NANA OH NANA - BAB 14

2338 Kata
Sudah hampir tiga bulan, Nana terbebas dari pamannya. Kehidupan Nana semakin membaik karena Candra menepati janjinya. Dia selalu memberi apa yang Nana mau. Tiga bulan tabungan Nana sudah cukup bany. Candra menepati janjinya, dia memberikan uang Nana dua kali lipat gaji Nana di cafe setiap hari. Candra pun menepati janjinya tidak akan mengganggu Nana lagi. Hanya saat dia ada keperluan, baru menemui keponakannya itu. Hari ini Candra berulang tahun yang ke tiga puluh lima tahun. Semua berkumpul di rumah Ayu dan Candra. Nana  juga berada di sana, karena memang Candra mengadakan pesta kecil untuk ulang tahunnya, dan merayakan proyek barunya yang telah berjalan lancar. Candra melihat Nana malam ini tampil berbeda dari biasanya. Biasanya dia tidak pernah dandan, memakai make up, dan memakai dress yang membuat dirinya anggun. Banyak relasi bisnis Candra yang datang juga malam ini, dan yang membuat Nana sedikit tidak percaya, Sisca pun turut hadir, dan menyamar sebagai pegawai di kantor Candra. “Nana, ikut aku!” Candra menarik tangan Nana menuju ke pojok dapur. “Paman, sakit....!” pekik Nana. “Maaf, Sayang, bukan maksud paman menyakiti kamu. Paman hanya mau bilang, ada Sisca di sana, kamu jangan bilang apapun, ya? Paman mohon, kamu juga tidak usah mendekati dia,” ucap Candra dengan memohon pada Nana. “Iya, Nana tahu, sudah mau bicara itu saja?” tanya Nana. “Iya. Makasih, Sayang, paman keluar lagi,” ucap Candra dengan meninggalkan Nana, dan sedikit mencium pipi Nana. “Dasar laki-laki hidung belang!” umpat Nana, dan hanya mendapatkan senyuman manis dari Candra. Nana tidak menyangka pamannya akan nekat mengundang Sisca ke rumahnya. Padahal banyak keluarga yang datang, baik dari keluarga Candra maupun dari keluarga Ayu. Karier Candra memang semakin baik. Tidak tahu kenapa bisa secepat itu karier Candra naik. Dia memang orang kepercayaan bos nya di kantor. Meski dia pemain wanita, dia suka sewa wanita, tapi masalah pekerjaan dia nomor satu. Nana pusing melihat pestanya orang dewasa. Dia malah menuju ke taman samping rumah bibinya, tempat yang paling ia sukai jika menginap di rumah bibinya. Ayu melihat Nana duduk sendiri di bangku taman, dia mendekati keponakannya yang terlihat murung sedang memikirkan sesuatu. “Na,” panggil Ayu. “Bibi kok di sini? Dari tadi?” tanya Nana. “Baru saja. Bibi tadi mau ke belakang cari kamu, bibi kira kamu gabung dengan yang lain di ruang keluarga belakang, ternyata kamu malah di sini,” jawab Ayu dengan mendudukan dirinya di samping ponakannya. “Kamu kenapa menyendiri?” tanya Ayu. “Gerah di dalam, Bi,” jawab Nana. “Na, bibi boleh tanya sama kamu?” tanya Ayu. “Boleh, selagi Nana bisa menjawab, silakan tanya saja, Bi, tapi jangan tanya Nana sudah punya pacar apa belum, jawabannya masih utuh, Bi. Nana masih jomlo,” ucap Nana dengan terkekeh. Ayu pun ikut terkekeh karena ucapan keponakannya itu. “Kamu ada-ada saja, Na, lalu kapan punya cowoknya, kamu mau tujuh belas tahun lho,” ucap Ayu. “Santai lah, Bi. Sudah bibi mau tanya apa?” tanya Nana. “Apa di antara teman wanita paman kamu itu ada salah satu selingkuhannya paman?” tanya Ayu. “Mana Nana tahu, Bi?!” jawab Ayu dengan spontan. Untung saja dia bisa menjawab lancar dan spontan, jadi bibinya tidak curiga kalau dia tahu ada Sisca, wanita simpanan pamannya. “Kali aja kamu tahu, kamu kan sering dijemput paman kamu, terus mampir menemui klien, kali saja paman pernah mengajak kamu menemui wanita simpanannya,” ucap Ayu. “Nana tidak tahu kalau soal itu, Bi. Nana sih pernah diajak paman ke cafe menemui Om Fajar atau siapa itu, Nana lupa,” jawab Nana denga berbohong. “Oh, kalau