Mara kembali ke tempat kerjanya dengan cara berjalan yang aneh. Bukan tanpa alasan, melainkan merasakan perih pada bokongnya.
“Sialan, di benar-benar sialan,” geram Mara dalam hati teringat apa yang terjadi sebelumnya.
Sesampainya di depan meja kerjanya, Mara duduk dengan sangat hati-hati. Sontak hal itu membuat Orin yang melihatnya bertanya-tanya.
“Kenapa, Mar?” tanya Orin melihat Mara duduk dengan aneh. Bukan hanya cara duduknya, tapi ia mendengar Mara mendesis seperti menahan sakit.
“Dari mana saja kau anak baru.”
Belum lama Mara duduk bahkan belum sempat menjawab pertanyaan Orin, suara tegas seorang pria terdengar, berasal dari mulut kepala divisi yang sekarang berdiri di sisi meja Mara. Tangannya bersedekap d**a dan menatap Mara menuntut jawab.
“Ah, a- ano … itu, aku dari toilet. Perutku … tidak enak, Pak,” ujar Mara sebagai alasan. Tak mungkin ia mengatakan bahwa ia baru kembali dari ruangan Regan.
Brak!
Seluruh pasang mata mengarah pandangan ke sumber suara yang mana berasal dari Aslan, kepala divisi Mara. Pria itu menggebrak meja Mara kemudian berucap dengan suara cukup keras.
“Jangan banyak alasan! Kalau malas bekerja lebih baik tidur saja di rumah! Perusahan ini menggajimu untuk bekerja, bukan untuk membuat alasan!”
Mara menunduk tak berani mengangkat kepala. Ia tahu ia salah, ia terlambat 10 menit dan itu semua salah Regan. Tapi, ia tidak bisa mengatakannya.
Suara lantang Aslan kembali terdengar. Ia bicara lebih keras dan menunjuk ke penjuru daerah kekuasaannya, memberi wejangan pada semua bawahannya bahwa pekerjaan adalah yang utama. Selama masih sadar alias tidak pingsan, semua harus tetap berada di tempat duduknya untuk bekerja.
“Sekali lagi jika di antara kalian ada yang membuat kesalahan, aku tak akan segan mengeluarkan SP tiga! Terutama kau, anak baru!”
Mara kian mengkerut. Ia kira hanya Regan yang galak bak singa, tapi kepala divisiya tak kalah galak bahkan ia sampai merasakan muncratan air liurnya saat pria itu berteriak.
Beberapa saat kemudian, suasana lantai tempat Mara bekerja telah hening dari suara bising Aslan. Semua orang telah fokus pada pekerjaan masing-masing kecuali Mara. Ia terlihat duduk dengan tidak nyaman.
Di saat yang sama, seorang OB datang dan berjalan menuju tempat duduk Aslan yang mana, sedari tadi ia terus memperhatikan Mara.
“Silakan, Pak,” ucap OB tersebut seraya meletakkan secangkir kopi di hadapan Aslan. Tiba-tiba perhatiannya mengarah pada arah pandang pria itu. Ia yang sudah lama bekerja dan menjadi salah satu OB langganan Aslan, berbisik di telinganya.
“Bapak mengamati karyawan baru itu?” bisik OB bernama Liko tersebut.
Aslan setengah menoleh Liko dengan alis berkerut.
Liko kembali mendekatkan mulut di telinga Aslan untuk memberitahunya sesuatu.
“Sebaiknya anda memang mengawasinya. Tadi aku sempat melihat karyawan baru itu keluar dari ruangan Pak bos dan tampak kesakitan di bagian belakang. Dia terlihat berjalan dengan aneh. Sebelumnya juga dia memintaku mengantar makan siang ke ruangan bos tapi bos menyuruh dia sendiri yang mengantarnya.”
Kini bukan hanya alis, dahi Aslan pun tampak berkerut tajam mendengar penuturan Liko. Ia kemudian kembali mengarah pandangan pada Mara dan melihat wanita itu duduk dengan gelisah, dengan tak nyaman seperti begitu tersiksa di tempat duduknya.
Tiba-tiba wajah Aslan menjadi pucat. Ia menoleh kaku pada Liko dan mengatakan, “Apa mungkin ….”
Sementara itu di sisi lain yakni di ruangan Regan, dirinya tak berhenti mengukirkan senyum puas. Ia merasa telah berhasil mengerjai dan mempermainkan Mara. Ia sama sekali tak merasa kasihan meski Mara terluka.
