Mara melebarkan mata saat pandangannya bertemu dengan pemilik netra yang saat ini berdiri di ambang pintu tanpa berhenti mengarah pandangan ke arahnya. Dan saat orang itu berjalan memasuki kamarnya yang sederhana, ia segera meraih handuknya yang tergeletak di lantai dan melilitkan pada tubuh.
“Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa kau tahu rumahku?” Mara menatap Orin penuh selidik setelah berhasil menutupi tubuhnya menggunakan handuk. Ia hampir jantungan mengira suara yang ia dengar adalah suara hantu penunggu rumah kontrakannya.
Orin terkikik hingga tawa lebarnya memenuhi kamar. “Sorry, Mar, aku ke sini untuk melihat keadaanmu,” ujarnya setelah tawanya lenyap.
Raut wajah Mara menunjukkan kemarahan. Orin terlalu lancang untuk ukuran teman yang baru mengenal.
“Hei, jangan melihatku seakan kau mau mengusirku. Oke, oke, aku bisa jelaskan,” ujar Orin yang mulai resah melihat bagaimana cara Mara menatapnya. “Begini, tadi kau pergi klinik, kan? Sofia tadi menelponku dan menanyakanmu padaku.”
“Kau tahu wanita bernama Tamara? Dia dari bagian yang sama denganmu. Apa dia karyawan baru? Tadi dia datang dan saat aku akan mengobatinya, aku mendapat panggilan darurat. Seseorang dari bagian keuangan mengalami pendarahan jadi aku bergegas ke sana dan meninggalkannya. Dan saat aku kembali, dia sudah tidak ada.”
Orin teringat saat Sofia menelepon dan menanyakan hal itu.
Mara hanya diam. Ia tidak tahu jika Sofia berteman dengan Orin. Dan wajar jika wanita itu menghubunginya mengetahui ia dan Orin dari bagian yang sama.
Mara memijit pelipisnya dan mengatakan, “Tapi itu bukan alasan kau bisa masuk ke rumah orang sembarangan.”
Mara tak melunturkan raut wajah kesalnya. Rasanya ia ingin menendang Orin agar pergi dari hadapannya.
“Hehe, iya-iya, maaf, Mar. Tadi aku sudah memanggil tapi kau tidak menjawab. Aku kan jadi cemas dan khawatir sesuatu terjadi padamu.”
“Bagaimana bisa kau tahu rumahku?” tanya Mara kemudian berbalik membuka lemari untuk mengambil baju.
“Aku menghubungi Ghina dan dia memberitahuku alamat rumahmu,” jawab Orin. Ghina adalah staf HRD yang kebetulan masih di kantor saat Orin menanyakan mengenai Mara. Wanita itu pun memberitahu Orin sesuai alamat yang tertera pada surat lamaran Mara kemarin.
Mara menoleh dan menatap Orin dengan kerutan alis tipis. “Sepertinya kau punya banyak teman,” ucapnya sarkas.
Orin memutar bola mata dan menyahut, “Banyak teman banyak rejeki, tahu.”
Mara terdiam sejenak. Rasanya ia tak heran jika Orin memiliki banyak teman melihat seperti apa kepribadiannya.
“Ck, sudah, mana lihat bokongmu. Aku akan mengobatinya,” titah Orin. Saat Sofia menghubunginya, ia pun menanyakan perihal kedatangan Mara ke klinik. “Ssh, pantas saja tadi siang aku melihatmu sangat aneh. Lagipula, kau itu ada-ada saja, Mar. Bagaimana bisa kau menduduki pecahan gelas yang kau jatuhkan? Ish, ish, ish ….” Orin menggelengkan kepala seakan begitu terheran dengan kejadian yang menimpa Mara. Menyayangkan kenapa Mara begitu ceroboh.
Wajah Mara memerah. Jadi Orin tahu masalahku? batinnya. Dan sudah jelas, pastilah Sofia yang memberitahunya.
Mara segera membalikkan badan kembali menghadap pakaiannya yang terlipat rapi dalam lemari.
“Namanya juga musibah,” kata Mara sebagai alasan. “Sudah, keluar sana. Aku bisa mengatasinya sendiri,” lanjutnya. Meski sebenarnya kesulitan, ia tak ingin meminta bantuan Orin. Meski mereka sama-sama perempuan, tetap saja rasanya memalukan terlebih perlu digaris bawahi, mereka baru berteman, pertemanan mereka belum ada 72 jam.