Fajar, dia asisten paman kamu di kantor, Na,” ucap Ayu. “Kenapa bibi tiba-tiba menyakan wanita simpanan paman?” tanya Nana. “Bibi sih curiga saja. Karier paman kamu sedang bagus, tapi dia memberi uang untuk bibi masih saja gak naik-naik. Bibi kesel sama paman kamu lama-lama. Bilangnya untuk tabungan kuliah Sekar nanti, padahal masih lama sekali, kebutuhan sekarang tambah banyak, tapi paman kamu susah sekali kalau bibi bahas soal uang,” beber Ayu. “Bi, bibi bicara baik-baik sama paman. Mungkin benar, paman sudah mempersiapkan untuk Sekar dari awal. Jadi ya seperti itu,” ucap Nana. Nana semakin tidak enak hati dengan bibinya. Dia yang selalu diberi lebih oleh Candra, tapi bibinya malah di telantarkan. Nana juga tahu, kalau pamannya pasti masih memberi Sisca. Apalagi kata paman bibi susah sekali diajak hubungan intim. “Aku jadi merasa bersalah. Aku sebenarnya hanya ingin paman mengembalikan semua yang paman ambil dari perusahaan ayah. Itu adalah tujuan utamaku, meminta paman memberi jatah uang dua kali lipat gajiku di cafe setiap hari. Tapi, malah paman menelantarkan bibi dan anaknya. Aku harus bagaiama? Apa aku stop saja, dan melarang paman memberi uang padaku lagi? Aku pusing! Aku juga butuh uang, dan aku juga ingin paman menebus kesalahannya karena sudah membuat perusahaan ayah bangkrut,” gumam Nana. “Bibi malas bertengkar dengan pamanmu, Na. Dia selalu saja mengungkit bibi yang selalu tidak mau diajak hubungan intim kalau bibi bahas uang,” ucap Ayu. “Ya, kalian harusnya saling intropeksi diri. Kalau masalah hubungan intim, Nana angkat tangan, Bi. Nana masih di bawah umur,” jawab Nana dengan terkekeh. “Iya juga sih, ya sudah bibi masuk dulu,” pamit Ayu. Nana masih duduk di bangku taman. Dia tidak mengerti kenapa pamannya seperti itu dengan bibinya. Nana berpikir, akan mengembalikan uang dari pamannya saja, karena mendengar curhatan bibinya tadi. Dan, sudah, Nana tidak lagi terikat dengan pamannya lagi. Nana masih belum ingin masuk ke dalam rumah. Dia masih nyaman berada di taman, daripada di dalam bising mendengar orang-orang bicara dan tertawa tidak jelas. “Na,” panggil seseorang pria yang Nana sangat kenal siapa orang itu. Candra mendekati Nana yang duduk di bangku dan dia duduk di samping Nana. “Paman? Ada apa?” tanya Nana. “Tadi bibimu bicara apa dengan kamu? Dia tanya Sisca?” Candra duduk dan bertanya dengan keponakannya. “Iya, tanya simpanan paman yang mana. Terus tadi bilang jatah uangnya kurang. Paman, aku akan mengembalikan uang pemberian paman. Aku tidak mau, aku senang tapi bibi menderita. Paman harusnya adil, dan beri bibi yang lebih, jangan seperti ini, aku dan Sisca paman beri lebih, tapi bibi malah kekurangan, bibi ada Sekar dan Andi, Paman,” ucap Nana. “Paman sudah memberi lebih pada bibimu, tapi bibimu saja yang kurang bersyukur, Na. Paman juga sudah mempersiapkan untuk uang kuliah Sekar, paman sadar, tidak selamanya karier paman akan di atas, dan paman butuh persiapan itu,” jelas Candra. “Besok temui Nana, jemput Nana saat Nana pulang sekolah. Nana ingin bicara dengan paman,” ucap Nana. “Kenapa tidak di sini?” tanya Candra. “Apa paman mau bibi tahu apa yang akan aku bicaraka?” ujar Nana. “Oke besok paman jemput kamu.” Candra mengiykan permintaan Nana. Nana masuk ke dalam rumah Candra. Dia mengajak ibunya pulang, tapi ternyata malam ini semuanya menginap di rumah Candra. Nana sedikit kesal dengan keputusan ibunya. Dia memaksa ibunya untuk pulang, dengan alasan dia belum mengerjakan PR untuk besok, dan akhirnya ibunya menuruti Nana untuk pulang. Nana terdiam di dalam taksi. Dia padahal sudah ingin sekali membelikan rumah untuk ibunya denag uang hasil