“Buka rokmu.”
“A- apa? Apa yang mau anda lakukan? Ti- tidak.”
Mara mundur ke belakang dengan kedua tangan berada di balik bokongnya seakan melindungi b****g sintalnya dari niat buruk Regan. Saat jari telunjuknya terluka, Regan mengobatinya dengan mengulumnya. Tak mungkin Regan berniat melakukannya pada bokongnya, bukan?
Regan hanya diam, kemudian tangannya terulur seperti hendak meraih tangan Mara. Melihat itu, Mara mulai waspada. Ia pun dengan cepat berbalik dan pergi dari ruangan.
Regan tersenyum miring teringat kejadian beberapa waktu yang lalu.
“Dia benar-benar c***l,” batinnya menebak pikiran Mara hingga dirinya kabur seperti seekor citah.
Tiba-tiba perhatian Regan beralih pada ponselnya yang berdering. Mengambil benda pipih itu di atas meja, dilihatnya siapa yang menelepon. Dan melihat nomor siapa yang tertera pada layar, ia sama sekali tak berniat mengangkat panggilan. Namun, saat sebuah ingatan terbersit dalam kepala, pada akhirnya ia menggeser ikon hijau pada layar.
“Ck, kenapa lama sekali? Apa kau sedang main solo?”
Regan melirik ponsel yang menempel di telinga dengan sinis.
“Singkirkan mulut kotormu saat bicara denganku.”
Kelakar tawa terdengar dari seberang sana membuat Regan menjauhkan ponselnya dari telinga.
“Hah … sorry. Bicara denganmu selalu membuatku ingin bicara kotor dan melihatmu berbuat kotor. Ayolah, kapan kau akan menikah? Baiklah, jika tidak ingin menikah, tanam benihmu saja di rahim wanita, siapa saja, terserah. Setidaknya aku tahu bahwa kau bukan pria tak normal.”
Regan meremas ponselnya, dan semakin meremasnya saat samar-samar mendengar suara seorang wanita di seberang sana.
“Honey, kau menelpon Regan? Jangan menggodanya.”
“Aku tidak menggodanya, Sayang. Aku hanya menyuruhnya menggauli wanita agar aku yakin dia normal.”
Mata Regan sedikit melebar. “Jadi kau?” tanyanya bernada menuduh.
“Kau? Maksudmu, aku? Ada apa denganku?”
Regan bangkit dari duduknya dengan kasar. “Pasti kau menyuruh seseorang memasukkan sesuatu dalam minumanku saat menghadiri pernikahan teman Sera, kan!” tuduh Regan yang mulai menunjukkan kemarahan.
“Apa maksudmu, Re?”
“Hun, biar aku yang bicara dengannya.”
Tangan Regan terkepal di atas meja kerjanya sampai ia kembali mendengar suara wanita di seberang sana mengambil alih ponsel orang yang menghubunginya.
“Maafkan aku, Re. Itu aku. Aku yang melakukannya. Maafkan aku.”
Tubuh Regan terasa lemas seketika. Wajahnya pun menjadi pucat. Sera, kenapa kakak iparnya itu yang melakukannya?
“Maafkan aku, Re. Aku melakukannya untuk kakakmu. Dia terus saja memikirkan dirimu. Jadi aku ingin dia tahu bahwa kau baik-baik saja. Aku ingin dia berhenti mengkhawatirkanmu.”
Regan menurunkan ponsel dari telinga dan tersenyum masam nan kecut. Ia pun mengakhiri panggilan tanpa mengatakan apapun.
Regan terduduk payah di kursi direkturnya. Perasaan yang sebelumnya cerah karena puas mengerjai Mara, kini menjadi mendung dan suram. Ia memejamkan mata dan ingatan-ingatan yang membuatnya berakhir dicap sebagai pria belok pun terbesit dalam kepala.
Regan segera membuka mata mengenyahkan kilatan masa lalu yang terasa gelap. Meski begitu, tidak ada yang bisa disalahkan. Kalaupun ada, tentu saja dirinya sendiri sebab, sampai hari ini dirinya masih belum bisa melupakan perasaannya pada Sera, sang kakak ipar. Regan memendam sendiri perasaannya bahkan sampai sekarang Sera tidak pernah tahu bahwa Regan mencintainya sejak dulu sebelum Sera menikah dengan kakaknya.
