POV ARSEN
___________
Pagi ini aku berangkat ke kantor tergesa-gesa sehingga membuat dompetku tertinggal di kamar, Vira memanggilku dan memberikan dompet itu padaku. Saat aku hendak mengambilnya tiba-tiba kedua tangannya meraih tanganku dan menciumnya. Aku kaget hingga dompet itu jatuh ke tanah.
Setelah itu dia malah lari terbirit-b***t meninggalkanku tanpa menoleh sama sekali, ah ... manis sekali istriku ini.
Hari ini di kantor memang sedang banyak pekerjaan, selain tergesa-gesa berangkat juga akan terlambat pulang. Tinggal aku dan sekertarisku saja di kantor, serta satpam yang menjaga di depan.
Mona, sekertarisku terlihat sangat seksi hari ini. Dengan memakai pakaian yang sangat minim membuat mata dan otakku menjadi sakit. Baju yang dia pakai lebih minim dari biasanya.
Sebenarnya aku kurang suka padanya dan ingin memecatnya. Tapi mama selalu melarang dengan alasan dia putri temannya.
Tanpa aku meminta, wanita itu membawakanku teh manis. Karena sangat haus, segera kuminum dan menghabiskannya. Tak lama setelah meminumnya teh itu kepalaku sakit, dan badanku terasa panas. Aku yakin dia memasukkan sesuatu kedalam minumanku, berani-beraninya dia.
"Kamu kasih apa di dalam teh itu." Aku berteriak padanya.
Dia diam dan hanya tersenyum simpul, segera kuambil jas dan memakainya kemudian berjalan ke arah pintu tapi tiba-tiba dia memelukku dari belakang.
"Beraninya wanita ini menyentuhku," umpatku dalam hati.
"Lepaskan!" bentakku sambil menghempaskan tubuhnya hingga dia terjatuh, aku tidak peduli.
Aku segera keparkiran dan pergi dari tempat itu, segera pulang adalah pilihan yang paling tepat. Aku berkendara dengan gelisah, ada hasrat yang minta di salurkan.
"Aakkhh ...."
Dengan kesal kupukul kemudi. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di rumah, sambil berkendara dalam gelisah.
Sesampainya di rumah aku segera ke kamar, kupikir dengan mandi bisa membuat hasrat ini menghilangkan. Namun saat membuka pintu, terlihat Vira belum tidur dan memakai baju tidur tanpa lengan dan hanya sebatas lutut yang memperlihatkan keindahan tubuhnya.
"Vira, kau harus membantuku." Aku berkata dengan serak.
Dia mendekatiku namun kemudian terlihat ketakutan, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Aku terus mendorongnya hingga wanita yang sudah menjadi istriku itu terjatuh di tempat tidur. Segera aku mengungkung tubuh mungilnya dan memegang kedua tangannya yang terus memberontak.
Dengan sekali sentak baju yang dipakainya sudah lepas, aku makin tidak bisa mengendalikan diriku. Entahlah, otak dan tubuhku sedang dikuasai oleh nafsu.
"Aakk ...." Pekiknya kencang.
Vira berteriak kesakitan saat aku menyatukan tubuh kami, tangannya melemah. Hal itu membuatku semakin ingin menguasai dirinya, hingga akhirnya aku melepaskan sesuatu yang menyiksaku kedalam tubuhnya.
Masih sempat kulihat wajah cantiknya yang menatap kosong dengan lelehan air mata, kukecup keningnya yang berkeringat.
"Maafkan aku," ucapku pelan.
Masih sempat kuucapkan kata maaf sebelum akhirnya aku tertidur pulas di sampingnya.
****
Aku bangun saat matahari sudah masuk kedalam celah kamar, kukumpulkan kesadaran. Saat teringat dengan perbuatanku pada Vira semalam, segera aku bangun dan mencarinya. Dengan muka masih kusut, mencari wanita itu ke dapur, tidak ada.
"Bi, lihat Vira gak?" Aku bertanya pada pembantu rumah tangga kami.
"Tadi kayaknya pagi-pagi sekali sudah berangkat Den, mungkin ke butik," jawab wanita itu.
Aku segera kembali ke kamar dan membersihkan diri, istriku itu harus segera ditemui dan aku harus menjelaskan padanya.