Tanpa meminta persetujuan Mara, dengan lancang Orin menyibak handuk Mara dan melihat bokongnya. Sontak hal itu membuat Mara berteriak.
“Orin!”
Beberapa saat kemudian, Orin telah menikmati teh hangat di dapur Mara. Seperti rumahnya sendiri, ia membuat tehnya sendiri saat Mara bersikeras menolak tawaran bantuannya.
“Hah … teh hangat memang terbaik di saat seperti ini,” ucap Orin sambil mengepulkan uap hangat dari mulut hasil teh hangat yang mengaliri tenggorokan.
“Eh, sudah selesai, Mar?”
Perhatian Orin mengarah pada Mara yang memasuki dapur. Mara masih menekuk wajah dan semakin menekuk wajah melihat Orin bersikap seakan rumahnya adalah rumahnya sendiri.
“Kukira kau sudah pergi,” ucap Mara yang berdiri di depan kabinet berniat membuat teh hangat jua.
“Mana mungkin aku pergi sebelum melihat kau sudah mengobati bokongmu? Mana lihat, cepat tunjukkan. Aku ingin memastikan b****g sintalmu baik-baik saja.”
Mara terdiam, ia tertunduk dalam kemudian suaranya terdengar berbeda.
“Kenapa?”
Orin yang menatap Mara dari tempat duduknya, tampak heran. “Kenapa? Kenapa apanya?”
Mara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, tangannya pun mengepal di dekat cangkir yang telah diisinya teh dan gula.
“Kenapa kau begitu peduli? Atau, apa kau punya tujuan lain? Kau ingin membuatku percaya padamu kemudian kau akan mengkhianatiku?”
Dahi Orin berkerut tajam mendengarnya. Ia sampai berdiri dari duduknya. “Mara, apa maksudmu bicara seperti itu?”
Mara tersenyum kecut dan menjawab, “Kita baru mengenal. Aku bahkan tidak menganggapmu teman.” Ia kemudian menoleh dan menatap Orin dengan frustasi dan putus asa. “Apa ini wajar? Apa kau memang selalu bersikap tak tahu malu dan lancang pada orang yang baru kau kenal? Apa kau selalu menganggap semua orang sama? Bisa menjadikan mereka teman? Atau, apa kau sebenarnya punya tujuan lain? Kau bertujuan menjebak mereka? Menghancurkan mereka saat mereka telah mempercayaimu? Telah menganggapmu sahabat bahkan saudara tapi kau, kau justru menghancurkannya sampai benar-benar hancur! Apa itu tujuanmu, hah?! Apa itu?!”
Prang!
Orin terjingkat saat cangkir teh Mara jatuh ke lantai dan pecah. Mara meluapkan perasaan yang selama ini dipendamnya, meluapkan rasa sakit hati dan kecewa karena Orin mengingatkannya pada Olivia dan Salsa. Ia hanya takut jika Orin menjadi bagian dari keduanya, menjadi orang selanjutnya yang berkhianat.
Orin sedikit gemetar. Namun, ia dapat melihat Mara tampak kecewa dan begitu putus asa meski sebelumnya berteriak seakan ingin melukainya.
“Ma- Mara … aku … tidak tahu apa yang sebenarnya kau bicarakan tapi, aku sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan semua yang baru saja kau katakan. Aku hanya ingin menjadi temanmu. Mungkin aku memang terlalu lancang, tapi aku sendiri tidak tahu kenapa aku seperti ini. Yang aku tahu, aku hanya ingin berteman dengan siapapun terutama orang yang berada di dekatku. Aku tidak tahu masalah apa yang sebelumnya terjadi padamu sampai-sampai kau seperti takut menjalin pertemanan denganku atau dengan orang lain. Mungkinkah sahabatmu telah melukaimu? Tapi, tidak semua orang seperti itu.”
Mara terdiam mendengar kalimat panjang yang Orin katakan terutama pada kalimat terakhir. Orin mungkin benar, tidak semua orang jahat, tidak semua orang memiliki sifat yang sama. Akan tetapi, bayang-bayang pengkhianatan Ranu, Viola dan Salsa masih belum bisa ia lupakan hingga ia begitu waspada agar tak lagi jatuh ke lubang yang sama.