Satu tangan Regan terangkat menutupi sebagian wajahnya, menutupi senyum mirisnya memikirkan perasaannya yang sia-sia. Ia mencintai Sera tapi, sampai mati ia tak akan mengatakannya, akan memendam sendiri perasaannya demi sang kakak.
***
Waktu terus berjalan hingga tak terasa jam kerja telah selesai. Setelah membersihkan meja kerjanya, Mara bergegas bangkit dari duduknya.
“Oi, Mar. Kenapa buru-buru sekali?” tanya Orin yang masih meregangkan tangan mengendurkan otot-ototnya yang kaku setelah bekerja. Meski pekerjaan ringan tapi tetap saja tubuhnya merasa lelah.
“Ada urusan, aku pulang duluan,” sahut Mara seraya mengambil langkah. Ia ingin segera melihat luka di bokongnya dan mengobatinya. Ia juga merasa seperti masih ada pecahan kecil yang masih menancap.
Tak lama kemudian saat telah sampai di lantai bawah, Mara menghentikan langkahnya sejenak. Ia tampak berpikir.
“Apakah aku bisa mengobatinya sendiri?” batin Mara. Ia membayangkan pasti akan sangat kesulitan melihat serta mengobati bokongnya.
“Apa ke klinik saja?” pikir Mara kembali. Ia benar-benar tidak nyaman dengan kondisi bokongnya bahkan bergidik memikirkan bagaimana saat ia duduk di mobil bututnya nanti.
Pada akhirnya Mara memutuskan pergi ke klinik kantor untuk mengobati lukanya. Namun, jika dokter yang berjaga laki-laki, ia akan mengurungkan niat. Akan tetapi, keberuntungan berpihak pada Mara, dokter yang menjaga klinik ternyata seorang perempuan.
“Ada yang bisa kubantu?” tanya dokter bername tag Sofie saat Mara telah duduk di depan meja klinik.
Mara tampak ragu menjawab. Dengan menahan rasa malu ia pun memberitahu dokter wanita itu apa masalah yang ia alami dengan berbisik.
“Umh, begini, tadi aku tidak sengaja menjatuhkan gelas dan jatuh terduduk di atas pecahan gelas itu. Dan sekarang, aku merasa tidak nyaman,” ungkap Mara sambil menunjuk ke arah bokongnya.
“Begitu? Baiklah, kalau begitu mari kita periksa.”
Dokter Sofia menuntun Mara menuju ranjang, menarik tirai hingga tertutup kemudian menyuruh Mara tengkurap.
Mara menurut, begitu juga saat dokter itu meminta izin membuka roknya. Ia pun hanya bisa menahan malu saat merasakan tangan dokter mulai memeriksa bokongnya.
“A, mungkin ini yang membuatmu tidak nyaman.”
Dokter Sofia menunjukkan serpihan pecahan gelas berukuran sangat kecil dan begitu runcing yang ditemukannya tersangkut pada hotpants Mara.
Mara sedikit bernafas lega. Setidaknya apa yang membuatnya tak nyaman berhasil ditemukan.
Tiba-tiba terdengar dering telepon yang berasal dari telepon klinik di atas meja saat dokter Sofia berniat kembali memeriksa. Telepon itu terus berbunyi membuatnya terpaksa meninggalkan Mara sejenak.
“Hah ….” Mara menghela nafas panjang saat dokter Sofia meninggalkannya. Tiba-tiba ia pun teringat Regan. Keberadaannya di sana saat ini adalah ulah pria itu. “Dasar pria gila. Kuharap dia merasakan apa yang aku rasakan,” doa Mara dalam hati kemudian menjatuhkan wajahnya pada bantal.
Beberapa saat kemudian, seseorang memasuki klinik dan mendapati klinik dalam keadaan sepi. Ia pun hendak pergi sampai tanpa sengaja pandangannya menangkap sebuah benda yang dikenalinya, sepasang sepatu yang salah satunya mengenai kepalanya tadi pagi,
Dalam beberapa saat ia tampak berpikir kemudian memutuskan memastikannya. Dan benar saja, saat ia menyibak tirai, terbaring Mara dalam posisi tengkurap. Tiba-tiba seringai bengis tercipta saat pandangannya mengarah pada dua gundukan sintal yang hanya tertutupi hotpants hitam.