dari pamannya. Namun, Nana masih memikirkan bibinya yang katanya tidak pernah diberi uang lebih oleh pamannya. “Aku tidak mau terikat dengan paman lagi, aku harus mengembalikan uang pemberian paman, aku tidak tega dengan bibi. Tapi, paman sudah menghancurkan perusahaan ayah, hingga jatuh bangkrut. Lantas, aku harus bagaimana?” gumam Nana. ^^^ Keesokan harinya. Nana sudah menunggu pamannya di halte depan sekolahannya. Dia ingin membicarakan soal semalam, kalau dirinya akan mengembalikan uang pemberian pamannnya yang sudah ia terima selama tiga bulan ini. Nana melihat mobil pamannya menepi dan berhenti di depannya. Dia langsung masuk ke dalam mobil pamannya. Selama tiga bulan ini, Nana baru satu mobil berdua lagi dengan pamannya. “Kamu mau bicara apa, Na?” tanya Candra. “Soal semalam, pembicaraan kita di taman,” jawab Nana. “Ini paman, aku ingin mengembalikan uang dari paman, aku hanya mengambil seperlunya, untuk kebutuhanku saja. Aku kasihan lihat bibi yang paman sia-siakan,” ucap Nana dengan memberikan kartu yang dulu Candra berikan padanya. “Enggak seperti itu dong, Na! Kamu percaya dengan ucapan bibimu? Bibimu sudah paman kasih lebih dari ini, Na! Paman memberikan bibi itu lebih dari kamu dan Sisca!” tegas Candra. “Tapi tetap, aku pada pendirianku, Paman. Aku kembalikan ini!” ucap Nana dengan memberikan kartu itu pada Candra. “Oke, tapi ada sayaratnya!” pinta Candra dengan senyuman licik, dan mengusap bibir manis Nana. “Jangan aneh-aneh, paman!” tukas Nana. “Pilih melayani paman di kamar, atau menerima ini kembali?” Candra menawarkan pilihan yang sangat sulit untuk Nana. “Memang aku ini wanita apaan melayani pamannya sendiri di kamar, hah?!” sarkas Nana. “Makanya, terima saja, apa susahnya sih!” tegas Candra. “Sudah, Nana turun sini, percuma bicara sama paman!” Nana meminta pamannya menghentikan mobilnya. Namun, Candra hanya terseyum dan menambah laju kecepatan mobilnya. “Tidak semudah itu, Nana. Ikut paman, ada yang ingin paman bicarakan lagi,” ucap Candra. “Ke mana? Jangan aneh-aneh!” tukas Nana. “Kamu mau mengembalikan ini, kan? Oke paman turuti, asal kamu ikut paman sebentar,” ujar Candra. Nana tidak bisa menolak Candra. Menolak pun percuma, pamannya memang hobinya memaksa Nana. Namun, Nana selalu menuruti apa yang pamannya paksakan. Dia juga sebenarnya sedikit rindu dengan gombalan pamannya yang selalu ia dapatkan lewat pesan singkat dari pamannya. Sejak pamannya semakin sibuk dengan pekerjaannya, Nana jarang mendapat pesan gombalan dari pamannya, yang katanya setiap hari mengintai dirinya saat akan ke sekolah. Setelah pekerjaanya banyak, Candra jarang mengirim pesan gombalnya, dia hanya mengirim pesan foto bukti transfer untuk Nana kalau dirinya sudah mentrasfer uang pada Nana. Nana menajamkan pandangannya, saat mobil Candra masuk ke area parkir apartemen elit. Entah mau apa Candra mengajak Nana ke apartemen elit. Nana tidak tahu, dia masih tercenung tidak percaya pamannya mengajak dia ke apartemen. “Mau apa kita ke sini, paman?” tanya Nana. “Nanti kamu tahu,” jawab Candra. Candra mengajak Nana keluar dari mobilnya. Nana mengekori Candra yang berjalan menuju unit apartemen yang ditujunya. “Masuk, Na.” Candra mengajak Nana masuk ke dalam unit apartemen yang sangat mewah. “Ini apartemen paman?” tanya Nana. “Ya, ini milik paman, milik paman pribadi, tanpa orang rumah yang tahu, baik bibi kamu, ibu paman, dan semuanya tidak ada yang tahu, kecuali kamu, Sayang. Sisca pun tidakn tahu soal ini,” jawab Candra dengan mendekati Nana. “Paman, jangan macem-macem!” Nana semakin berjalan mundur karena Candra semakin mendekati Nana seperti hendak menerkam tubuh Nana. “Na, kenapa