Setelah rapi berpakaian, aku bergegas pergi. Saat melewati kamar mama terdengar wanita yang sudah melahirkanku itu seperti marah pada seseorang.
"Kamu ini wanita yang tidak becus, Arsen sudah minum obat perangs*ng pun kamu tidak bisa menaklukkannya," seru mama dengan nada marah.
"Oh jadi ini semua ulah mama?"
Mama tampak kaget melihatku tiba-tiba sudah di kamarnya. Wanita yang sudah melahirkan diriku itu hanya terdiam tidak menjawab. Panggilan telepon segera dimatikan.
"Kenapa mama tega melakukan hal ini, bagaimana jika Arsen tidak bisa mengontrol diri dan melakukan itu dengan Mona, itu akan menyakiti hati Vira, Ma!"
"Itu yang mama mau, mama tidak mau dia bahagia."
"Ma, Riko juga tidak akan rela Mama melakukan ini pada Vira. Dia tidak akan suka jika wanita yang dicintainya menderita."
Ada rasa nyeri di hati saat mengatakan itu.
"Mama harus merelakan Riko, Mama harus menerima Vira. Anak mama bukan cuma Riko tapi aku juga anak Mama, aku juga ingin hidup bahagia dengan Vira, Ma."
Aku segera keluar dari kamar itu setelah menyelesaikan ucapanku. Bergegas ke butik Vira, saat sampai di sana sepertinya suasana sedang ramai. Aku memilih untuk duduk di sofa yang di sediakan untuk pengunjung. Vira sekilas melihatku tapi kemudian mengabaikan.
Aku menunggu dengan bosan hingga siang hari, setelah keadaan sepi kudekati wanita yang sudah aku nikahi itu.
"Vira, aku mau bicara denganmu," ucapku pelan.
Dia masih diam dan tidak peduli.
"Kamu pilih bicara denganku atau aku bikin kacau tempat ini," seruku mengancamnya
Terlihat ketiga karyawannya menatapku, aku tidak peduli. Akhirnya Vira berjalan naik ke lantai dua dan aku mengikutinya. Di lantai dua terdapat sebuah kamar tidur yang cukup luas.
Vira masuk ke kamar itu, kemudian berdiri di depan jendela kaca besar dengan tangan bersedekap, pandangannya menerawang ke depan.
"Bicaralah, Mas, jangan membuat keributan di sini," ucapnya dingin.
"Aku minta maaf atas kejadian semalam, aku tidak sengaja melakukannya."
"Apa? kamu bilang tidak sengaja! kamu memperk*saku, Mas!" pekiknya menahan emosi.
"Kamu menolakku, dan aku sudah tidak tahan makanya aku memaksamu."
"Sial, kenapa aku hurus bilang sudah tidak tahan," ucapku dalam hati sambil memperhatikan reaksinya, terlihat pipinya bersemu merah.
"Sekertarisku memberiku obat, makanya aku tidak bisa menahannya." Aku berusaha menjelaskan lagi. "Apa kamu lebih suka aku melakukan dengannya," ucapku pelan.
Dia membalikkan badannya dan menatapku tajam, entah apa makna tatapan itu. Cemburu? mana mungkin.
"Aku menahannya dari sejak masih di kantor hingga di rumah, aku berkendara dengan frustasi. Masih untung aku tidak kecelakaan, kalau aku kecelakaan apa kamu mau jadi janda."
Tiba-tiba dia menghampiriku, menatap dengan tajam dan memukuli dadaku.
"Jangan pernah katakan itu lagi.'
Vira terlihat meneteskan air mata. Dia menangis karena membayangkan kematianku apa karena ingat pada kematian Riko, entahlah.
Aku membawanya dalam pelukanku, terasa tangannya melingkar di pinggangku. Wanita itu memelukku dengan erat. Ada rasa yang tidak biasa menjalar di dadaku, membuat organ tubuh yang ada di dalam sana berdetak lebih kencang dari yang seharusnya.
Aku mengangkat dagu istriku dan menatap manik matanya yang berkaca-kaca.
Bibirnya yang pink alami membuatku ingin merasakan kembali. Bukan dengan paksaan tapi dengan perasaan.
****