastri ingin mencoba mencari bantuan untuk memberikan pengertian pada Rindu.
"Nak, bekerjalah di sini saja. Kau bisa kan ke pusat kota yang di sni. Tapi jangan sampai ke ibu kota. Jauh kali nak, ongkos kesana pun tak murah." Nasehat Nursam sambil membelai surai Rindu.
"Yah... Amaq tahu kan di kota sudah banyak teman-teman Rindu yang mengadu nasib di sana. Tapi apa hasilnya? gak ada kan, Amaq. Tapi lihat bu Nartiko. Dia baru jadi pembantu saja di ibukota sudah sukses, Amaq. Rindu mau seperti itu." Memang tak pernah ada yang dapat melawan keputusan Rindu, apalagi jika ia sudah bertekad. Anak yang keras kepala itu sangat sulit diberi pengertian.
Sulastri kembali masuk ke rumah sementara yang dibuat Nursam apa adanya Ia menangis sesegukkan, hanya Rindu yang menjadi harapannya, sumber kebahagiannya, dan sekarang anak itu mau pergi. Tak tahukah Rindu, betapa sakit hati ibunya kini.
---
Malam hari tiba, disaat hanya ada bunyi jangkrik yang terdengar. Tapi sepasang suami istri belum juga enggan tidur. Mereka habis menyelesaikan sholat malamnya, memohon yang terbaik kepada yang maha kuasa untuk anak gadis mereka seorang.
"Jadi ibu udah ikhlas nglepas Rindu?" tanya Nursam hati-hati. Ia menggenggam tangan Sulastri yang masih terbungkus mukena. Mata sayunya dapat melihat luka yang dalam di kedua mata wanita yang ia cintai.
"Ibu sayang sama Rindu, Pak." Bukannya menjawab Sulastri hanya semakin menjelaskan perasaan yang bergelayut di dadanya.
"Bapak tahu, Bu." Nursam kemudian memeluk Sulastri, ia tak lagi mampu menahan haru. Nursam merasa kali ini ia begitu benci menjadi orang kecil, jika saja ia mampu untuk membiayai semua kehidupan Rindu dan Sulastri mungkin Rindu tak akan perlu pergi jauh dari mereka. Hanya kali ini, ia yang tak pernah memohon harta berlimpah jadi berharap kekayaan menghampiri keluarga mereka tiba-tiba.
---
Pagi hari seperti biasa Rindu baru saja selesai membantu Sulastri berjualan makanan di pinggir pasar, meski jualan yang ia bawa jauh lebih banyak yang tak laku ketimbang yang laku terjual.
"Dapet 8 ribu, Inaq," ucap Rindu merasa kelelahan seraya menghapus peluh di keningnya. Ia pikir jika saja orangtuanya mengijinkan ia pergi, mungkin uang 8 ribu akan ia dapatkan dengan mudah tanpa harus menghabiskan waktu berjam-jam lamanya.
"Alhamdulilah, Nak," sahut Sulastri, bibirnya segera mengantup kuat saat melihat sorot mata Rindu yang malas. Ia tahu Rindu lelah dengan semuanya, angan anak itu telah jauh melambung ke ibu kota. Tapi bibir Sulastri terlalu keluh berkata sekedar memberi ijin untuk Rindu pergi.
"Naq, coba kalau aku ke ibu kota, pasti Inaq gak perlu repot-repot bikin gorengan, udah gitu gak laku lagi, Inaq," desah Rindu. Ia memandangi gorengan yang susah payah Sulastri buat sejak subuh tadi, tapi kini hanya melempen sama seperti semangatnya.
"Gakpapa, Nak... Rejeki Allah yang atur. Kita bersyukur saja, kamu kalau mau makan, ambil nasinya sudah Inaq hangatkan lagi," balas Sulastri ramah. Ia tadi malam sengaja menyisakan nasi sepiring hanya untuk Rindu seorang, Rindu mengambil nasi yang ibunya maksud lalu tangannya mengambil gorengan yang tak laku terjual, Rindu memang sudah terbiasa memakan gorengan sisa jualan, biasanya jika gorengan laku semua ia hanya akan memakan remahan gorengan bersama nasinya, tapi kini ia bisa makan dengan lauknya meski itu artinya tak ada modal untuk ibunya berjualan esok hari.
---
Nursam pulang dengan tangannya yang masih dipenuhi lumpur sisa mengarit got, tak banyak receh yang berhasil ia kumpulkan hanya ada 4500. Nursam sadar tak akan mungkin orang didesanya dengan bodoh membuang uang di got, disaat kesulitan juga dilanda oleh para penghuni desa.
"Nak, Amaq mau bicara,” ucap Nursam setelah melihat Rindu menyelesaikan makan siangnya, kali ini lelaki tua renta itu ingin bicara serius dengan anak gadisnya. Untuk mengijinkan Rindu pergi bersama dengan cita-citanya mengejar jauh, sejauh yang ia mampu.
Amaq sama Inaq sudah bicara dan kami memutuskan untuk memperbolehkan kau pergi ke Ibu kota. Soal ongkos kesana kau tak perlu khawatir, Amaq udah meminjam uang dari tuan Bagaskara. Ia mau meminjamkan uang sebesar 500 ribu rupiah untuk kita. Nanti kau akan menumpangi bus yang langsung naik kekapal laut.” Cerita Nursam, ia sudah banyak tanya dengan warga yang sudah pernah pergi ke Jakarta. Nursam pun tahu perkiraan biaya yang diperlukan Rindu naik kapal laut, itu dari bu Nartiko. Sebenarnya Nursam sangat ingin memberikan uang bekal lebih untuk Rindu, tapi apa daya, ia sendiripun hanya pengangguran, membayar uang 500 ribu secara cepat saja belum juga Nursam pikirkan caranya. Yang hanya ia tahu ia ingin secepatnya mengabulkan keinginan Rindu, sebagai seorang ayah hatinya tergerak untuk membahagiakan putrinya.