Hari ini merupakan hari pertama Zee kerja secara resmi sebagai sekretaris direktur utama. Bagi Zee penampilan itu nomor satu, terlebih ia sekarang menjabat sebagai sekretaris direktur, dan pasti dirinyalah yang menjadi pusat perhatian. Pilihannya kali ini yaitu dress berwarna hitam. Rambut panjangnya sengaja ia ikat dengan hairnet hitam agar terlihat lebih rapi.
Sesuai dengan permintaan Erik, tepat jam tujuh pagi ia berjalan menuju toko roti di depan Manhattan Hotel. Zee memilih berbagai macam roti di estalase kaca. Pilihan Zee jatuh kepada roti fluffy doughnut isi stroberry, pie fruit, dan swiss roll cake. Tidak lupa ia membeli roti yang sama untuk dirinya.
Zee lalu membayar terpisah, dengan salah satu uang tunai yang dimiliknya. Zee membawa paper bag berlogo roti. Ia heran kenapa Erik tidak sarapan di majesti saja bersama para tamu hotel. Toh, roti di sana banyak berbagai macam jenis serta rasanya tak kalah enak. Kalau dirinya syukur-syukur ia bisa makan geratis di EDR.
EDR adalah singkatan dari Employee Dinning Room, bisa dikatakan tempat makan karyawan hotel. Setiap hotel tentu memiliki area makan tersendiri. Toh, makanan di EDR lumayan enak menurutnya, walau ada sedikit rasa bosan jika sudah bertahun-tahun lama makan di sana. Kadang kalau bosan ia makan di luar bersama teman sekantor. Jika keuangan menipis ia lebih baik memilih makan di EDR saja. Ia selalu mensyukuri apa yang ada, tanpa banyak mengeluh. Masih banyak orang di luar sana kekurangan makanan.
Tapi beda kelaslah jika dibandingkan bos nya yang satu ini. Uang yang ada di dalam ATM laki-laki itu, ia yakini tidak memiliki seri lagi. Apapun yang dia inginkan pasti begitu mudah, tanpa perlu pertimbangan terlebih dahulu. Tapi laki-laki itu terlihat begitu memliki beban hidup yang ditutupi.
Zee heran kenapa laki-laki itu sering sekali gonta-ganti sekretaris. Ia tidak tahu alasannya apa, yang jelas setelah ini giliran dirinya akan keluar. Kalau tidak mau dimutasi bersiaplah untuk berhenti. Inginnya kembali ke Pontianak saja, menolak tawaran ini. Toh, ujung-ujungnya bakalan dipecat juga, seperti yang lainnya.
Sudahlah lebih baik ia nikmati kerjaan ini, masalah dipecat atau tidak akan ia pikirkan nanti. Zee menyalakan lampu dan tidak lupa ia membersihkan ruangan itu. Zee menyemprot pengharum ruangan. Ruangan ini sudah cukup bersih, mungkin OB telah membersihkannya. Akses masuk keruangan ini hanya OB dan dirinya.
Zee meletakkan roti dipiring dan kopi tanpa gula. Setelah itu kembali keruangan, ia menghidupkan tombol power pada CPU komputer. Zee tersadar mendengar suara derap langkah dan lalu pintu terbuka. Ia lalu bergegas melangkah keluar, ia menatap Erik. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Penampilan dia begitu menawan dan rambut juga tertata rapi.
Zee tersenyum menyambut kehadiran beliau, “Selamat pagi pak,” Zee memberi salam seperti biasa.
Erik menatap Zee, wanita itu mengenakan dress hitam dan rambutnya tergulung sempurna. Padahal ia lebih suka melihat rambut wanita itu tergerai.
“Selamat pagi juga Zee,” Erik lalu masuk ke dalam ruangan.
Erik lalu duduk di kursi, ia melihat secangkir kopi dan roti yang tersedia. Wanita itu ternyata mengikuti semua perintahnya.
“Zee,” panggil Erik.
“Iya pak,” Zee lalu masuk keruangan Erik.
“Duduklah,” Erik mempersilahkan Zee duduk di hadapannya. Ia juga perlu mengenal dia sekaligus menemaninya berbicara.
“Ada apa pak?,”
“Kamu sudah sarapan?,”
“Ini mau sarapan pak,”
“Kamu sarapan apa?,” Erik meraih cangkir dan lalu menyesapnya secara perlahan.
“Roti juga pak,”
“Bawa roti kamu kesini, kita sarapan bersama,”
“Iya pak,” Zee lalu berdiri, meninggalkan ruangan Erik, ia mengambil roti yang dibelinya tadi.
Zee duduk di kursi itu kembali, dan Erik memandangnya,
“Kamu membeli sendiri,”
Zee mengangguk “Iya pak,”
“Lain kali, pakailah kartu saya. Saya tidak jatuh miskin hanya karena membeli beberapa roti untuk kamu,”
Zee hanya mengangguk, “Iya pak,”
“Makanlah,” Erik menggigit roti, ia melihat Zee makan dalam diam, jika di perhatikan dia memiliki gestur yang sungguh menarik. Misalnya saja ketika dia melirik dan menatapnya.
“Umur kamu berapa?,” tanya Erik penasaran.
“Dua puluh empat pak,”
“Masih cukup muda ternyata,” Erik kembali menyesap kopi itu.
“Sudah punya pacar?,”
“Maaf mungkin ini terlalu privacy menanyakan itu kepada kamu. Saya pikir pacarmu mungkin cukup berat jika membiarkan dirimu kerja hingga sejauh ini,” Erik memberi alasan, ia tidak ingin Zee terseinggung atas pertanyaanya.
“Enggak apa-apa kok pak, dan saya belum memiliki pacar. Tidak ada satupun yang membebankan saya ke sini. Lagian keluarga saya mengijinkan saya ke Jakarta, hitung-hitung pengalaman baru,” Zee tersenyum menatap beliau.
“Kamu pernah ke Jakarta sebelumnya?,”
“Belum pernah pak, ini pertama kalinya untuk saya,”
“Semoga kamu betah,”
“Semoga saja,”
Erik menatap Zee, secara keseluruan iris mata bening itulah yang paling menarik, “Jadwal saya hari ini apa, Zee,” Erik menyudahi sarapannya.
“Jam sepuluh nanti bapak ada meeting direksi dan jam dua siang meeting dengan pak Handoko di West Restoran,”
“Oke, kamu bisa kembali ke ruangan kamu,”
Zee lalu mengundurkan diri, dan tak lupa ia bawa piring kotor itu menuju wastafel, tidak lupa ia mencuci piring itu. Zee ke ruangannya, kembali dengan berkas-berkas. Ia sebenarnya bingung akan mengerjakan apa, karena tidak ada yang ia kerjakan selain menatap ke arah komputer.
Ketika meeting direksi berlangsung Zee hanya mencatat dan menyimak. Ia tidak menyangka bahwa ia bisa duduk bersama pejabat-pejabat di hotel ini. Dulu di Pontianak ia sama sekali tidak pernah sekalipun dilibatkan dalam rapat penting seperti ini. Sekarang ia malah merasakannya, apalagi tepatnya di kantor pusat.
Zee terpana kewibawaan Erik, dia mengatakan bahwa akan dibangun Manhattan Hotel di Denpasar. Penjelasan Erik tidak bertele-tele, singkat, padat dan jelas. Wajar saja dia bisa sukses seperti ini, ternyata dia memiliki ambisi yang kuat untuk mencapai kesuksesan. Setelah meeting direksi ia mengikuti langkah Erik, begini lah menjadi sekretaris, kemana saja sang direktur pergi, ia selalu mendampingi..
“Kamu ada saran, kita akan makan dimana?,” Tanya Erik melirik jam melingkar di tangannya, sudah menunjukkan pukul 11.30 menit.
“Saya baru pak disini, jadi saya tidak tahu makanan enak dimana. Saya ikut bapak saja,” ucap Zee.
“Kamu suka nasi padang?,” tanya Erik melangkahkan kakinya menuju area parkiran.
Zee tersenyum dan mengangguk, “Suka, pak,”
“Sama kalau begitu,” Erik membuka hendel pintu diikuti Zee.
“Oiya, kenapa bapak tidak makan di hotel saja, padahal saya pikir makanan di sana enak-enak,”
Erik tertawa melirik Zee, dan ia lalu menghidupkan mesin mobil meninggalkan area gedung hotel, “Bosan,”
“Owh gitu,”
“Kamu mau makan di hotel?,”
“Kalau sekali-kali boleh dong, masalahnya saya suka dimsum pak,” Zee diselingi tawa ia hanya mencairkan suasana, ia tidak suka bekerja terlalu tegang seperti ini.
“Kalau kamu suka dimsum, kita makan di restoran Dinasty saja. Saya tidak tidak terlalu suka makan di hotel, karena sepertinya semua orang ingin tahu tentang saya dan apa yang saya lakukan. Seakan tidak ada privacy lagi,”
“Saya lebih suka seperti ini,” ucap Erik lagi.
“Owh begitu,”
“Jadi kamu pilih padang atau dimsum,” Erik memberi opsi.
“Padang saja pak,”
“Oke,”
***
Ternyata selera atasanya ini, mempunyai lidah Indonesia yang penuh akan rempah-rempah. Ia pikir laki-laki kaya seperti Erik makan-makanan ala-ala Eropa. Ternyata sama saja seperti dirinya,
“Saya pikir laki-laki seperti bapak, mempunyai selera makan seperti Eropa atau Amerika,”
“Saya orang Indonesia asli Zee, kamu tidak tahu betapa sukanya saya makanan dengan bumbu rempah yang berlimpah, dari pada daging yang diberi sedikit bumbu,”
“Zee,”
“Iya pak,” ucap Zee.
“Bagaimana, kost yang saya berikan? suka?,”
Zee mengangguk, “Suka pak, hanya saya tidak terlalu suka dengan lingkungannya,” ucap Zee.
“Lingkungannya bagaimana,” Tanya Erik penasaran, ia memasukan nasi ke dalam mulutnya.
“Yang tinggal di sana rata-rata pemandu karaoke pak,”
“Sebenarnya kita juga ada mess karyawan, tapi mess sudah penuh. Jadi saya pilihkan kamu kost di dekat kantor,”
“Saya tidak apa-apa kok pak, kostnya juga saya suka,”
Erik mengangguk paham, Erik tidak dapat memungkiri, bahwa setiap hotel seperti itu, apalagi hotel berbintang. Dari mulai LC, sexy dance, therapist, yang menjadi tempat favorit para anak muda mencari nafkah secara instan. Bahkan banyak anak kuliahan jaman sekarang menjadi profesi sampingan, demi kebutuhan gaya hidup mereka.
“Ya saya tahu itu,”
"Jadi kamu mau pindah,"
Zee mengangguk, “Jika ada yang lebih baik, saya tidak masalah, misalnya ada dapur mungkin,”
Alis Erik terangkat, “Dapur?,”
“Iya pak, masalahnya saya malas keluar kalau sudah malam. Saya lebih suka masak sendiri, kost yang bapak berikan tidak ada dapurnya,”
Erik tersenyum simpul, karena nada bicara Zee terdengar manja, ia suka mendengar ucapan dia, “Baiklah, nanti saya akan mencarikan kost yang pantas untuk kamu,”
Erik menatap Zee sekali lagi “Kerjaan kamu tidak ada masalah kan?,”
“Tidak pak, sekarang saya sudah tahu jalan kerjanya bagiamana,” Zee tersenyum.
“Semoga kamu betah,” Erik menyudahi makannya.
“Iya pak,”
Beberapa menit kemudian,
“Mas, kok ada disini !,”
Zee dan Erik lalu menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat wanita berseragam putih abu-abu.
“Rara !,”
“Mas, sama siapa?,” Tanyanya lagi.
“Oiya kenalin, ini sekretaris mas yang baru, namanya Zeze. Zee ini adik saya namanya Rara, dia sekolah di SMA 1 Budi Utomo,” ucap Erik memperkenalkan Rara kepada Zee.
“Hei cantik, saya Zeze Mahendra, panggil saja Zee,” Zee mengulurkan tangannya ke arah wanita muda itu.
Dia tersenyum, membalas uluran tang Zee, “Tiara, panggil saja Rara,”
“Kamu bolos sekolah,” tanya Erik penasaran, masalahnya adiknya itu full day.
“Enggak lah, ini lagi istirahat, kasihan pak Mamang juga laper nungguin Rara dari pagi,”
“Yaudah kamu makan yang banyak, mas mau kerja lagi,” ucap Erik, karena sebentar lagi ia akan bertemu dengan pak Handoko.
“Iya mas, hati-hati di jalan, salam juga buat mbak cantik di samping mas,” Rara mengedipkan mata menggoda Erik.
“Dasar kamu ya,” Erik mengusap puncak kepala Rara. Ia melirik Zee yang hanya diam, setelah itu ia keluar dari area rumah makan Minang itu.
“Maaf ya Zee, Rara memang begitu orangnya,” Erik menghidupkan mesin mobil.
“Ah, enggak apa-apa pak, biasa adik saya juga begitu,”
“Kamu punya adik?,”
“Punya pak,”
“SMA juga?”
“Enggak pak, tapi masih SD,” ucap Zee.
“Owh gitu,”
Percakapanpun berlanjut hingga sepanjang perjalanan menuju west restoran. Baginya ngobrol panjang lebar dengan Zee tidaklah membosankan. Padahal obrolan itu tidak tahu topik arah yang tepat. Mereka tidak terpatok dalam pembicaraan yang menarik, hanya obrolan ringan sederhana. Rasanya begitu menyenangkan.
***