Apakah ada perasaan yang lebih dahsyat dari kata marah? Jika ada, Anindi ingin meminjamnya sebentar untuk menggambarkan emosinya yang meletup meluap - luap saat ini.
Seumur hidupnya, dia nggak pernah merasa dipermalukan separah ini. Hidupnya mungkin boring bagi sebagian orang, termasuk bagi Kakaknya, Anita. Gaya mereka bagaikan langit dan bumi. Kakaknya glamor, selalu menjadi anggota genk cewek - cewek populer dan cantik di sekolah Sedangkan dia, mungkin yang tau namanya cuma teman - teman sekelasnya saka. Tapi sungguh, Anindi nggak keberatan.Tak pernah keberatan.
Dia bahagia kok menjadi dirinya sendiri dengan kehidupan tanpa drama yang dia jalani selama ini. Nggak masalah kalau dia selamanya cuma jadi tukang bunga, nggak masalah. Dia nggak pernah meminta kehidupan glamor yang kakaknya punya.
Mungkin sedikit iri pernah, saat dia berada di titik terendahnya, sudah cape, masih dimaki customer, kena apes di jalan juga. Hal - hal semacam itu kan bukan hal yang menyenangkan memang, jadi wajar kan, kalau mencari penghiburan dengan mengandai - andai. Dia juga manusia biasa. Bukankah manusiawi juga merasakan emosi - emosi negatif seperti itu? Tapi, dia nggak serius, kok! Cuma di bibir saja.
Dia dan Sakha sudah berada di dalam mobil saat ini. Prenupnya sudah selesai ditandatangani, sudah jadi. Sekarang surat itu ada di tasnya satu dan di di dashboard mobil Sakha satu. Masing - masing dari mereka memegang satu salinan. Sakha bilang dia mau mengantarkannya kembali ke ruko toko bunganya. Mereka habis dari notaris, membuat prenup, alias perjanjian pranikah. Dan isi dari prenup itu yang membuatnya geram luar biasa.
Pada dasarnya prenup memang dibuat untuk memisahkan harta suami dan istri, yang jika ke depannya terjadi apa - apa, salah satu dari mereka tak berhak atas harta lainnya. Anindi paham. Dia juga nggak ounya biat untuk menguasai harta Sakha dan sebagainya.
Tapi dengan diperjelas seperti ini, membuat Anindi merasa dihina dan direndahkan. Belum apa - apa sudah begini, apalagi nanti kalau jadi istri?! Batinnya marah, tapi tak berani melampiaskan.
Anindi paham, yang membuat orang tuanya jadi hidup makmur selama ini adalah Anita. Kakaknya itu sudah berjasa besar. Sedangkan dia sendiri, dia berbakti sesuai waktu dan budget yang dia punya. Menyisihkan sedikit tabungannya untuk Ayah Bundanya, walaupun tidak seberapa. Tapi lumayan lah bisa buat beli sabun dan odol. Membantu Bunda di rumah, merawat saat salah satu dari mereka sakit, hal - hal kecil semacam itu.
Tapi dia bukannya nggak punya penghasilan sama sekali!
Dan Sakha membuat dengan jelas isi di dalam prenup bahwa Anindi tak akan berhak atas sedikit pun harta Sakha selain yang diberikan Sakha untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Anindi sudah sempat menolak. Dia bilang dia nggak perlu. Dia ada penghasilan, dan Sakha membuatnya terdiam seketika saat pria itu bilang,
"Lo nanti jadi istri seorang Sakha. Gue nggak mau orang - orang ngira gue lagi jalan sama pembantu cuma gara - gara lo nggak bisa merawat diri. Menjaga reputasi suami juga kewajiban. Gue kira lo ngerti."
Dan seterusnya Anindi bungkam. Sakit hati dan merasa terhina oleh perkataan Sakha yang tajam dan ceplas ceplos. Dia bukan orang cengeng, tapi sebentar tadi rasanya dia ingin sekali menangis.
"Dari sini ke mana arahnya?" Suara Sakha terdengar dari sebelahnya.
Anindi diam, tak menjawab. Masih malas ngobrol dengan Sakha. Dan itu membuat Sakha berdecak kesal. Mungkin nggak biasa dicuekin.
"Kenapa? Mendadak sariawan semulut? Amandelnya kambuh? Atau kesumpel tenggorokannya makanya nggak bisa jawab?"
Sudah.
Cukup. Dia nggak tahan lama - lama sama cowok ini. Mulutnya super pedas, sepedas ayam geprek cabe lima puluh.
Dia memakai kembali tasnya dan melepaskan sabuk pengamannya. Sakha sedikit kaget, menoleh ke arahnya. Tapi belum sempat dia bertanya, Anindi sudah mendahuluinya.
"Sampe sini aja. Makasih sudah dianter."
Dan dia keluar dari mobil Sakha.
Begitu keluar, dia merasa luar biasa lega. Rasanya beban berat yang sedari tadi dipaksakan untuk dia tanggung seketika terlepas. Dia berjalan cepat menyusuri trotoar untuk menuju toko bunganya. Sudah tak jauh lagi dari sana. Paling sekitar tiga ratus meteran. Nggak masalah yang penting bebas dari Sakha.
***
Sorenya, dia memandangi sekeliling toko bunganya. Pada deretan ember berisi air dan bunga agar bunganya tetap segar ditinggal semalaman. Pada tumpukan papan ucapan di tembok yang belum selesai dihias, pada keranjang - keranjang buket yang belum selesai di susun. Masih ada waktu, nggak perlu lembur hari ini. Besok, semua akan selesai.
Ruko ini dia sewa awalnya dari hasil menabung dan uang pinjaman Ayah padanya.
Begitu lulus SMK, Ayah memberi mereka pilihan untuk lanjut atau kerja. Ayah menyiapkan dana yang sama untuk masing - masing mereka. Kakaknya memilih kuliah, sedangkan dia memilih untuk membuka ruko ini yang sesuai dengan jurusan saat dia sekolah dulu. Lagipula, dia memang suka bunga dan suka bereksperimen dengan pola rangkainya sendiri. Memang bukan ruko besar, cuma kapling tiga kali empat dengan kamar mandi di pojokan, tapi sebelum Kakaknya sukses menjadi model, ruko inilah yang membantu mengepulkan dapur keluarganya selama lebih dati dua tahun.
Dan hari ini ruko ini dihina secara tak langsung oleh Sakha. Dinilai tak mampu membuat Aninda tampil layak sebagai istrinya.
Tiba - tiba dia merasa sesak di dadanya, membuat tangisnya pecah seketika sampai harus berjongkok di tengah ruangan untuk melampiaskan emosinya. Kesal, sedih dan marah bercampur jadi satu.
Bagaimana bisa dia hidup, menikah, dengan orang seperti Sakha?! Cowok itu bahkan tak bisa menghargainya, memandang rendah dirinya. Dan bahkan menghinanya! Akan seperti apa nanti rumah tangga mereka?! Apa dia bisa mengabdikan diri pada suami yang seperti itu?! Apa benar tak ada cara lain agar dia bisa bebas dari tanggung jawab ini?! apa harus ini cara satu - satunya?!
Tangisnya bukan tangis bisu yang pilu, bukan juga tangis marah yang meraung - raung, hanya berupa isakan patah - patah yang syarat akan kekesalan.
"Dasar cowok kasar! Sok ganteng, sok kaya, sok kecakepan!! Gue bukan cewek mata duitan! Gue bisa cari sendiri!! Kalau bukan gara - gara Kak Anita pergi, gue juga nggak mau sama lo!!"
"Buset! Terus lo maunya sama siapa? Sama Gue?"