“Maafkan aku, Mar. Kalau begitu aku pergi. Mungkin kau sedang butuh waktu untuk sendiri. Sampai jumpa besok.” Orin meraih tas selempangnya di kursi meja makan kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kediaman Mara. Bukan ia menyerah atau marah atas yang Mara lakukan hingga memutuskan pergi. Ia hanya ingin memberi Mara waktu sendiri, ia juga menyadari mungkin dirinya terlalu berlebihan.
“Hah … seperti biasa, Rin, kau selalu bertindak kelewatan,” desah Orin seraya berjalan keluar melewati pintu utama rumah Mara.
Sementara itu, Mara masih berdiri di dapur dengan kaki gemetar. Melihat Orin pergi, bukankah harusnya ia senang? Orin pasti ilfil padanya dan tak berani lagi bersikap seperti sebelumnya, seperti seorang teman dekat. Akan tetapi, entah kenapa Mara justru merasa menyesal seakan ia telah melakukan sebuah kesalahan besar.
Mara menekan dadanya yang terasa sesak. Tak bisakah ia memiliki hati yang keras? Selama ini ia terlalu lunak hingga tak menyadari orang-orang yang ia percayai menusuknya dari belakang. Dan saat ini ia tetap lunak karena justru merasa bersalah saat Orin pergi.
Keesokan harinya, Mara tiba di kantor lebih siang dari kemarin. Ia sengaja, berniat untuk menghindari Orin. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Orin setelah apa yang terjadi kemarin.
Sebenarnya Mara berniat absen saat berpikir Regan pasti memecatnya. Tapi, setelah berpikir ratusan kali hingga hampir tak tidur semalaman, pada akhirnya ia memutuskan tetap berangkat dan menunggu Regan memecatnya secara langsung.
“Mara!”
Langkah Mara terhenti seketika dengan bahu merinding mendengar suara yang ia kenal. Dan benar saja, Orin berjalan menghampirinya.
“Hai, tumben siang, kemarin kau berangkat pagi,” ujar Orin saat telah berdiri di sebelah Mara.
Mara hanya diam kemudian menoleh ragu. “Kau … juga baru datang?”
“Semalam aku tidak bisa tidur jadi bangun kesiangan. Ya sudah, ayo cepat. Jangan sampai ada singa marah kalau kita telat.” Orin menggandeng tangan Mara mengajaknya berjalan bersama memasuki gedung seakan tak terjadi apapun kemarin. Sontak hal itu membuat Mara merasa aneh dengan perasaannya.
Mara menghentikan langkah membuat langkah Orin juga terhenti.
Orin berkedip pelan, menatap Mara penuh tanya saat ia hanya diam. “Ada apa, Mar?” tanyanya.
“Aku … maaf atas kemarin. Kau … harus melihatku–”
“Ck, sudah. Jangan membicarakan itu. Sebaiknya kita bergegas. Kau bisa menceritakannya lagi nanti siang. Selain itu, ada hal lain juga yang mau aku tanyakan.”
Mara yang sebelumnya tertunduk, mengangkat kepala dan menatap Orin penuh tanya. Ia pun menebak hal yang ingin Orin tanyakan pastilah mengenai kemarin saat ia berteriak padanya.
”Haish, sebenarnya aku sangat penasaran dan ingin bertanya sekarang, sih. Tapi sepuluh menit lagi kita harus bekerja. Ya sudah, aku akan sabar sampai nanti siang,” celoteh Orin kemudian melanjutkan langkahnya seraya tetap menarik tangan Mara. Akan tetapi, ia kembali menghentikan langkah kemudian kedua tangannya bertengger meremas ringan bahu Mara. “Aku tak tahan lagi. Aku ingin bertanya dan kau harus menjawabnya jujur. Apa yang sudah kau lakukan dengan bos Regan?”
Mara terkejut dengan pertanyaan terakhir Orin. Ia sampai melebarkan mata berpikir apakah Orin tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Regan?
Orin mendekatkan wajahnya hingga wajahnya dan wajah Mara begitu dekat. Matanya pun sedikit melotot menuntut Mara menjawab dengan jujur dan cepat.
“Apa bos sudah menusukmu?”