Setelah dari apartemen, Zee dan Erik meneruskan perjalananya. Sebenarnya Erik masih belum ingin pulang ke kantor, karena betapa asyiknya ngobrol ia berdua bersama Zee. Erik melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 14.20 menit.
“Bagaimana kita jalan-jalan saja,” Erik memecahkan kesunyian. Jujur ia sudah lama sekali tidak tertawa seperti tadi. Menyenangkan sekali berlama-lama dengan Zee. Semangat hidupnya kembali membaik.
“Kamu ada ide mau jalan kemana?,”
“Bagimana kalau kita ke dufan?,” Zee memberi ide.
Erik mulai berpikir, ia tidak menyangka bahwa Zee mengajanya ke dufan. Yang benar saja, sudah tua seperti ini akan bermain di sana. Oke di sana bukan tempat anak-anak saja tapi banyak orang tua pun bermain di taman bermain itu. Memacu adrenalin menjadi kegiatan yang seru menurutnya,
“Oke,” Erik menahan tawa.
“Kita tidak mungkin mengenakan pakaian seperti ini ke dufan".
“Iya,” Erik membenarkan ucapan Zee.
Erik mengarahkan mobilnya ke salah satu toko pakaian yang di tepi jalan. Ia akan melakukan perjalanan yang seru dengan wanita ini. Ia tidak menyesal mengenal Zee, karena ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya.
***
Erik manatap penampilannya, kemeja dan celana bahannya berganti dengan celana pendek selutut berwarna hitam dan kaos putih bertulisan New York, setidaknya pakaian yang ia kenakan cukup nyaman, untuk bergerak. Walau pakaian ini bukanlah pakaian yang sering ia beli di butik andalannya.
Erik memperhatikan penampilan Zee, dia terlihat seperti anak SMA, celana hitam pendek dan baju kaos berwarna coklat, tidak lupa sepatu stiletto kini telah berganti dengan sneaker. Erik akui paha dan betis Zee begitu mulus tanpa cela. Dia seakan memamerkan betis indahnya di hadapan halayak ramai. Erik menelan ludah, andai kaki indah itu ada dipangkuannya, maka terasa menyenangkan.
Mungkin laki-laki di luar sana banyak yang suka melihat wanita bagian atas, misalnya wajah dan d**a. Menurutnya keseksian wanita terletak betis, itu lah yang ia rasakan. Entahlah dirinya terangsang dengan hanya memandang betis indah dan mulus pada seorang wanita.
“Ayo pak kita masuk,” Zee membuyarkan lamunan Erik, setelah mereka melakukan transaksi p********n.
“Iya,” ucap Zee.
Erik tersenyum lalu masuk ke dalam taman hiburan itu. Siapa yang tidak kenal Dufan atau lebih di kenal dengan dunia fantasi. Ini merupakan salah satu tempat wisata populer di ancol. Zee dan Erik mengintari taman hiburan berasa jalan-jalan ke Jakarta tempo dulu. Mereka memasuki ke arah wahana yang selalu menggoda untuk di coba. Zee menunjuk salah satu wahana favorit wisatawan, yaitu bianglala. Bianglala adalah sebuah kincir angin berukuran besar, mengajak pemandangan dari ketinggian.
“Kita naik bianglala aja ya,” ucap Zee.
“Kamu mau naik permainan itu?,"
“Iya,”
“Enggak takut?,”
“Ya enggak lah,”
“Oke,”
Zee dan Erik mulai mengantri bersama pengunjung lainnya. Zee melirik Erik yang hanya diam, menunggu giliran.
“Kamu takut enggak?,” Tanya Zee.
"Ya enggak lah, Zee,”
“Nanti saya mau coba tornado, hysteria, kicir-kicir, kora-kora, ombang-ombang,” Zee tertawa.
Erik bertolak pinggang menatap iris mata bening itu, “Yakin kamu mau coba itu semua?,”
“Yaiyalah,”
“Yang saya takutkan kamu malah muntah,”
“Palingan kamu kayak gitu,” dengus Zee. Mereka seperti ini seorang teman, yang sedang liburan.
***
Sudah sejak lama Erik tidak pernah merasakan sebahagia ini, ia pun sudah lupa kapan ia tertawa. Hanya dalam waktu singkat Zee mampu membuat hatinya bahagia. Padahal tidak pernah terlintas dipikirannya untuk berbagi tawa kepada sekretarisnya ini. Tapi wanita ini begitu mengejutkan, dan membawanya ke alur cerita tersendiri, seolah-olah ialah peran utama yang datang ditengah konflik yang rumit, menjadi penentu benang merah dicerita ini.
Sudah berbagai permainan yang ia coba, berteriak, tertawa, dan sengaja membiarkan tawa itu berlama-lama agar bisa menatap tawa indah wanita itu. Semua beban yang dipikirkannya lenyap seketika.
Bahagia yang ia cari selama ini, ternyata ada di depan mata. Lihatlah tawa dia begitu lepas, senyum yang mampu menggetarkan jiwa. Ia merasakan sebuah ketulusan pada wanita itu. Biarkan ia melihat tawa itu setiap hari, agar hidupnya kembali bersemangat.
Zee memegang perutnya, setelah turun dari wahana tornado, “Saya mau muntah,” ucap Zee, jujur perutnya seakan berputar-putar, rasa mual, pusing dan bergoyang-goyang masih ia rasakan.
Anggota-anggota tubuh mengirim sinyal untuk mengeluarkan sesuatu dari tubuh. Zee dengan cepat ia melangkah ke tong sampah tidak jauh darinya. Seketika cairan keluar dari mulut Zee. Erik yang melihat itu dengan cepat menyentuh tengkuk wanita itu. Benar dugaanya, bahwa Zee tidak sekuat yang ia kira, baru dua wahana yang ia coba, dia sudah tidak mampu. Apa lagi untuk mencoba yang lebih ekstrim. Erik mengusap tengkuk Zee, agar muntahan itu berhenti.
“Kan saya udah bilang, kamu bakalan muntah,”
Setelah mengeluarkan isi perutnya, Zee mengambil tisu di dalam tas. Ia mengusap bibirnya dengan tisu, ia melirik Erik menatapnya dengan khawatir.
“Kita beli obat saja,” Erik melihat Zee terduduk lemas.
Jujur kepalanya masih pusing dan berputar-putar, Zee hanya bisa mengangguk, “Iya,”
"Kamu bisa berdiri?,” tanya Erik.
“Bisa kok,”
“Kalau enggak bisa, saya mau gendong kamu, sampe ke pakiran depan,”
“Kalau cuma jalan, ya bisa lah, cuma muntah doang, agak puyeng dikit sih,”
“Saya hanya nggak mau kamu sakit,”
Zee tersenyum, "Kalau saya sakit, kan ada bapak yang tanggung jawab," Zee menyengir lalu tertawa.
“Kamu belum saya apa-apain sudah minta tanggung jawab. Bagaimana jika saya sudah apa-apain kamu,"
Zee mengerutkan dahi, konteks pembicaraan Erik berbeda. Lalu ia hanya memilih diam mencoba tidak meminta penjelasan.
***
Semangkuk sup iga sapi dan teh hangat sudah membuat Zee lebih baik. Zee merapikan rambutnya dan diikatnya ekor kuda. Seharian ini ia menghabiskan waktu bersama atasanya yang kurang piknik ini. Cukup simpel, ternyata benar bosnya ini memang kurang hiburan. Banyak uang tapi hidupnya tidak terlihat bahagia, itu lah yang ia nilai dari laki-laki itu.
"Kamu sudah baikkan,”
"Sudah kok," ucap Zee.
"Istirahatlah, besok kita bertemu di kantor," Erik mematikan mesin mobil tepat di depan gedung kost.
"Iya,” Zee membuka hendel pintu, tidak lupa ia membawa paper bag berisi kan pakaian dan sepatunya.
Sejujurnya Erik ingin sekali menarik tangan Zee, lalu memberi kecupan hangat dibibir tipis itu. Karena ia merasa bahwa seharian ini mereka berkencan dan diakhiri dengan kecupan hangat yang menenangkan. Erik mengurungkan niatnya setelah lampu dasbor mati karena tubuh Zee menghilang dari balik pintu. Erik membuka kaca mobil, ia menatap wajah cantik itu,
"Kamu hati-hati di jalan," ucap Zee.
“Iya,”
“Istirahat, jangan lupa kunci balkon,”
Zee tersenyum, “Iya,”
Lihatlah senyumnya begitu menarik, dia meninggalkan bangunan kost. Ada perasaan tidak menentu dihatinya, entahlah perasaan apa ini sebenarnya. Ia seperti tidak rela, menjauh dari Zee.
***