takut? Paman hanya mengajak kamu ke sini saja, tidak ngapa-ngapain kamu,” ucap Candra dengan menarik tangan Nana, dan melingkarkan tangannya ke pinggang Nana. Wajah mereka saling berdekata. Nana menatap wajah dan mata Candra yang memang indah untuk di pandang. “Paman hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengan kamu, Na. Kamu ingin mengembalikan ini, kan? Jadi sebagai imbalannya, kamu tamani paman di sini hingga malam,” pinta Candra dengan mengecup kilas bibir Nana. “Paman, please.... jangan seperti ini? Kenapa mesti Nana? Kan ada Sisca?” ucap Nana dengan wajah yang menampakan ketakutan, tapi dia pun penasaran ingin pamannya menyentuh tubuhnya. “Jangan takut, paman tidak akan ngapa-ngapain kamu, paman tidak akan merusak kamu, Sayang, karena itu belum waktunya,” ucap Candra dengan tatapan mata yang meneduhkan hati Nana. “Na, nurut sama paman, oke... Paman tidak akan menyakiti kamu, apalagi mengambil keperawananmu, tidak akan, Nana,” ucap Candra dengan mencium bibir Nana dan melumatnya lembut. “Uhmmmpp....” lenguh Nana. Candra membuka kancing seragam Nana, tapi tangan Nana langsung menepisnya. “Paman hanya ingin menyentuh dan menikmati saja, Na. Paman tidak bisa seperti ini, paman tersiksa, Nana. Selama tiga bulan, paman hanya melihat kamu, melihat lekuk tubuhmu yang indah, dengan pakaian minim jika di rumah. Sekarang, izinkan paman menikmatinya, Nana. Kamu sudah buat paman gila seperti ini,” ucap Candra dengan mengusap lembut pipi Nana. “Paman, Nana tidak mau....” Nana menangis, dan memohon pada pamannya agar tidak melakukan hal yang melebihi batas. “Jangan nangis, maaf, Na.” Candra memeluk Nana, dia memang sudah keterlaluan, tidak bisa menahan diri jika di dekat Nana. “Istirahatlah, paman akan menyelesaikan pekerjaan paman. Nanti ada yang mengantarkan baju ganti dan makanan untuk kamu. Temani paman bekerja. Paman malas di kantor.” Candra melepaskan pelukan Nana, dan menyuruhu Nana masuk ke kamar tamu. Candra masuk ke kamarnya, dia mengganti bajunya. Hasratnya memang sudah di ujung kepala, tapi melihat Nana menangis dia tidak tega. Memang dia hanya ingin mengajak Nana ke apartemen barunya saja. Ruang kerja di kantor barunya sedang di renovasi, jadi selama beberapa minggu ini Candra bekerja di apartemennya. Candra menerima baju dari seseorang yang ia suruh untuk membelikan baju santai untuk wanita. Dia langsung memberikan baju itu pada Nana, dan menyuruh Nana untuk segera memakainya. “Na, kalau sudah selesai ganti baju, kita makan siang!” ucap candra setengah berteriak di depan pintu kamar Nana. Nana melihat baju yang pamannya kasih. Dia langsung memakainya dan ternyata bajunya sangat pas sekali di tubuh Nana. Dress untuk santai di rumah yang di berikan Candra pada Nana sudah melekat sempurna di tubuh Nana. Nana keluar dari kamarnya, dia melihat pamannya sedang menata makanan yang baru saja datang. Candra memesan makanan kesukaan Nana. Nana duduk di depan pamannya yang sedang sibuk menata makan siang. “Paman, kenapa paman tidak ke kantor?” tanya Nana. “Ruangan paman sedang di renovasi, sudah satu minggu lebih paman kerja di sini. Makanya paman ingin kamu menemani. Sudah makan yang banyak,” jawab Candra dengan menyuruh Nana untuk makan. Nana tidak mengerti, kenapa rasa takut pamannya akan macam-macam dengan dirinya hilang seketika. Nana langsung menikmati makan siangnya bersama dengan pamannya. Seketika otak nakal Nana beraksi, dia mengingat kecupan pamannya yang lembut tadi, dan sebenarnya, dia ingin kecupan itu semakin dalam. “Kenapa harus paman yang selalu membuat aku seperti ini?” gumam Nana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN